+ -

Pages

Senin, 17 Agustus 2015

Rukun-Rukun Khutbah Jumat menurut 4 Mazhab

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Para ulama berbeda pendapat ketika menyebutkan apa saja yang merupakan rukun dalam khutbah Jumat. Sehingga ketika dijumlahkan, ternyata jumlahnya berbeda-beda pada tiap mazhab.


1. Mazhab Al-Hanafiyah

Pandangan Mazhab Al-Hanafiyah barangkali cukup aneh terdengar buat telinga kita bangsa Indonesia, yang rata-rata bermazhab Asy-Syafi'iyah. Dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, rukun khutbah jumat itu hanya satu, yaitu membaca hamdalah, tahlil dan tasbih.

Dasarnya karena di dalam Al-Quran memerintahkan orang-orang yang mendengar seruan untuk shalat pada hari Jumat, bersegera mendatangi dzikrullah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu’ah : 9)

Maka dalam pandangan mazhab ini, apa saja yang dibaca khatib di atas mimbar, asalkan termasuk dzikrullah, maka hukumnya sah. Dan dzikrullah itu tidak lain adalah hamdalah, tasbih dan tahlil, yaitu mengucapkan lafadz alhamdulillah, subhanallah dan lailaha illallah.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa yang termasuk rukun dalam khutbah Jumat tidak cukup bila hanya lafadz dzikir saja sebagaimana pendapat mazhab Al-Hanafiyah di atas. Dalam pandangan mereka, khutbah Jumat itu minimal orang Arab menyebutnya sebagai khutbah, walau pun hanya dua bait kalimat seperti :

اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا أَمَرَ وَانْتَهُوا عَمَّا عَنْهُ نَهَى وَزَجَرَ

Bertaqwalah kepada Allah dalam apa yang Dia perintahkan dan berhentilah dari apa yang dilarangnya.

Namun Ibnul Arabi yang bermazhab Maliki agak sedikit berbeda dengan mazhabnya. Beliau menyatakan minimal khutbah Jumat itu menyebutkan hamdalah, shalawat kepada Nabi SAW, tahdzir (mengingatkan) dan tabsyir (memberi kabar gembira) serta beberapa petikan ayat Al-Quran.

3. Mazhab Asy-Syafi'iyah : Lima Rukun

Mazhab yang lebih lengkap dalam urusan rukun khutbah Jumat adalah mazhab Asy-Syafi’iyah. Mazhab ini menetapkan setidaknya ada lima rukun khutbah Jumat, yaitu hamdalah, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, membaca petikan ayat Al-Quran, berwasiyat dan memohon ampunan buat kaum muslimin.

Rukun Pertama : Hamdalah
Hamdalah adalah mengucapkan lafadz alhamdulillah, innalhamda lillah, ahmadullah atau lafadz-lafadz yang sejenisnya. Dasarnya adalah hadits nabi SAW :

كُلُّ كَلاَمٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ باِلحَمْدِ لِلَّهِ فَهُوَ أَجْذَم

Semua perkataan yang tidak dimulai dengan hamdalah maka perkataan itu terputus. (HR. Abu Daud)

Rukun Kedua : Bershalawat Kepada Nabi SAW
Shalawat kepada Rasulullah SAW bisa dengan lafadz yang sederhana, seperti :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ

Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Muhamamd

Tidak diharuskan menyampaikan salam, dan juga tidak harus dengan shalawat kepada keluarga beliau. Minimal sekali hanya sekedar shalawat saja.

Rukun Ketiga : Membaca Petikan Ayat Al-Quran

كَانَ يَقْرَأ آياَتٍ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ

Rasulullah SAW membaca beberapa ayat Al-Quran dan mengingatkan orang-orang

Sebagian ulama mengatakan bahwa karena khutbah Jumat itu pengganti dari dua rakaat shalat yang ditinggalkan, maka membaca ayat Al-Quran dalam khutbah hukumnya wajib.

Rukun Keempat : Nasehat atau Washiyat
Nasihat atau washiyat yang menjadi rukun intinya sekedar menyampaikan pesan untuk taat kepada Allah SWT dan sejenisnya. Atau setidaknya untuk menjauhi larangan-larangan dari Allah SWT. Misalnya seperti lafadz berikut ini :

اَطِيعُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا مَعَاصِيْهِ

Taatilah Allah dan jauhilah maksiat

Rukun Kelima : Doa dan Permohonan Ampunan
Doa atau pemohonan ampun untuk umat Islam dijadikan rukun yang harus disampaikan dalam khutbah Jumat menurut mazhab As-Ssyafi'iyah. Minimal sekedar membaca lafadz :

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمـُسْلِمَاتِ

Ya Allah ampunilah orang-orang muslim dan muslimah 

4. Mazhab Al-Hanabilah : Empat Rukun 
Mazhab Al-Hanabilah menetapkan ada empat rukun khutbah, nyaris sama dengan rukun khutbah pada mazhab Asy-syafi'iyah, kecuali bedanya dalam mazhab ini tidak ada rukun yang kelima, yaitu doa dan permohonan ampun.


Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
rumahfiqih.com 
5 RUMAH ASWAJA: 2015 Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Para ulama berbeda pendapat ketika menyebutkan apa saja yang merupakan rukun dalam khutba...

Penjelasan Tata Cara Shalat Gerhana Lengkap

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

A. Pengertian


Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf (الخسوف) dan juga kusuf(الكسوف) sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus.
Namun masyhur juga di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana matahari. [1]

1. Kusuf
Kusuf (كسوف)adalah peristiwa dimana sinar matahari menghilang baik sebagian atau total pada siang hari karena terhalang oleh bulan yang melintas antara bumi dan matahari.

2. Khusuf
Khusuf (خسوف) adalah peristiwa dimana cahaya bulan menghilang baik sebagian atau total pada malam hari karena terhalang oleh bayangan bumi karena posisi bulan yang berada di balik bumi dan matahari.

B. Pensyariatan Shalat Gerhana

Shalat gerhana adalah shalat sunnah muakkadah yang ditetapkan dalam syariat Islam sebagaimana para ulama telah menyepakatinya.

1. Al-Quran
Dalilnya adalah firman Allah SWT :

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari dan bulan. Janganla kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah Yang Menciptakan keduanya. (QS. Fushshilat : 37)

Maksud dari perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Yang Menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.

2. As-Sunnah
Selain itu juga Rasulullah SAW bersabda :

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Selain itu juga ada hadits lainnya :

لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Bukhari).

Shalat gerhana disyariatkan kepada siapa saja, baik dalam keadaan muqim di negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Atau diperintahkan kepada orang-orang yang wajib melakukan shalat Jumat.

Namun meski demikian, kedudukan shalat ini tidak sampai kepada derajat wajib, sebab dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak ada kewajiban selain shalat 5 waktu semata.

C. Hukum Shalat Gerhana

Para ulama membedakan antara hukum shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.

1. Gerhana Matahari
Para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa shalat gerhana matahari hukumnya sunnah muakkadah, kecuali mazbah Al-Hanafiyah yang mengatakan hukumnya wajib.

a. Sunnah Muakkadah
Jumhur ulama yaitu Mazhab Al-Malikiyah, As-Syafi'iyah dan Al-Malikiyah berketetapan bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah muakkad.

b. Wajib
Sedangkan Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya wajib.

2. Gerhana Bulan
Sedangkan dalam hukum shalat gerhana bulan, pendapat para ulama terpecah menjadi tiga macam, antara yang mengatakan hukunya hasanah, mandubah dan sunnah muakkadah.

a. Hasanah
Mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa shalat gerhana bulan hukumnya hasanah.

b. Mandubah
Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah mandubah.

c. Sunnah Muakkadah
Mazhab As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah muakkadah.

D. Pelaksanaan Shalat Gerhana

1. Berjamaah

Shalat gerhana matahari dan bulan dikerjakan dengan cara berjamaah, sebab dahulu Rasulullah SAW mengerjakannya dengan berjamaah di masjid. Shalat gerhana secara berjamaah dilandasi oleh hadits Aisyah radhiyallahu 'anha.

2. Tanpa Adzan dan Iqamat
Shalat gerhana dilakukan tanpa didahului dengan azan atau iqamat. Yang disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan lafaz "As-Shalatu Jamiah". Dalilnya adalah hadits berikut :

لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Bukhari).

3. Sirr dan Jahr
Namun shalat ini boleh juga dilakukan dengan sirr (merendahkan suara) maupun dengan jahr (mengeraskannya).

4. Mandi
Juga disunnahkan untuk mandi sunnah sebelum melakukan shalat gerhana, sebab shalat ini disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah

5. Khutbah
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum khutbah pada shalat gerhana.

1. Disyariatkan Khutbah
Menurut pendapat As-Syafi'iyah, dalam shalat gerhana disyariatkan untuk disampaikan khutbah di dalamnya. Khutbahnya seperti layaknya khutbah Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat.
Dalilnya adalah hadits Aisyah ra berikut ini :

أَنَّ النَّبِيَّ  لَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ قَامَ وَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَال : إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل لاَ يُخْسَفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Dari Aisyah ra berkata,"Sesungguhnya ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan memuji Allah, kemudian bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah. (HR. Bukhari Muslim)

Dalam khutbah itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk bertaubat dari dosa serta untuk mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa dan istighfar (minta ampun).

2. Tidak Disyariatkan Khutbah
Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa dalam shalat ini disunnahkan untuk diberikan peringatan (al-wa'zh) kepada para jamaah yang hadir setelah shalat, namun bukan berbentuk khutbah formal di mimbar.
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah juga tidak mengatakan bahwa dalam shalat gerhana ada khutbah, sebab pembicaraan Nabi SAW setelah shalat dianggap oleh mereka sekedar memberikan penjelasan tentang hal itu.

Dasar pendapat mereka adalah sabda Nabi SAW :

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits ini Nabi SAW tidak memerintahkan untuk disampaikannya khutbah secara khusus. Perintah beliau hanya untuk shalat saja tanpa menyebut khutbah.

6. Banyak Berdoa, Dzikir, Takbir dan Sedekah
Disunnahkan apabila datang gerhana untuk memperbanyak doa, dzikir, takbir dan sedekah, selain shalat gerhana itu sendiri.

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Apabila kamu menyaksikannya maka berdoalah kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah. (HR. Bukhari dan Muslim)

E. Tata Cara Teknis Shalat Gerhana

Ada pun bagaimana bentuk teknis dari shalat gerhana, para ulama menerangkan berdasarkan nash-nash syar'i sebagai berikut :

1. Dua Rakaat

Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat. Masing-masing rakaat dilakukan dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku' dan 2 sujud. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah :


Dari Abdullah bin Amru berkata,"Tatkala terjadi gerhana matahari pada masa Nabi SAW, orang-orang diserukan untuk shalat "As-shalatu jamiah". Nabi melakukan 2 ruku' dalam satu rakaat kemudian berdiri dan kembali melakukan 2 ruku' untuk rakaat yang kedua. Kemudian matahari kembali nampak. Aisyah ra berkata,"Belum pernah aku sujud dan ruku' yang lebih panjang dari ini.(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Bacaan Al-Quran
Shalat gerhana termasuk jenis shalat sunnah yang panjang dan lama durasinya. Di dalam hadits shahih disebutkan tentang betapa lama dan panjang shalat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW itu :

ابْنُ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَال : كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  فَصَلَّى الرَّسُول  وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, dia berkata bahwa telah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW melakukan shalat bersama-sama dengan orang banyak. Beliau berdiri cukup lama sekira panjang surat Al-Baqarah, kemudian beliau SAW ruku' cukup lama, kemudian bangun cukup lama, namun tidak selama berdirinya yang pertama. Kemudian beliau ruku' lagi dengan cukup lama tetapi tidak selama ruku' yang pertama. (HR. Bukhari dan Muslim)
Lebih utama bila pada rakaat pertama pada berdiri yang pertama setelah Al-Fatihah dibaca surat seperti Al-Baqarah dalam panjangnya.

Sedangkan berdiri yang kedua masih pada rakaat pertama dibaca surat dengan kadar sekitar 200-an ayat, seperti Ali Imran.

Sedangkan pada rakaat kedua pada berdiri yang pertama dibaca surat yang panjangnya sekitar 250-an ayat, seperti An-Nisa. Dan pada berdiri yang kedua dianjurkan membaca ayat yang panjangnya sekitar 150-an ayat seperti Al-Maidah.

3. Memperlama Ruku' dan Sujud
Disunnahkan untuk memanjangkan ruku' dan sujud dengan bertasbih kepada Allah SWT, baik pada 2 ruku' dan sujud rakaat pertama maupun pada 2 ruku' dan sujud pada rakaat kedua.
Yang dimaksud dengan panjang disini memang sangat panjang, sebab bila dikadarkan dengan ukuran bacaan ayat Al-Quran, bisa dibandingkan dengan membaca 100, 80, 70 dan 50 ayat surat Al-Baqarah.
Panjang ruku' dan sujud pertama pada rakaat pertama seputar 100 ayat surat Al-Baqarah, pada ruku' dan sujud kedua dari rakaat pertama seputar 80 ayat surat Al-Baqarah. Dan seputar 70 ayat untuk rukuk dan sujud pertama dari rakaat kedua. Dan sujud dan rukuk terakhir sekadar 50 ayat.
Dalilnya adalah hadits shahih yang keshahihannya telah disepakati oleh para ulama hadits.

كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  فَصَلَّى الرَّسُول  وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل

Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Terjadi gerhana matahari dan Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana. Beliau beridri sangat panjang sekira membaca surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku' sangat panjang lalu berdiri lagi dengan sangat panjang namun sedikit lebih pendek dari yang pertama. Lalu ruku' lagi tapi sedikit lebih pendek dari ruku' yang pertama. Kemudian beliau sujud. Lalu beliau berdiri lagi dengan sangat panjang namun sidikit lebih pendek dari yang pertama, kemudian ruku' panjang namun sedikit lebih pendek dari sebelumnya.(HR. Bukhari dan Muslim).

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Ahmad Sarwat, Lc., MA
rumahfiqih.com
5 RUMAH ASWAJA: 2015 Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,  A. Pengertian Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah  khusuf  ...

Minggu, 09 Agustus 2015

Peran Ayah Sebagai Wali Nikah Dapat Digantikan

Assalaamu'alaikum wr. wb.

Ustadz yang baik, mohon tulis nama saya dengan sebutan Ukhti saja untuk menghindari kesalahpahaman atau menjaga kebaikan seseorang. Syukron.
Ustadz, jika seorang ayah masih hidup dan masih sehat, bisakah perannya sebagai wali digantikan oleh orang lain karena beliau tidak menyetujui calon suami anaknya? Kalau boleh, dalam kondisi seperti apa yang membolehkan dan siapa yang boleh menggantikan? Adakah landasan hukum yang kuat untuk hal ini?
Jazakallahu khairan katsira,

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Izin dari seorang wali itu memang harus didapat dan tidak boleh didapat dengan cara merampasnya begitu saja. Ketidak-setujuan orang ayah kandung untuk menikahkan puterinya dengan seseorang perlu dihormati sepenuhnya.

Bukan apa-apa, sebab di dalam syariah Islam, kedudukan ayah kandung itu memang sangat tinggi, mulia dan 'berkuasa mutlak'. Dan hal itu wajar kalau kita merunut ke belakang, bukankah seorang puteri tidak akan pernah lahir ke dunia ini kalau bukan dari benih sang ayah kandung? Mau diapakan pun, tetap saja darah yang mengalir di tubuh seorang wanita itu adalah darah sang ayah.

Bahkan DNA yang dimilikinya sesuai dengan DNA sang Ayah, di mana DNA itu tidak mungkin diganti atau ditukar selamanya.

Jadi wajar bila di dalam syariah, kedududkan ayah kandung sebagai wali sudah sangat kuat dan mutlak. Apalagi mengingat bahwa yang berkewajiban secara syar'i untuk memberi nafkah, melindungi, menemani dan mendidikannya pun juga si ayah itu.

Tidak ada celah sedikit pun buat seorang wanita untuk menikah dengan siapapun kecuali atas wewenang sang ayah. Salah besar bila orang menafikan kedudukan ayah dalam urusan pernikahan. Bahkan idealnya, seorang wanita tidak boleh mencari pasangan hidup sendiri, kecuali setelah berdiskusi dengan ayahnya. Kalau sampai secara diam-diam seorang wanita menjalin hubungan dengan laki-laki, lalu ternyata sang ayah tidak setuju, maka kewajiban anak itu adalah patuh kepada sang ayah.

Dia harus melepaskan calon pilihannya dan ikut dengan kehendak ayah. Semua itu adalah salahnya sendiri, sebab seorang wanita dalam Islam tidak pernah berada dalam kapasitas menentukan pasangan hidupnya kecuali atas izin dan kerelaan sang ayah. Paling tidak, ayah punya nilai shareyang tidak bisa dinafikan.

Ibarat dua orang memiliki benda secara sharing, maka salah satu pihak tidak boleh secara sepihak menjual benda itu atau menyewakannya kepada orang lain. Kecuali setelah ada kesepakatan antara keduanya.

Contoh lainnya yang juga bisa mendekatnya persoalan misalnya, seperti seorang tinggal di rumah orang tuanya. Meski dia berhak tinggal di situ, tetapi biar bagaimana pun rumah itu milik orang tuanya. Si anak tidak bisa secara sepihak tiba-tiba menawarkan rumah itu kepada orang lain untuk dijual. Kalau sampai ada orang tertarik untuk membeli rumah itu, lalu si ayah sebagai pemilik rumah tidak setuju, si anak tidak punya hak untuk memaksa menjual. Sebab rumah itu milik si ayah, bukan milik si anak. Kalau sengketa ini dibawa ke pengadilan, sudah pasti anak dan calon pembelinya kalah, bahkan bisa dipenjara. Karena menjual barang yang bukan haknya.

Demikian juga dalam kasus wali nikah, kalau si puteri memaksa kawin lari dengan laki-laki pilihannya dan menginjak-injak wewenang sang ayah, dia sudah berdosa sekaligus durhaka kepada ayahnya. Dan yang penting, pernikahannya itu tidak sah dalam hukum Islam. Kalau melakukan hubungan suami istri, itu adalah zina dengan dosa yang sangat besar dan wajib dirajam/cambuk.

Maka sejak dini seorang wanita harus tahu bahwa kedudukan sang ayah bagi dirinya memang sangat mutlak. Maka ajaklah, dekatilah, ikutilah dan turutilah beliau sejak awal mula memilih calon suami, agar jangan sampai beliau menolak di tengah jalan.

Wali Selain Ayah

Wali selain Ayah kandung bisa saja dilaksanakan, asalkan dilakukan lewat satu dari beberapa cara, antara lain :

1. Ayah Kandung Mewakilkan Kewaliannya Kepada Orang Lain
Bila seorang Ayah kandung dengan sepenuh keridhaannya memberikan wewenang kepada orang lain untuk menjadi wakilnya atas anak kandung puterinya, maka dalam hal ini yang menjadi wali nikah boleh orang lain yang menjadi wakil itu.

Tidak ada syarat apa pun kecuali memang syarat yang berlaku sebagai wali, yaitu muslim, akil, baligh, laki-laki, merdeka dan adil. Adil disini maksudnya bukan orang fasik yang mengerjakan dosa besar secara terang-terangan di muka publik.

Sedangkan apakah harus ada hubungan darah, maka hal itu bukan syarat untuk menjadi wakil dari wali yang asli. Jadi bisa saja siapapun menjadi wakil atas ayah kandung. 

Syarat yang paling utama adalah adanya penyerahan wewenang dari ayah kandung kepada dirinya. Tanpa adanya mandat ini, maka posisinya sebagai wakil tidak sah.

2. Ayah Kandung Wafat
Ketika seorang meninggal dunia, tentu saja dirinya tidak bisa menjadi wali atas anak gadisnya yang menikah. 

Kalau sebelum wafat almarhum sempat berpesan untuk menunjuk seseorang menjadi wakil atas dirinya, maka orang yang diwasiatkan itulah yang menjadi wali berikutnya.

Namun apabila tidak ada wasiat atau pesan apapun, maka yang menjadi wali adalah urutan wali yang berikutnya dari nasab sang ayah. 

Dan bila sama sekali tidak ada satu pun yang tersisa dari nasab ayah untuk menjadi wali, maka yang menjadi wali adalah kepala negara dan jajarannya, sebagai wakil dari pemerintahan yang sah.

3. Ayah Kandung Kehilangan Hak Kewaliannya
Seorang ayah kandung akan gugur wewenangnya sebagai wali apabila dia kehilangan syarat dasar dari seorang wali. Syarat dasar yang harus dimiliki oleh seorang wali nikah adalah  

a. Muslim
Bila ayah kandung bukan muslim, maka posisinya sebagai wali dengan sendirinya gugur. Dalam hal ini yang menjadi wali adalah urutan wali berikutnya dari nasab ayah, tentunya yang juga memenuhi syarat dasar seorang wali. Bila tidak ada satu pun, maka walinya adalah pemerintah yang sah.

b. Akil
Ayah kandung yang gila atau tidak waras tentu kehilangan haknya untuk menjadi wali. Sebab orang gila tidak paham apa yang sedang dilakukannya.

c. Baligh
Ayah kandung sebenarnya tidak mungkin belum baligh. Syarat ini berlaku untuk orang yang akan menjadi pengganti atau wakil dari ayah kandung.

d. Laki-laki
Syarat seorang wali nikah harus laki-laki. Dan seorang ayah sudah pasti laki-laki, setidaknya ketika menikahi istrinya dan bisa berhasil punya anak.
Namun seandainya sang ayah suatu hari melakukan operasi ganti kelamin dan dinyatakan sah sebagai perempuan secara syar'i, otomatis dia kehilangan hak dan wewenangnya sebagai wali.

e. Merdeka
Budak di masa lalu tidak berhak untuk menjadi wali atas anak gadisnya sendiri

f. Adil
Syarat ini sebenarnya agak sedikit menjadi khilaf para ulama, namun umumnya para ulama menyebutkan bahwa setidaknya seorang wali nikah itu tidak boleh seorang pendosa besar yang secara terang-terangan menentang agama Allah.

Urutan Wali Nikah
Adapun siapa saja orang yang termasuk dalam daftar urutan wali nikah, sudah pernah saya tuliskan artikelnya, silahkan lihat disini http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1142501333&title=urutan-wali-nikah

Wallahu a'lam bishshawab wasslamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.
rumahfiqih.com

5 RUMAH ASWAJA: 2015 Assalaamu'alaikum wr. wb. Ustadz yang baik, mohon tulis nama saya dengan sebutan Ukhti saja untuk menghindari kesalahpahaman atau ...

Penjelasan Tentang Shalat Zuhur setelah Shalat Jum'at (I'adah Zuhur)

Di beberapa masjid di daerah, bahkan di Jakarta, masih banyak saudar-saudara muslim yang kalau selesai shalat jumat, mereka shalat zuhur lagi, berjamaah bahkan. Kemudian ini yang mengundang banyak pernyataan dari saudara muslim lain yang memang hanya tahu bahwa sahalt jumat itu telah menggugurkan kewajiban shalat zuhur. Jadi, muslim yang sudah shalat Jumat, tidak perlu lagi shalat zuhur.

Dan memang sudah menjadi kesepakatan ulama sejagad raya bahwa orang muslim yang sudah melakukan shalat jumat, gugur kewajiban zuhurnya. Karena itu, wajar saja jika banyak yang bertanya-tanya, mengapa sebagian orang melakukan zhalat zuhur lagi setelah jumatan. Bahkan tidak sedikit yang justru menyalahkan mereka.

Maka dari itu, agar tidak ada yang slaing memandang aneh, atau bahkan menyalahkan satu sama lain, ada baiknya kita pelajari dan cari tahu kenapa mereka melakukan itu, bukan langsung menyalahkan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir mayoritas orang Indonesia, fiqih yang dipelajari sejak kecil iaalah fiqihnya madzhab Imam al-Syafi’i. karena itu, pakem-pakem madzhab ini sangat dilaksanakan secara loyal oleh kebanyakan orang. Termasuk dalam hal shalat jumat ini.

Syarat Sah Jumat Tidak Terpenuhi

Dalam madzhab Imam al-Syafi’i, selain disyaratkan 2 khutbah serta masuknya waktu zuhur agar shalat Jumat itu dikatakan sah, shalat jumat juga punya syarat sah lain yang tidak boleh tidak terpenuhi; yakni hanya ada satu jumat dalam satu kampung, dan harus dihadiri oleh 40 orang mukim atau lebih.

2 syarat ini yang sekarang banyak tidak terlaksana –menurut pemahaman sebagian saudara muslim- sehingga membuat shalat Jumat itu menjadi tidak sah. Mungkin saja dalam satu kampung itu ada yang melaksanakan jumat di tempat berbeda. Kalau sudah begitu, maka salah satu dari 2 jumatan itu dihukumi tidak sah. Khawatir jumatannya yang tidak sah, maka ia dan jemaahnya melaksanakan shalat Zuhur, karena kewajibannya belum gugur, toh jumatannya tidak sah.

Atau bisa saja dalam jumatan itu dihadiri oleh kurang dari 40 orang mukim. Yang hadir jumatan memang banyak, akan tetapi yang mukim hanya sekitar 20an orang atau kurang dari 40, sisanya adalah orang yang hanya singgah di situ saja, atau kebetulan sedang lewat masjid tersebut. Karena kurang dari 40 mukim, jumatannya tidak sah.

Tapi alasan mereka melakukan shalat zuhur setelah jumatan karena jamaah kurang dari 40 orang mukim, itu alasannya yang jarang sekali terjadi. Yang paling sering terjadi ialah alasan yang pertama, yakni ada jumatan lain dalam satu kampung. Ini yang sering kali terjadi yang membuat mereka melakukan shalat Zuhur setelah Jumatan.

Satu Kampung Hanya Ada Satu Jumat

Perihal syarat sah jumat yang harus hanya ada satu dalam satu kampugn, tidak boleh ada lebih dari satu Jumat dalam kampung tersebut, sudah kami jelaskan secara rinci di sini [ http://goo.gl/i8DOWQ ] silahkan merujuk.  

Dihadiri 40 Orang Mukim

Ini adalah pendapat resmi madzhab al-Syafi’iyyah, bahwa shalat jumat itu sah kalau dihadiri oleh 40 orang mukim atau lebih. Tentu syarat ini tidak muncul begitu saja, pastilah ada alasannya kenapa madzhab ini menetapkan kalau jumat itu harus dihadiri oleh 40 orang mukim atau lebih. Di antara dalil yang dipakai adalah;

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بِالْمَدِينَةِ وَكَانُوا أَرْبَعِينَ رَجُلً
“Dari ibnu Mas’ud r.a., beliau berakata bahwa Nabi saw shalat Jumat di Madinah dan jumlah mereka ketika itu 40 orang.” (HR al-Baihaqi)

 وَعَنْ جَابِرٍ t قَالَ: مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا جُمُعَةً
 “Dari Jabir r.a. beliau berkata; Sunnah (Syariat) agama ini bahwa 40 orang atau lebih ada kewajiban jumat”. (HR Daroquthni)

Dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj (1/632)Imam al-Syirbini mengatakan bahwa perhatian Rasul s.a.w terkait shalat jumat tidak seketat shalat lain, termasuk dalam masalah jumah Jemaah yang hadir dalam shalat jumat haruslah memenuhi syarat. Bahkan beliau mengutip pernyataan Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ yang mengatakan bahwa adanya syarat jumlah hadirin dalam shalat jumat adalah sesuatu yang disepakati oleh umat Islam.

Beliau menguatkan pandangan madzhabnya; “Seorang muslim wajib melaksanakan shalat sesuai tuntunan Nabi saw sebagaimana hadits (صلوا كما رأيتموني أصلي), dan tidak pernah shalat jumat itu dilaksanakan di masa beliau hidup dengan jumlah yang kurang dari 40 orang.”

Tanwirul-Qulub fi Mua’amalati ‘Allamil-Ghuyub

Ini adalah kitab karangan Sheikh Muhammad Amin al-Kurdiy (1332 H), kitab fiqih abad 14 hijrah yang menjadi rujukan banyak orang-orang al-Syafi’iyyah terkait masalah-masalah‘ubudiyah, termasuk juga masalah shalat Zuhur setelah shalat Jumat ini.

Di dalam kitab ini, beliau membuat bab khusus perihal shalat Zuhur setelah shalat Jumat, yang beliau tulis dari halaman 218 sampai halaman 224. Di dalamnya beliau sertakan dalil, serta pandangan-pandangan ulama madzhab al-Syafi’iyyah yang menjadi penguat.

Beliau juga menguatkan bahwa pekerjaan ini (shalat zuhur setelah Jumat) adalah pekerjaan yang dilakukan oleh ulama-ulama madzhab al-Syafi’iyyah dan juga pendapat resmi mereka. beliau menyatakan bahwa shalat Zuhur setelah Jumatan itu adalah jalanIhtiyath [احتياط(kehati-hatian) yang diambil oleh ulama-ulama al-Syafi’iyyah melihat ada syarat jumat yang tidak terpenuhi.

Dan jalan Ihtiyath (kehati-hatian) bisa menjadi wajib, dan bisa juga menjadi sunnah. Artinya status shalat Zuhur yang dilaksanakan itu bisa jadi wajib, dan bisa juga jadi sunnah.

[1] Wajib Shalat Zuhur setelah Jumatan

Shalat Zuhur tersebut menjadi wajib dilaksanakan setelah jumat, kalau memang ada jumat lain dalam satu kampung tersebut. Dan diadakannya shalat jumat yang berbilang itu tanpa ada hajat atau kebutuhan yang mendesak. Seperti adanya masjid di kampung tu cukup untuk memuat seluruh penduduk kampung, tapi malah diadakan jumatan lagi yang berbeda di selain masjid tersebut. Maka ihtiyath dengan melakukan shalat zuhur setelah jumatan menjadi wajib.

[2] Sunnah Shalat Zuhur setelah Jumatan

Shalat Zuhur tersebut menjadi sunnah dilaksanakan. Kalau adanya jumat lain dalam satu kampung itu karena memang ada kebutuhan dan hajat. Seperti masjid yang tidak bisa mengakomodasi semua jumlah penduduk kampung, yang kalau dipaksanakan justru akan meluber ke jalanan dan menganggu orang banyak. Kalau memang ada hajat untuk membuat jumatan yang lebih dalam satu kampung, ihtiyath yang dilakukan itu statusnya sunnah.

Masalah Ijtihadiyah

Pada intinya ini adalah masalah yang diijtihadkan oleh ulama-ulama al-Syafi’iyyah, dan tidak dipegang oleh ulama madzhab lain. Artinya kemungkinan berbeda adalah sesuatu yang niscaya dan pasti terjadi.

Karena ini masalah ijtihadiyyah, maka, sebagaimana Sheikh Amin al-Kurdiy menutup pembahasannya terkait shalat zuhur seteah shalat jumat, bahwa tidak diperkenankan satu menyalahkan yang lainnya. Yang melaksanakan shalat Zuhur setelah jumatan tidak boleh menyalahkan yang tidak melakukannya. Dan yang tidak melakukannya pun tidak boleh merasa benar sendiri.   

Atau juga sebaliknya, yang melaksanakan shalat Zuhur tidak bisa merasa paling benar, dan yang tidak melaksanakan tidak perlu menyalahkan mereka yang shalat ZUhur setelah Jumatan.

Wallahu a’lam

Ahmad Zarkasih, Lc
rumahfiqih.com


5 RUMAH ASWAJA: 2015 Di beberapa masjid di daerah, bahkan di Jakarta, masih banyak saudar-saudara muslim yang kalau selesai shalat jumat, mereka shalat zuhur ...

Sabtu, 01 Agustus 2015

Perkara-Perkara Yang Menyalahi Adat

Salah satu perkara yang menyalahi adat disebut Mu’jizat, sebenarnya perkara yang menyalahi adat bukan hanya Mu’jizat,tapi banyak perkara-perkara lain yang menyalahi adat, baik menyalahi adat dengan untuk memuliakan atau bukan, beberapa perkara tersebut yaitu:

1. Mu’jizat : adalah sesuatu yang menyalahi kebiasaan dan disertai dengan dakwaan kerasulan ditambah tidak ada yang menandingannya. Seperti keluarnya air dari jari-jari Nabi Saw.

2. Karamah : adalah suatu yang menyalahi kebiasaan dan terdapat pada orang shalih. Seperti banyak kejadian menyalahi adat yang masyhur terjadi pada waliyullah.

3. Ma'unah : adalah suatu yang menyalahi kebiasaan yang terjadi pada orang awam sebagai pertolongan Allah baginya untuk terlepas dari kemudharatan.

4. Istijraj : adalah suatu yang menyalahi kebiasaan bagi orang fasik karena tipuan bagi mereka. Seperti orang yang bertambah kekayaannya dengan selalu berbuat maksiat.

5. Ihanah : adalah suatu yang menyalahi kebiasaan untuk menampakkan kebohongan seseorang. Seperti Musailamah Al-kazzab yang meludah untuk menyembuhkan sebelah mata yang buta, tetapi menyebabkan buta mata yang masih sehat (menyebabkan buta kedua matanya).Wallahua'lam.

Sumber : Tuhfatul Murid Syarah Jauharah Tauhid hal.83

ibm.mudimesra.com
5 RUMAH ASWAJA: 2015 Salah satu perkara yang menyalahi adat disebut Mu’jizat, sebenarnya perkara yang menyalahi adat bukan hanya Mu’jizat,tapi banyak perkara-pe...

Kamis, 23 Juli 2015

Anak Zina, Siapakah Walinya ?

satu hal yang telah ma`ruf di ketahui umum adalah dalam pernikahan seorang wanita mesti di wakili oleh walinya. Yang pertama sekali menjadi wali adalah ayahnya sendiri. Ketika ayahnya tidak ada maka akan di gantikan oleh orang lain yang ada dalam urutan wali pernikahan. Baca tulisan kami urutan perwalian dalam pernikahan. 
Masalah timbul pada anak hasil perzinahan, di mana dalam agama, ia tidak di hubungkan nasabnya kepada ayahnya sehingga secara syar`i ayah biologisnya bukanlah ayahnya sehingga ia tidak berhak menjadi wali. Nasabnya hanya di bangsakan kepada ibunya. Karena ini ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa yang menjadi walinya adalah wali ibunya sendiri.

Pertanyaan:
Siapa sebenarnya yang berhak menjadi wali pernikahan bagi anak hasil zina?

Jawaban:
yang menjadi wali dalam pernikahan bagi anak hasil perzinaan adalah wali hakim.

Anak zina dalam pandangan agama tidak terhubung nasabnya kepada ayah biologisnya, tetapi nasabnya hanya terhubung kepada ibunya. Maka anak zina tidak menerima warisan dari ayah biologisnya, demikian juga sebaliknya. Ini merupakan ijma’ para ‘Ulama yang disepakati oleh ke-empat madzhab fiqh.
Selain tidak berlaku waris-mewarisi di antara anak zina dan ayah biologisnya, dalam madzhab al-Syafi’i juga tidak berlaku semua hukum nasab yang lain di antara keduanya seperti pernikahan. Ayah biologisnya sah saja menikahi anak tersebut karena nuthfah yang keluar melalui perzinaan tidak terhormat dalam pandangan agama.

Salah satu hukum nasab adalah perwalian dalam pernikahan. Karena anak perzinaan tidak terhubung nasabnya dengan ayah biologisnya, maka ayahnya tersebut tidak sah menjadi wali nikah anak hasil zina tersebut sebagaimana di terangkan secara sharih oleh para ‘Ulama dalam kitab fiqh.

Ketika ayah biologis tidak punya hak wali, lalu siapakah yang berhak menjadi wali dari anak zina? Sebagaimana telah kami terangkan sebelumnya dalam tulisan kami urutan hak perwalian dalam pernikahan, bahwa yang paling berhak menjadi wali adalah wali nasab. Jika wali pada bagian ini tidak ada, baik secara nyata maupun tidak ada (hissi) menurut pandangan agama (syar`i), maka hak wali berpindah kepada wali wila`. Jika wali perempuan tersebut bukanlah mantan budak sehingga wali dari pihak wila` tidak berlaku baginya, maka hal wali langsung berpindah kepada sulthan dan penggantinya. (1)

Dalam permasalahan anak zina, karena ia tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya maka dapat dipastikan bahwa ia tidak memiliki wali dari nasab. Dalam hal ini jika ia bukan seorang mantan budak maka otomatis ia juga tidak memiliki wali wila`, maka hak perwalian berpindah kepada sulthan atau penggantinya, karena seseorang yang tidak memiliki wali maka sulthan-lah yang menjadi walinya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah Saw :

فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

“Sulthan adalah wali bagi orang yang tidak ada wali.” (H.R. Imam Abu Dawud)

Berdasarkan pemahaman tentang hadits ini dan ketentuan tentang perpindahan hak perwalian nikah serta nisab anak zina, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi wali bagi anak zina adalah sulthan atau penggantinya (KUA).

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa yang menjadi wali wanita anak hasil perzinahan adalah wali ibunya karena ia di bangsakan kepada ibunya adalah pendapat yang tidak di dukung referensi. Belum kami temukan ada pendapat ulama yang menyatakan demikian. Dalam hukum fiqh, wali pernikahan hanya berada dari pihak kerabat ayah tidak ada dari pihak kerabat sang ibu.
--------------
(1). Syeikhul Islam Zakaria al-Anshari, Tahrir, Jld. II ,(Jeddah, Haramain, tt), h. 226-227

Wallahu A`lam.

ibm.mudimesra.com
5 RUMAH ASWAJA: 2015 satu hal yang telah ma`ruf di ketahui umum adalah dalam pernikahan seorang wanita mesti di wakili oleh walinya. Yang pertama sekali menjadi...

Penjelasan Ihdad


A. Pengertian Ihdad
Salah satu kewajiban bagi seorang perempuan yang suaminya telah meninggal, selain ber-iddah adalah ber-Ihdad. Ihdad secara bahasa adalah menegah, sedangkan secara istilah adalah menegah diri dari dua perkara :

1. Berhias, yaitu dengan meninggalkan/atau tidak memakai pakaian yang dicelupkan (berwarna) baik terbuat dari sutera atau lainnya. Tidak memakai perhiasan emas, perak dan sejenisnya, tidak memakai anting telinga, cincin atau sejenisnya, yang kesemuanya membawaki kepada bertambahnya kecantikan atau kebagusansi perempuan. Tidak boleh memakai beberapa perkara (mulai perhiasan dari emas, perak, dst) di atas adalah pada waktu siang hari, adapun pada malam hari, maka hanya dimakruhkan jika bukan karena hajat, adapun karena hajat, maka tidak dimakruhkan pula memakai yang demikian pada malam hari. Sedangkan pakaian yang dicelupkan (berwarna) keharamannya berlaku pada siang dan malam harinya. Keluar dari ketentuan tidak boleh memakai pakaian yang di atas adalah pakaian yang dicelupkan (berwarna) yang terbuat dari Qatun (kapas) atau kain wool (bulu domba), maka boleh untuk dipakai oleh perempuan yang sedang melakukan ihdad. Selanjutnya, yang tidak boleh dihiasi oleh perempuan yang ber-ihdad adalah hanya pada tubuhnya, adapun selain tubuhnya maka hukumnya boleh, seperti tempat tidur atau kursi perempuan misalnya.

2. Wangi-wangian, perempuan yang sedang menjalani masa ihdad juga di wajibkan untuk menahan diri dari memakai wangi-wangian baik pada badan, pakaian atau makanan, atau celak yang yang tiada di haramkan, adapun memakai celak yang diharamkan seperti memakai celak dari jenis tanaman bakung (aloe-ing), maka haram secara mutlak. Keharaman memakai wangi-wangian berlaku baik pada malam hari atau pada siang harinya. Dhabit atau ketentuan Wangi-wangian yang haram digunakan adalah wangi-wangian yang diharamkan bagi orang yang ber-ihram dan tidak mewajibkan fidiyah saat memakainya. Wajib pula untuk segera meninggalkannya di saat mau memasuki masa iddah.

B. Waktu Pelaksaaan Ihdad
Waktu pelaksaan ihdad adalah selama masa iddah perempuan tersebut, yaitu selama 4 bulan 10 hari, pada seluruh waktunya, baik siang atau malam, kecuali perhiasan emas, perak, luk-luk, cincin, anting telinga, maka boleh untuk digunakan pada malam hari, tetapi tetap dimakruhkan.

C. Hal-hal yang dilarang Pada Saat Ihdad
1. Memakai baju berwarna.
2. Memakai wangi-wangian.
3. Memakai perhiasan (emas, perak, luk-luk dan sejenisnya)
4. Memakai meminyaki rambut kepala, tidak haram pada seluruh tubuh.
5. Memakai celak.
6. Dan lain sebagainya, yang dapat membuatnya terlihat cantik dan menarik perhatian orang lain.

D. Hukum Ihdad
Hukum ihdad bagi perempuan yang meninggal suami adalah wajib selama masa iddah, sedangkan bagi perempuan yang ber-iddah bukan karena suaminya meninggal, tetapi karena ba’in dengan sebab khulu’, pasakh, atau talak 3, demikian juga talak raj’i, jika perempuan tersebut tidak mengharap kembali dengan lelaki mantan suaminya, maka hukumnya adalah sunat, selama tidak lebih dari 3 hari. Perempuan juga dibolehkan untuk ber-ihdad seandainya yang meninggal adalah bapak, anak atau ajnabi, dengan catatan perempuan tersebut merasa gundah dengan sebab meninggalnya orang tersebut. Kewajiban lainnya bagi perempuan yang ber-iddah dan ber-ihdad adalah menetap dalam rumah yang ditinggali oleh suaminya tersebut, maksudnya rumah dimana perempuan tersebut berada ketika suaminya meninggal (rumah yang mereka tinggali), jika memang rumah tersebut layak baginya. Dan dibolehkan bagi perempuan tersebut untuk keluar rumah pada siang hari untuk berbelanja seumpama makanan, benang atau mencari kayu bakar, tidak boleh pada malam hari. Tetapi dibolehkan kepada perempuan tersebut untuk keluar pada malam hari dengan tujuan kepada tetangga yang rumahnya berseblahan (melengket) dengan rumah perempuan tersebut untuk beberapa keperluan, atau sekedar berbicara, dengan syarat melakukan hal (kadar lamanya perempuan dirumah tetangganya) tersebut masih dikategorikan kepada adat. Syarat selanjutnya, tidak ada orang lain dirumah perempuan tersebut yang bias diajak bicara. Dan yang terakhir dia harus kembali dan bermalam dirumahnya. Hukum keluar rumah bagi perempuan yang ber-iddah dan ber-ihdad adalah haram dan dosa besar, sebagimana yang telah disebutkan oleh Ibnu hajae dalam kitab Azzawajir. Adapun perempuan yang tertalak raj’i, maka boleh untuk keluar rumah dengan izin suaminya yang menceraikannya, atau karena keperluan sebagaimana yang telah disebutkan. Wallahua’lam.

Sumber;
Ibrahim Al Bajuri, Hasyiyah bajuri hal 175-177.
Zainuddin Al Malibary, Fathul Muin, hal 43-46 jilid 4.

ibm.mudimesra.com
5 RUMAH ASWAJA: 2015 Ihdad A. Pengertian Ihdad Salah satu kewajiban bagi seorang perempuan yang suaminya telah meninggal, selain ber-iddah adalah ber-I...

Rabu, 15 Juli 2015

Bid'ahkah Melafadzkan Niat Sebelum Shalat ?

Assalamualaiku wr.  wb.
Salah satu masalah yang paling sering menjadi perbedaan pendapat di tangah umat Islam adalah masalah membaca ushalli. Mohon ustadz menjelaskan duduk permasalahannya, apakah hukum membaca ushalli ini.

Syukran

Wassalam


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Seluruh ulama sepakat bahwa tempat niat ada di dalam hati. Namun mereka berselisih pendapat tentang hukum melafadzkan niat di lidah, apakah hukumnya sunnah, makruh atau sekedar boleh.

1. Sunnah

Mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa melafadzkan niat itu hukumnya sunnah, agar lisan sesuai dengan hati.
  • Al-Khatib Asy-Syarbini (w. 977) dari ulama mazhab Asy-Syafi'iyah dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menyebutkan :
لأن التلفظ بالنية والتسمية سنة
Sebab melafadzkan niat dan basmalah hukumnya sunnah. [1]
  • Al-Buhuti (w. 1051) muallif kitab mazhab Al-Hanafiyah, Kasysyaf Al-Qinna' menyebutkan :
)واستحبه) أي التلفظ بالنية (سرا مع القلب كثير من المتأخرين) ليوافق اللسان القلب
Banyak dari ulama mutaakhkhirin memandang istihbab melafadzkan niat dengan lirih dalam hati, agar lisan sejalan dengan hati. [2]

2. Makruh

Mazhab Al-Hanabilah dan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukum melafadzkan niat itu makruh.
  • Ibnu Najim (w. 970 H) yang merupakan ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhair menyebutkan :
لا يشترط مع نية القلب التلفظ في جميع العبادات
Tidak disyaratkan melafadzkan niat di dalam hati dalam semua bentuk ibadah.[3]

3. Boleh

Mazhab Al-Malikiyah memandang bahwa hukum melafadzkan niat itu boleh.
  • Ad-Dardir (w. 1230 H) di dalam kitab Asy-Syarhul Kabir menuliskan sebagai berikut :
)ولفظه) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صلاة فرض الظهر مثلا (واسع) أي جائز بمعنى خلاف الأولى . والأولى أن لا يتلفظ لأن النية محلها القلب ولا مدخل للسان فيها
Dan melafadzan niat oleh orang yang shalat seperti nawaitu shalata fardhizh-zhurhi adalah masalah yang luas, yaitu hukumnya boleh walaupun termasuk tidak sejalan dengan utama. Yang utama adalah tidak melafadzkan niat karena tempat niat itu di dalam hati dan tidak ada kaitannya dengan lisan. [4]

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumahfiqih.com

[1] Al-Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, jilid 1 hal. 57
[2] Al-Buhuti, Kasysyaf Al-Qinna', jilid 1 hal. 87
[3] Ibnu NajimAl-Asybah wa An-Nazhair, hal. 48

[4] Ad-Dardir , Asy-syarhul Kabir, jilid 1 hal. 233-234

5 RUMAH ASWAJA: 2015 Assalamualaiku wr.  wb. Salah satu masalah yang paling sering menjadi perbedaan pendapat di tangah umat Islam adalah masalah membaca ushall...

Bid'ahkah Bersalaman Usai Sholat ?

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Mohon penjelasan dari ustadz tentang perdebatan seputar bersalaman sesudah shalat berjamaah. Saya mendengar katanya itu perbuatan bid'ah yang tidak ada dasarnya, sehingga kalau sampai dilakukan hukumnya haram dan berdosa.

Tetapi ada juga yang bilang bahwa memang bersalaman sesudah shalat  tidak ada dasarnya, tetapi juga tidak ada dasar pelarangannya. Kalau tidak larangannya lalu kenapa harus dilarang-larang?

Wassalam


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah hukum bersalaman sesudah shalat termasuk perkara khilafiyah yang sejak dulu seringkali menjadi bahan perdebatan di tengah umat Islam. Secara umum, ulama berbeda pendapat terkait hal ini, antara mereka yang melarang dan yang membolehkan.

A. Pendapat Yang Melarang

Mereka yang melarang bersalaman setelah shalat ini di antaranya adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dan juga Syeikh Bin Bazz.

1. Tokoh
Mereka yang melarang bersalaman setelah shalat ini di antaranya adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dan juga Syeikh Bin Bazz.

a. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah (w. 728H) berfatwanya di dalam kitab Majmu’ Fatawa :

وسئل: عن المصافحة عقيب الصلاة: هل هي سنة أم لا؟ فأجاب: الحمد للَّه، المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة. والله أعلم
Beliau ditanya tentang bersalaman sesudah shalat, apakah dia sunah atau bukan? Beliau menjawab: “Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.” Wallahu A’lam ’[1]

b. Syeikh Bin Bazz
Syeikh Bin Bazz (w. 1420 H) juga termasuk mereka yang berfatwa melarang bersalaman seusai shalat.

المصافحة بعد سلام الإمام ليس لها أصل بل إذا سلم يقول…
Bersalaman setelah salamnya imam tidaklah memiliki dasar, justru jika usai salam hendaknya mengucapkan ..(lalu beliau memaparkan cukup panjang berbagai dzikir setelah shalat yang dianjurkan syara’)[2]

c. Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin (w. 1421H) dalam fatwanya berkata:

المصافحة بين الرجل وأخيه سنة عند الملاقاة فقط وأما بعد السلام من الصلاة المفروضة فإنها ليست بسنة إذ لم ينقل عن الصحابة رضي الله عنهم أنهم كانوا إذا سلموا من الفريضة صافح بعضهم
Bersalaman antara seorang laki-laki dengan saudaranya adalah sunah ketika bertemu saja, ada pun setelah salam dari shalat wajib, maka itu bukan sunah. Karena tidak ada riwayat dari sahabat –radhiallahu ‘anhum- bahwa mereka jika setelah salam dari shalat shalat wajib bersalaman satu sama lain.” [3]

2. Dalil Yang Digunakan

Adapun dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat ada banyak.

a. Tidak Ada Contoh dan Perintah dari Nabi SAW
Yang paling utama bahwa bersalaman setelah shalat itu tidak ada tuntunan atau contoh langsung dari Rasulullah SAW. Logika yang mereka kembangkan adalah bila tidak ada dalilnya maka hukumnya bid'ah atau terlarang.

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak (HR. Bukhari dan Muslim)

b. Saddu Adz-Dzari'ah
Selain itu mereka juga menggunakan kaidah saddu ad-dzariah. Maksudnya meski tidak ada larangannya secara resmi, tetapi kalau dibiarkan khawatir nanti orang awam menganggap bahwa bersalaman selepas shalat itu termasuk ritual ibadah yang harus dilakukan sebagai rangkaian kesempurnaan shalat.

B. Pendapat Yang Membolehkan

Pendapat kedua menganggap bahwa bersalaman selepas shalat itu hukumnya boleh.

1. Para Pendukung
Dan para ulama salaf yang membolehkan adanya bersalaman selepas shalat cukup banyak juga. Diantaranya adalah Al-Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz bin Abdussalam), Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar Al Haitami dan Ar-Ramli, Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah dan juga ulama modern di masa sekarang, Syaikh ‘Athiyah Shaqr.

a. Al ‘Izz Ibnu Abdissalam
Diantara ulama yang membolehkan adanya bersalaman selepas shalat adalah Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalam Asy Syafi’i (w. 660H). Beliau memasukkan bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar sebagai bid’ah yang boleh (bid’ah mubahah). Berikut perkataannya:

وللبدع المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.

