Khitan atau yang dikenal dengan istilah sunat dalam bahasa
Indonesia adalah peninggalan syariat Nabi Ibrahim AS. yang juga dijalankan oleh
umat Nabi Muhammad ﷺ.
Yaitu memotong bagian dari kemaluan. Dan termasuk dalam Fitrah dalam
syariat nabi muhammad.
Ulama sepakat bahwa khitan disyariatkan dalam islam. namun
mereka berbeda pendapat dalam sunnahkah atau wajibkah khitan tersebut.
Pendapat Ulama Madzhab
Madzhab Hanafi
- Imam
Al Baldahi Al Hanafi(w. 683) dari kalangan Hanafiyah berpendapat
bahwa khitan adalah sunah bagi laki-laki. Dan merupakan kehormatan bagi
perempuan. bukan merupakan sebuah kewajiban. Namun beliau menambahkan
baahwa ketika suatu penduduk kota tidak melakukan khitan secara berjamaah,
maka diperangi oleh pemimpin karena tidak meninggikan Syiar-syiar
وَالْخِتَانُ لِلرِّجَالِ سُنَّةٌ وَهُوَ مِنَ الْفِطْرَةِ، وَهُوَ
لِلنِّسَاءِ مَكْرُمَةٌ، فَلَوِ اجْتَمَعَ أَهْلُ مِصْرٍ عَلَى تَرْكِ الْخِتَانِ
قَاتَلَهُمُ الْإِمَامُ لِأَنَّهُ مِنْ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ وَخَصَائِصِهِ.
وَاخْتَلَفُوا فِي وَقْتِهِ، قِيلَ حَتَّى يَبْلُغَ، وَقِيلَ إِذَا بَلَغَ تِسْعَ
سِنِينَ، وَقِيلَ عَشْرًا، وَقِيلَ مَتَى كَانَ يُطِيقُ أَلَمَ الْخِتَانِ خُتِنَ
وَإِلَّا فَلَا
Dan khitan hukumnya sunnah untuk laki-laki dan itu
termasuk fitrah, adapun bagi perempuan maka hanyalah sebuah kehormatan. Dan
ketika suatu penduduk kota meninggalkan khitan secara berjamaah maka diperangi
oleh pemimpin. Karena khitan termasuk syiar dan keistimewaan agama Islam.
adapun perbedaan pendapat dalam waktunya, dikatakan sampai baligh, dikatakan
pula ketika umur Sembilan tahun, dan dikatakan sepuluh tahun. Dan dikatakan
pula ketika dia mampu menahan sakitnya dikhitan, dan ketika tidak kuat maka tidak
dikhitan. [1]
- Imam
Al Hasfaki dari kalangan Hanafiyah juga berpendapat sama dengan
imam Al Baldahi. Yaitu khitan hukumnya sunnah. Namun jika ditiggalkan
secara berjamaah maka harus diperangi. Karena telah meninggalkan syiar Islam
dan tidak boleh ditinggalkan kecuali karena udzur. namun jika
seseorang sudah tua dan belum dikhitan, dibolehkan untuk meninggalkanya
karena tidak mampu.
(وَ) الْأَصْلُ أَنَّ (الْخِتَانَ سُنَّةٌ) كَمَا جَاءَ فِي الْخَبَرِ
(وَهُوَ مِنْ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ) وَخَصَائِصِهِ (فَلَوْ اجْتَمَعَ أَهْلُ
بَلْدَةٍ عَلَى تَرْكِهِ حَارَبَهُمْ) الْإِمَامُ فَلَا يُتْرَكُ إلَّا لِعُذْرٍ
وَعُذْرُ شَيْخٍ لَا يُطِيقُهُ ظَاهِرٌ
Dan hukum dari khitan adalah sunnah. Seperti yang
diperintahkan dalam hadist. Dan khitan merupakan syiar dan keistimewaan agama
Islam. namun ketika ditinggalkan oleh
skelompok penduduk suatu daerah secara
berjamaah maka harus diperangi. Karena khitan termasuk sesuatu yang tidak boleh
ditinggal tanpa udzur. Namun sseorang yang sudah tua dan tidak mampu adalah
sebuah udzur yang jelas
وَخِتَانُ الْمَرْأَةِ لَيْسَ سُنَّةً بَلْ مَكْرُمَةً لِلرِّجَالِ
وَقِيلَ سُنَّةٌ
Adapun khitan bagi perempuan hukumnya tidak sunnah, akan
tetapi sebuah penghormatan untuk laki-laki (suaminya), dan dikatakan hukumnya
sunnah.[2]
Madzhab Maliki
- Ibn
Abdil Barr (w. 463) dari kalangan malikiyah sependapat
dengan Hanafiyah. Sunnah bagi laki-laki dan sebuah kehormatan bagi
perempuan.
ومن فطرة الإسلام عشر خصال الختان وهو سنة للرجال ومكرمة للنساء وقد
روي عن مالك أنه سنة
Dan termasuk dalam Fitrah Islam 10 perbuatan,
(diantaranya) khitan. Dan hukumnya dalah sunnah bagi laki-laki dan kehormatan
bagi perempuan. Namun diriwayatkan dari Malik bahwa khitan bagi perempuan juga
sunnah.[3]
- Al
Qorofi (w. 684) dari kalangan Malikiyah mengatakan khitan
hukumnya sunnah muakkadah baik bagi perempuan ataupun laki-laki. Dalam
kitabnya Ad Dzakhirohbeliau menyebutkan:
قالَ ابْنُ يُونُسَ الْخِتَانُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ فِي الذُّكُورِ
وَالْإِنَاثِ
Ibnu Yunus berkata: khitan hukumnya sunnah muakkadah bagi
perempuan dan laki-laki.[4]
Madzhab Syafi’i
- Imam
Nawawi (w. 676) dari kalangan Syafiiyah berbeda pendapat dengan
dua madzhab sebelumnya. Ketika mereka hanya menyunnahkan khitan maka Imam
Nawawi mewajibkan khitan baik bagi laki-laki ataupun perempuan.
