+ -

Pages

Kamis, 23 Juli 2015

Anak Zina, Siapakah Walinya ?

satu hal yang telah ma`ruf di ketahui umum adalah dalam pernikahan seorang wanita mesti di wakili oleh walinya. Yang pertama sekali menjadi wali adalah ayahnya sendiri. Ketika ayahnya tidak ada maka akan di gantikan oleh orang lain yang ada dalam urutan wali pernikahan. Baca tulisan kami urutan perwalian dalam pernikahan. 
Masalah timbul pada anak hasil perzinahan, di mana dalam agama, ia tidak di hubungkan nasabnya kepada ayahnya sehingga secara syar`i ayah biologisnya bukanlah ayahnya sehingga ia tidak berhak menjadi wali. Nasabnya hanya di bangsakan kepada ibunya. Karena ini ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa yang menjadi walinya adalah wali ibunya sendiri.

Pertanyaan:
Siapa sebenarnya yang berhak menjadi wali pernikahan bagi anak hasil zina?

Jawaban:
yang menjadi wali dalam pernikahan bagi anak hasil perzinaan adalah wali hakim.

Anak zina dalam pandangan agama tidak terhubung nasabnya kepada ayah biologisnya, tetapi nasabnya hanya terhubung kepada ibunya. Maka anak zina tidak menerima warisan dari ayah biologisnya, demikian juga sebaliknya. Ini merupakan ijma’ para ‘Ulama yang disepakati oleh ke-empat madzhab fiqh.
Selain tidak berlaku waris-mewarisi di antara anak zina dan ayah biologisnya, dalam madzhab al-Syafi’i juga tidak berlaku semua hukum nasab yang lain di antara keduanya seperti pernikahan. Ayah biologisnya sah saja menikahi anak tersebut karena nuthfah yang keluar melalui perzinaan tidak terhormat dalam pandangan agama.

Salah satu hukum nasab adalah perwalian dalam pernikahan. Karena anak perzinaan tidak terhubung nasabnya dengan ayah biologisnya, maka ayahnya tersebut tidak sah menjadi wali nikah anak hasil zina tersebut sebagaimana di terangkan secara sharih oleh para ‘Ulama dalam kitab fiqh.

Ketika ayah biologis tidak punya hak wali, lalu siapakah yang berhak menjadi wali dari anak zina? Sebagaimana telah kami terangkan sebelumnya dalam tulisan kami urutan hak perwalian dalam pernikahan, bahwa yang paling berhak menjadi wali adalah wali nasab. Jika wali pada bagian ini tidak ada, baik secara nyata maupun tidak ada (hissi) menurut pandangan agama (syar`i), maka hak wali berpindah kepada wali wila`. Jika wali perempuan tersebut bukanlah mantan budak sehingga wali dari pihak wila` tidak berlaku baginya, maka hal wali langsung berpindah kepada sulthan dan penggantinya. (1)

Dalam permasalahan anak zina, karena ia tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya maka dapat dipastikan bahwa ia tidak memiliki wali dari nasab. Dalam hal ini jika ia bukan seorang mantan budak maka otomatis ia juga tidak memiliki wali wila`, maka hak perwalian berpindah kepada sulthan atau penggantinya, karena seseorang yang tidak memiliki wali maka sulthan-lah yang menjadi walinya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah Saw :

فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

“Sulthan adalah wali bagi orang yang tidak ada wali.” (H.R. Imam Abu Dawud)

Berdasarkan pemahaman tentang hadits ini dan ketentuan tentang perpindahan hak perwalian nikah serta nisab anak zina, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi wali bagi anak zina adalah sulthan atau penggantinya (KUA).

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa yang menjadi wali wanita anak hasil perzinahan adalah wali ibunya karena ia di bangsakan kepada ibunya adalah pendapat yang tidak di dukung referensi. Belum kami temukan ada pendapat ulama yang menyatakan demikian. Dalam hukum fiqh, wali pernikahan hanya berada dari pihak kerabat ayah tidak ada dari pihak kerabat sang ibu.
--------------
(1). Syeikhul Islam Zakaria al-Anshari, Tahrir, Jld. II ,(Jeddah, Haramain, tt), h. 226-227

Wallahu A`lam.

ibm.mudimesra.com
5 RUMAH ASWAJA: Juli 2015 satu hal yang telah ma`ruf di ketahui umum adalah dalam pernikahan seorang wanita mesti di wakili oleh walinya. Yang pertama sekali menjadi...

Penjelasan Ihdad


A. Pengertian Ihdad
Salah satu kewajiban bagi seorang perempuan yang suaminya telah meninggal, selain ber-iddah adalah ber-Ihdad. Ihdad secara bahasa adalah menegah, sedangkan secara istilah adalah menegah diri dari dua perkara :

1. Berhias, yaitu dengan meninggalkan/atau tidak memakai pakaian yang dicelupkan (berwarna) baik terbuat dari sutera atau lainnya. Tidak memakai perhiasan emas, perak dan sejenisnya, tidak memakai anting telinga, cincin atau sejenisnya, yang kesemuanya membawaki kepada bertambahnya kecantikan atau kebagusansi perempuan. Tidak boleh memakai beberapa perkara (mulai perhiasan dari emas, perak, dst) di atas adalah pada waktu siang hari, adapun pada malam hari, maka hanya dimakruhkan jika bukan karena hajat, adapun karena hajat, maka tidak dimakruhkan pula memakai yang demikian pada malam hari. Sedangkan pakaian yang dicelupkan (berwarna) keharamannya berlaku pada siang dan malam harinya. Keluar dari ketentuan tidak boleh memakai pakaian yang di atas adalah pakaian yang dicelupkan (berwarna) yang terbuat dari Qatun (kapas) atau kain wool (bulu domba), maka boleh untuk dipakai oleh perempuan yang sedang melakukan ihdad. Selanjutnya, yang tidak boleh dihiasi oleh perempuan yang ber-ihdad adalah hanya pada tubuhnya, adapun selain tubuhnya maka hukumnya boleh, seperti tempat tidur atau kursi perempuan misalnya.

2. Wangi-wangian, perempuan yang sedang menjalani masa ihdad juga di wajibkan untuk menahan diri dari memakai wangi-wangian baik pada badan, pakaian atau makanan, atau celak yang yang tiada di haramkan, adapun memakai celak yang diharamkan seperti memakai celak dari jenis tanaman bakung (aloe-ing), maka haram secara mutlak. Keharaman memakai wangi-wangian berlaku baik pada malam hari atau pada siang harinya. Dhabit atau ketentuan Wangi-wangian yang haram digunakan adalah wangi-wangian yang diharamkan bagi orang yang ber-ihram dan tidak mewajibkan fidiyah saat memakainya. Wajib pula untuk segera meninggalkannya di saat mau memasuki masa iddah.

B. Waktu Pelaksaaan Ihdad
Waktu pelaksaan ihdad adalah selama masa iddah perempuan tersebut, yaitu selama 4 bulan 10 hari, pada seluruh waktunya, baik siang atau malam, kecuali perhiasan emas, perak, luk-luk, cincin, anting telinga, maka boleh untuk digunakan pada malam hari, tetapi tetap dimakruhkan.

C. Hal-hal yang dilarang Pada Saat Ihdad
1. Memakai baju berwarna.
2. Memakai wangi-wangian.
3. Memakai perhiasan (emas, perak, luk-luk dan sejenisnya)
4. Memakai meminyaki rambut kepala, tidak haram pada seluruh tubuh.
5. Memakai celak.
6. Dan lain sebagainya, yang dapat membuatnya terlihat cantik dan menarik perhatian orang lain.

D. Hukum Ihdad
Hukum ihdad bagi perempuan yang meninggal suami adalah wajib selama masa iddah, sedangkan bagi perempuan yang ber-iddah bukan karena suaminya meninggal, tetapi karena ba’in dengan sebab khulu’, pasakh, atau talak 3, demikian juga talak raj’i, jika perempuan tersebut tidak mengharap kembali dengan lelaki mantan suaminya, maka hukumnya adalah sunat, selama tidak lebih dari 3 hari. Perempuan juga dibolehkan untuk ber-ihdad seandainya yang meninggal adalah bapak, anak atau ajnabi, dengan catatan perempuan tersebut merasa gundah dengan sebab meninggalnya orang tersebut. Kewajiban lainnya bagi perempuan yang ber-iddah dan ber-ihdad adalah menetap dalam rumah yang ditinggali oleh suaminya tersebut, maksudnya rumah dimana perempuan tersebut berada ketika suaminya meninggal (rumah yang mereka tinggali), jika memang rumah tersebut layak baginya. Dan dibolehkan bagi perempuan tersebut untuk keluar rumah pada siang hari untuk berbelanja seumpama makanan, benang atau mencari kayu bakar, tidak boleh pada malam hari. Tetapi dibolehkan kepada perempuan tersebut untuk keluar pada malam hari dengan tujuan kepada tetangga yang rumahnya berseblahan (melengket) dengan rumah perempuan tersebut untuk beberapa keperluan, atau sekedar berbicara, dengan syarat melakukan hal (kadar lamanya perempuan dirumah tetangganya) tersebut masih dikategorikan kepada adat. Syarat selanjutnya, tidak ada orang lain dirumah perempuan tersebut yang bias diajak bicara. Dan yang terakhir dia harus kembali dan bermalam dirumahnya. Hukum keluar rumah bagi perempuan yang ber-iddah dan ber-ihdad adalah haram dan dosa besar, sebagimana yang telah disebutkan oleh Ibnu hajae dalam kitab Azzawajir. Adapun perempuan yang tertalak raj’i, maka boleh untuk keluar rumah dengan izin suaminya yang menceraikannya, atau karena keperluan sebagaimana yang telah disebutkan. Wallahua’lam.

Sumber;
Ibrahim Al Bajuri, Hasyiyah bajuri hal 175-177.
Zainuddin Al Malibary, Fathul Muin, hal 43-46 jilid 4.

ibm.mudimesra.com
5 RUMAH ASWAJA: Juli 2015 Ihdad A. Pengertian Ihdad Salah satu kewajiban bagi seorang perempuan yang suaminya telah meninggal, selain ber-iddah adalah ber-I...

Rabu, 15 Juli 2015

Bid'ahkah Melafadzkan Niat Sebelum Shalat ?

Assalamualaiku wr.  wb.
Salah satu masalah yang paling sering menjadi perbedaan pendapat di tangah umat Islam adalah masalah membaca ushalli. Mohon ustadz menjelaskan duduk permasalahannya, apakah hukum membaca ushalli ini.

Syukran

Wassalam


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Seluruh ulama sepakat bahwa tempat niat ada di dalam hati. Namun mereka berselisih pendapat tentang hukum melafadzkan niat di lidah, apakah hukumnya sunnah, makruh atau sekedar boleh.

1. Sunnah

Mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa melafadzkan niat itu hukumnya sunnah, agar lisan sesuai dengan hati.
  • Al-Khatib Asy-Syarbini (w. 977) dari ulama mazhab Asy-Syafi'iyah dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menyebutkan :
لأن التلفظ بالنية والتسمية سنة
Sebab melafadzkan niat dan basmalah hukumnya sunnah. [1]
  • Al-Buhuti (w. 1051) muallif kitab mazhab Al-Hanafiyah, Kasysyaf Al-Qinna' menyebutkan :
)واستحبه) أي التلفظ بالنية (سرا مع القلب كثير من المتأخرين) ليوافق اللسان القلب
Banyak dari ulama mutaakhkhirin memandang istihbab melafadzkan niat dengan lirih dalam hati, agar lisan sejalan dengan hati. [2]

2. Makruh

Mazhab Al-Hanabilah dan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukum melafadzkan niat itu makruh.
  • Ibnu Najim (w. 970 H) yang merupakan ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhair menyebutkan :
لا يشترط مع نية القلب التلفظ في جميع العبادات
Tidak disyaratkan melafadzkan niat di dalam hati dalam semua bentuk ibadah.[3]

3. Boleh

Mazhab Al-Malikiyah memandang bahwa hukum melafadzkan niat itu boleh.
  • Ad-Dardir (w. 1230 H) di dalam kitab Asy-Syarhul Kabir menuliskan sebagai berikut :
)ولفظه) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صلاة فرض الظهر مثلا (واسع) أي جائز بمعنى خلاف الأولى . والأولى أن لا يتلفظ لأن النية محلها القلب ولا مدخل للسان فيها
Dan melafadzan niat oleh orang yang shalat seperti nawaitu shalata fardhizh-zhurhi adalah masalah yang luas, yaitu hukumnya boleh walaupun termasuk tidak sejalan dengan utama. Yang utama adalah tidak melafadzkan niat karena tempat niat itu di dalam hati dan tidak ada kaitannya dengan lisan. [4]

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumahfiqih.com

[1] Al-Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, jilid 1 hal. 57
[2] Al-Buhuti, Kasysyaf Al-Qinna', jilid 1 hal. 87
[3] Ibnu NajimAl-Asybah wa An-Nazhair, hal. 48

[4] Ad-Dardir , Asy-syarhul Kabir, jilid 1 hal. 233-234

5 RUMAH ASWAJA: Juli 2015 Assalamualaiku wr.  wb. Salah satu masalah yang paling sering menjadi perbedaan pendapat di tangah umat Islam adalah masalah membaca ushall...

Bid'ahkah Bersalaman Usai Sholat ?

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Mohon penjelasan dari ustadz tentang perdebatan seputar bersalaman sesudah shalat berjamaah. Saya mendengar katanya itu perbuatan bid'ah yang tidak ada dasarnya, sehingga kalau sampai dilakukan hukumnya haram dan berdosa.

Tetapi ada juga yang bilang bahwa memang bersalaman sesudah shalat  tidak ada dasarnya, tetapi juga tidak ada dasar pelarangannya. Kalau tidak larangannya lalu kenapa harus dilarang-larang?

Wassalam


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah hukum bersalaman sesudah shalat termasuk perkara khilafiyah yang sejak dulu seringkali menjadi bahan perdebatan di tengah umat Islam. Secara umum, ulama berbeda pendapat terkait hal ini, antara mereka yang melarang dan yang membolehkan.

A. Pendapat Yang Melarang

Mereka yang melarang bersalaman setelah shalat ini di antaranya adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dan juga Syeikh Bin Bazz.

1. Tokoh
Mereka yang melarang bersalaman setelah shalat ini di antaranya adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dan juga Syeikh Bin Bazz.

a. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah (w. 728H) berfatwanya di dalam kitab Majmu’ Fatawa :

وسئل: عن المصافحة عقيب الصلاة: هل هي سنة أم لا؟ فأجاب: الحمد للَّه، المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة. والله أعلم
Beliau ditanya tentang bersalaman sesudah shalat, apakah dia sunah atau bukan? Beliau menjawab: “Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.” Wallahu A’lam ’[1]

b. Syeikh Bin Bazz
Syeikh Bin Bazz (w. 1420 H) juga termasuk mereka yang berfatwa melarang bersalaman seusai shalat.

المصافحة بعد سلام الإمام ليس لها أصل بل إذا سلم يقول…
Bersalaman setelah salamnya imam tidaklah memiliki dasar, justru jika usai salam hendaknya mengucapkan ..(lalu beliau memaparkan cukup panjang berbagai dzikir setelah shalat yang dianjurkan syara’)[2]

c. Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin (w. 1421H) dalam fatwanya berkata:

المصافحة بين الرجل وأخيه سنة عند الملاقاة فقط وأما بعد السلام من الصلاة المفروضة فإنها ليست بسنة إذ لم ينقل عن الصحابة رضي الله عنهم أنهم كانوا إذا سلموا من الفريضة صافح بعضهم
Bersalaman antara seorang laki-laki dengan saudaranya adalah sunah ketika bertemu saja, ada pun setelah salam dari shalat wajib, maka itu bukan sunah. Karena tidak ada riwayat dari sahabat –radhiallahu ‘anhum- bahwa mereka jika setelah salam dari shalat shalat wajib bersalaman satu sama lain.” [3]

2. Dalil Yang Digunakan

Adapun dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat ada banyak.

a. Tidak Ada Contoh dan Perintah dari Nabi SAW
Yang paling utama bahwa bersalaman setelah shalat itu tidak ada tuntunan atau contoh langsung dari Rasulullah SAW. Logika yang mereka kembangkan adalah bila tidak ada dalilnya maka hukumnya bid'ah atau terlarang.

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak (HR. Bukhari dan Muslim)

b. Saddu Adz-Dzari'ah
Selain itu mereka juga menggunakan kaidah saddu ad-dzariah. Maksudnya meski tidak ada larangannya secara resmi, tetapi kalau dibiarkan khawatir nanti orang awam menganggap bahwa bersalaman selepas shalat itu termasuk ritual ibadah yang harus dilakukan sebagai rangkaian kesempurnaan shalat.

B. Pendapat Yang Membolehkan

Pendapat kedua menganggap bahwa bersalaman selepas shalat itu hukumnya boleh.

1. Para Pendukung
Dan para ulama salaf yang membolehkan adanya bersalaman selepas shalat cukup banyak juga. Diantaranya adalah Al-Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz bin Abdussalam), Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar Al Haitami dan Ar-Ramli, Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah dan juga ulama modern di masa sekarang, Syaikh ‘Athiyah Shaqr.

a. Al ‘Izz Ibnu Abdissalam
Diantara ulama yang membolehkan adanya bersalaman selepas shalat adalah Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalam Asy Syafi’i (w. 660H). Beliau memasukkan bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar sebagai bid’ah yang boleh (bid’ah mubahah). Berikut perkataannya:

وللبدع المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.

Bid’ah-bid’ah mubahah (bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah subuh dan ‘ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.[4]

b. Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) termasuk ulama yang berpendapat boleh bersalaman selepas shalat. Dalam kitabnya beliau mengatakan;

واعلم أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها، لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها.

Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’[5]

Bahkan beliau berpendapat bersalaman selepas shalat itu bisa jadi hukumnya sunnah. Yaitu jika orang yang disamping kita memang belum bersama kita di awal shalat. Beliau berkata:

وَأَمَّا هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ رحمه الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ

Ada pun bersalaman ini, yang dibiasakan setelah dua shalat; subuh dan ‘ashar, maka Asy Syaikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah telah menyebutkan bahwa itu termasuk bid’ah yang boleh yang tidak disifatkan sebagai perbuatan yang dibenci dan tidak pula dianjurkan, dan ini merupakan perkataannya yang bagus. Dan, pandangan yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah shalat) dengan orang yang bersamanya sejak sebelum shalat maka itu boleh sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan orang yang sebelumnya belum bersamanya maka itu sunah, karena bersalaman ketika berjumpa adalah sunah menurut ijma’, sesuai hadits-hadits shahih tentang itu[6]

c. Al-Imam Ibnu Hajar Al Haitami
Ulama lain yang membolehkan bersalaman selepas shalat diantaranya Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i (w. 974H). Beliau memfatwakan tentang sunahnya bersalaman setelah shalat walau pun shalat 'Ied.[7] Dalam kitabnya yang lain beliau berkata:

ولا أَصْلَ لِلْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَلَكِنْ لا بَأْسَ بِهَا فَإِنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ الْمُصَافَحَةِ وَقَدْ حَثَّ الشَّارِعُ عَلَيْهَا
Tidak ada dasarnya bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu tidak mengapa, karena itu termasuk makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari’ (pembuat syariat) telah menganjurkan atas hal itu[8]

d. Al-Imam Ar-Ramli
Ulama lain yang membolehkan bersalaman selepas shalat adalah Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i (w. 957 H). Dalam kitab Fatawa-nya tertulis:

سُئِلَ عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلاةِ لا أَصْلَ لَهَا وَلَكِنْ لا بَأْسَ بِهَا
Ditanya tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu sunah atau tidak? (Beliau menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak mengapa[9]

e. Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah
Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al-Hanafi (w. 1078 H) berkata ketika membahas tentang shalat Id:

وَالْمُسْتَحَبُّ الْخُرُوجُ مَاشِيًا إلا بِعُذْرٍ وَالرُّجُوعُ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ عَلَى الْوَقَارِ مَعَ غَضِّ الْبَصَرِ عَمَّالا يَنْبَغِي وَالتَّهْنِئَةِ بِتَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ لا تُنْكَرُ كَمَا فِي الْبَحْرِ وَكَذَا الْمُصَافَحَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ عَقِيبَ الصِلاة كُلِّهَا وَعِنْدَ الْمُلَاقَاةِ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْفُضَلاءِ

Disunahkan keluar menuju lapangan dengan berjalan kecuali bagi yang uzur dan pulang melalui jalan yang lain dengan berwibawa dan menundukkan pandangan dari yang dilarang, dan menampakan kegembiraan dengan ucapan: taqabballallahu minna wa minkum, hal ini tidaklah diingkari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Bahr, demikian juga bersalaman bahkan itu adalah sunah dilakukan seusai shalat seluruhnya, dan ketika berjumpa sebagaimana perkataan sebagian orang-orang utama[10]

f. Syaikh ‘Athiyah Shaqr
Syaikh ‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir) beliau menyimpulkan bahwa:

والوجه المختار أنها غير محرمة وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر الله به السيئات، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور 
Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. … [11]

2. Dalil Yang Digunakan
Alasannya karena meski tidak ada contoh dan perintahnya, tetapi juga tidak ada nash yang secara tegas melarangnya. Logika yang digunakan, tidak mentang-mentang suatu perbuatan itu tidak ada contoh atau perintahnya, lantas menjadi haram atau bid'ah. Padahal hukum bersalaman sendiri aslinya justru merupakan perbuatan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW sendiri.

مامن مسلمين يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يتفرقا
Dari Bara bin ‘Azib radhialllahanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah. (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah)
Selain itu juga ada dalil yang merupakan atas shahabi.

قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي ؟ قال: نعم.
Dari Qatadah radhiallahuanhu berkata,"Aku bertanya kepada Anas bin Malik,"Apakah bersalaman itu dilakukan para sahabat Nabi SAW?". Anas menjawab,“Ya. (HR. Bukhari)

C. Kesimpulan
  1. Jika menganggap bersalaman selepas shalat itu termasuk ritual ibadah shalat, maka tak diragukan lagi itu termasuk bid’ah dhalalah.
  2. Jika bersalaman selepas shalat kepada saudara yang baru datang, kebetulan baru berkesempatan bisa bersalaman selepas shalat maka hukumnya sunnah dan termasuk aplikasi hadits Nabi.
  3. Jika kepada sesama jamaah yang mulanya memang sudah bertemu sebelum shalat, maka semua sepakat bersalaman seperti ini tidak ada haditsnya yang secara khusus memerintahkan. Tetapi, ulama berbeda pendapat. Sebagian tidak membolehkan, karena bid’ah dan tidak boleh, sebagian lagi berpendapat meski tidak ada haditsnya, belum tentu tidak boleh.
  4. Jika berpendapat bersalaman setelah shalat itu tidak boleh dilakukan, tetapi dia melakukannya bukan inisiatif sendiri, melainkan dia dalam keadaan berjamaah shalat bersama jamaah yang biasa melakukan. Jika dia menolak untuk bersalaman, bisa saja malah melukai perasaan saudaranya itu jika dia menghindar, maka tidak mengapa dia bersalaman. Hal ini, demi menjaga perasaan sesama muslim, menyatukan hati, dan menghindari kebencian satu sama lain

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumahfiqih.com

[1] Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, jilid 2 hal. 3339
[2] Majmu’ Fatawa wal Maqalat, jilid 29 hal. 309-310, Ar Riasah Al ‘Aamah Lil Buhuts Al ‘ilmiyah wal ifta’.
[3] Fatawa Nur ‘Alad Darb Lil Utsaimin, pertanyaan No. 780. Syamilah
[4] Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, jilid 2 hal. 