Bid’ah-bid’ah mubahah (bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah subuh dan ‘ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.[4]

b. Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) termasuk ulama yang berpendapat boleh bersalaman selepas shalat. Dalam kitabnya beliau mengatakan;

واعلم أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها، لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها.

Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’[5]

Bahkan beliau berpendapat bersalaman selepas shalat itu bisa jadi hukumnya sunnah. Yaitu jika orang yang disamping kita memang belum bersama kita di awal shalat. Beliau berkata:

وَأَمَّا هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ رحمه الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ

Ada pun bersalaman ini, yang dibiasakan setelah dua shalat; subuh dan ‘ashar, maka Asy Syaikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah telah menyebutkan bahwa itu termasuk bid’ah yang boleh yang tidak disifatkan sebagai perbuatan yang dibenci dan tidak pula dianjurkan, dan ini merupakan perkataannya yang bagus. Dan, pandangan yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah shalat) dengan orang yang bersamanya sejak sebelum shalat maka itu boleh sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan orang yang sebelumnya belum bersamanya maka itu sunah, karena bersalaman ketika berjumpa adalah sunah menurut ijma’, sesuai hadits-hadits shahih tentang itu[6]

c. Al-Imam Ibnu Hajar Al Haitami
Ulama lain yang membolehkan bersalaman selepas shalat diantaranya Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i (w. 974H). Beliau memfatwakan tentang sunahnya bersalaman setelah shalat walau pun shalat 'Ied.[7] Dalam kitabnya yang lain beliau berkata:

ولا أَصْلَ لِلْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَلَكِنْ لا بَأْسَ بِهَا فَإِنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ الْمُصَافَحَةِ وَقَدْ حَثَّ الشَّارِعُ عَلَيْهَا
Tidak ada dasarnya bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu tidak mengapa, karena itu termasuk makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari’ (pembuat syariat) telah menganjurkan atas hal itu[8]

d. Al-Imam Ar-Ramli
Ulama lain yang membolehkan bersalaman selepas shalat adalah Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i (w. 957 H). Dalam kitab Fatawa-nya tertulis:

سُئِلَ عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلاةِ لا أَصْلَ لَهَا وَلَكِنْ لا بَأْسَ بِهَا
Ditanya tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu sunah atau tidak? (Beliau menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak mengapa[9]

e. Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah
Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al-Hanafi (w. 1078 H) berkata ketika membahas tentang shalat Id:

وَالْمُسْتَحَبُّ الْخُرُوجُ مَاشِيًا إلا بِعُذْرٍ وَالرُّجُوعُ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ عَلَى الْوَقَارِ مَعَ غَضِّ الْبَصَرِ عَمَّالا يَنْبَغِي وَالتَّهْنِئَةِ بِتَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ لا تُنْكَرُ كَمَا فِي الْبَحْرِ وَكَذَا الْمُصَافَحَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ عَقِيبَ الصِلاة كُلِّهَا وَعِنْدَ الْمُلَاقَاةِ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْفُضَلاءِ

Disunahkan keluar menuju lapangan dengan berjalan kecuali bagi yang uzur dan pulang melalui jalan yang lain dengan berwibawa dan menundukkan pandangan dari yang dilarang, dan menampakan kegembiraan dengan ucapan: taqabballallahu minna wa minkum, hal ini tidaklah diingkari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Bahr, demikian juga bersalaman bahkan itu adalah sunah dilakukan seusai shalat seluruhnya, dan ketika berjumpa sebagaimana perkataan sebagian orang-orang utama[10]

f. Syaikh ‘Athiyah Shaqr
Syaikh ‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir) beliau menyimpulkan bahwa:

والوجه المختار أنها غير محرمة وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر الله به السيئات، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور 
Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. … [11]

2. Dalil Yang Digunakan
Alasannya karena meski tidak ada contoh dan perintahnya, tetapi juga tidak ada nash yang secara tegas melarangnya. Logika yang digunakan, tidak mentang-mentang suatu perbuatan itu tidak ada contoh atau perintahnya, lantas menjadi haram atau bid'ah. Padahal hukum bersalaman sendiri aslinya justru merupakan perbuatan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW sendiri.

مامن مسلمين يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يتفرقا
Dari Bara bin ‘Azib radhialllahanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah. (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah)
Selain itu juga ada dalil yang merupakan atas shahabi.

قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي ؟ قال: نعم.
Dari Qatadah radhiallahuanhu berkata,"Aku bertanya kepada Anas bin Malik,"Apakah bersalaman itu dilakukan para sahabat Nabi SAW?". Anas menjawab,“Ya. (HR. Bukhari)

C. Kesimpulan
  1. Jika menganggap bersalaman selepas shalat itu termasuk ritual ibadah shalat, maka tak diragukan lagi itu termasuk bid’ah dhalalah.
  2. Jika bersalaman selepas shalat kepada saudara yang baru datang, kebetulan baru berkesempatan bisa bersalaman selepas shalat maka hukumnya sunnah dan termasuk aplikasi hadits Nabi.
  3. Jika kepada sesama jamaah yang mulanya memang sudah bertemu sebelum shalat, maka semua sepakat bersalaman seperti ini tidak ada haditsnya yang secara khusus memerintahkan. Tetapi, ulama berbeda pendapat. Sebagian tidak membolehkan, karena bid’ah dan tidak boleh, sebagian lagi berpendapat meski tidak ada haditsnya, belum tentu tidak boleh.
  4. Jika berpendapat bersalaman setelah shalat itu tidak boleh dilakukan, tetapi dia melakukannya bukan inisiatif sendiri, melainkan dia dalam keadaan berjamaah shalat bersama jamaah yang biasa melakukan. Jika dia menolak untuk bersalaman, bisa saja malah melukai perasaan saudaranya itu jika dia menghindar, maka tidak mengapa dia bersalaman. Hal ini, demi menjaga perasaan sesama muslim, menyatukan hati, dan menghindari kebencian satu sama lain

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumahfiqih.com

[1] Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, jilid 2 hal. 3339
[2] Majmu’ Fatawa wal Maqalat, jilid 29 hal. 309-310, Ar Riasah Al ‘Aamah Lil Buhuts Al ‘ilmiyah wal ifta’.
[3] Fatawa Nur ‘Alad Darb Lil Utsaimin, pertanyaan No. 780. Syamilah
[4] Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, jilid 2 hal. 173
[5] An-Nawawi, Al Adzkar, hal. 184. Mawqi’ Ruh Al Islam
[6] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, jilid 3 hal. 325
[7] Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, jilid 4 hal. 224-225
[8] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, jilid 39 hal. 448-449
[9] Syihabuddin ar-Ramli, Fatawa Ar Ramli, jilid 1 hal. 385
[10] Abdurrahman Zaadah, Majma’Al Anhar fi Syarh Multaqa Al Abhar, jilid 1 hal. 173
[11] Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, jilid 8 hal. 477
5 RUMAH ASWAJA: 2015 Assalamu 'alaikum wr. wb. Mohon penjelasan dari ustadz tentang perdebatan seputar bersalaman sesudah shalat berjamaah. Saya mendengar k...
< >