لْخِتَانُ وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ عِنْدَنَا
Dan khitan hukumnya wajib baik laki-laki maupun perempuan
menurut madzhab kami.[5]
- Syaikhul
Islam Zakariya Al Anshori (w. 926) juga mengatakn wajib khitan.
Yaitu ketika seseorang sudah baligh. Dan menjelaskan apa yang dipotong
dalam khitan. Yaitu sampai terbukanya kepala kemaluan laki-laki, dan
dipotongnya sebgian klitoris dari kemaluan perempuan.
وَالْخِتَانُ وَاجِبٌ (وَإِنَّمَا يَجِبُ بِالْبُلُوغِ)
Dan khitan hukumnya wajib. Dan kewajibanya dalah ketika
seseorang sudah baligh.
لَا بُدَّ مِنْ كَشْفِ جَمِيعِ الْحَشَفَةِ فِي الْخِتَانِ)
لِلرَّجُلِ بِقَطْعِ الْجِلْدَةِ الَّتِي تُغَطِّيهَا فَلَا يَكْفِي قَطْعُ
بَعْضِهَا وَيُقَالُ لِتِلْكَ الْجِلْدَةِ الْقُلْفَةُ (وَ) مَنْ (قَطْعِ شَيْءٍ
مِنْ بَظْرِ الْمَرْأَةِ)
Ketika dikhitan maka harus sampai terbuka kepala kemaluan
laki-laki. Yaitu dengan memotong semua kulit yang menutupi kepala kemaluan. Dan
tidak cukup hanya dipotong sebagiannya saja. Dan kulit tersevut disebut kulfah.
Dan pada perempuan dipotong sebagian dari klitoris. [6]
Madzhab Hanbali
- Ibnu Qudamah (w. 620) dari kalangan Hanabilah mengatakh khitan hukumnya wajib hanya bagi laki-laki. Dan sebuah kehormatan bagi perempuan dan bukan merupakan kewajiban. Seperti dalam kitabnya Al Mughni beliau menegaskan:
فَصْلٌ: فَأَمَّا الْخِتَانُ فَوَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ،
وَمَكْرُمَةٌ فِي حَقِّ النِّسَاءِ، وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْهِنَّ
Fashl; adapun khitan maka hukumnya wajib bagi laki-laki,
dan sebuah kehormatan bagi perempuan. Bukan merupakan kewajiban bagie kaum
hawa.[7]
- Ibnu
Timiyyah (w. 728) dari kalangan Hanabilah juga mengatakan wajb
khitan. Dan kewajibanya ketika seseorang sudah dibebani kewajiban bersuci
dan sholat. Yaitu ketia sudah baligh.
وَيَجِبُ الْخِتَانُ إذَا وَجَبَتْ الطَّهَارَةُ وَالصَّلَاةُ، وَيَنْبَغِي
إذَا رَاهَقَ الْبُلُوغَ أَنْ يَخْتَتِنَ كَمَا كَانَتْ الْعَرَبُ تَفْعَلُ
لِئَلَّا يَبْلُغَ إلَّا وَهُوَ مَخْتُونٌ
Dan wajib khitan ketika seseorang telah dibebani
kewajiban bersuci dan sholat. Dan seyogyanya seseorang ketika mendekati baligh
untuk dikhitan seperti kebiasaan bangsa Arab. Hal ini dilakukan supaya
seseorang tidak mencapai baligh kecuali telah dikhitan.[8]
Madzhab Dzohiri
Ibu Hazm (w.456) dari kalangan Dzohiriyah
hanya meyebutkan khitan sebagai sebuah sunnah. Dan bukan merupakan syariat yang
wajib.
السِّوَاكُ مُسْتَحَبٌّ، وَلَوْ أَمْكَنَ لِكُلِّ صَلَاةٍ لَكَانَ
أَفْضَلَ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَالْخِتَانُ
Dan siwak hukumnya sunnah. Ketika memungkunkan untuk
dilakukan setiap sebelum sholat maka afdhol. Begitu juga dengan mencabut bulu
ketiak dan khitan.[9]
Demikian perbedaan dikalangan ulama tentang khitan. Antara
sunnah ataukah wajib. Dan apakah hanya bagi laki-laki ataukah berlaku untuk
perempuan.
Wallahu a’lam.
Muhammad Aqil Haidar
kampussyariah.com
kampussyariah.com
[1] Al Baldahi (w. 683) Al Ikhtiyar Li
Ta’lilil Mukhtar hal.167 jilid 4.
[2] Al Hasfaki , Addur Al Mkhtar wa Hasyiah
Ibn Abdin hal.751 jilid 6
[3] Ibn Abdil Bar (w.463) Al Kafi
fi Fiqhi Ahlil Madinah hal.1136 jilid 2.
[4] Al Qorofi (w. 684) Ad dzakhiroh hal.
166 jilid 1
[5] An Nawawi (w. 676) Al Majmu’ Syarh Al
Muhadzab hal 300 jilid 1.
[6] Zakariya Al Anshori (w. 926) Asna Al
Matholib Fi Syarhi Roudh At Tholib. Hal 164 jilid4.
[7] Ibn Qudamah (620) Al Mughni hal.64
jilid 1.
[8] Ibn Taimiyyah (w. 728) Al Fatawa Al
Kubro hal 302 jilid 5.
[9] Ibnu Hazm (w. 456) Al Muhalla bil Atsar
hal 423 jilid 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar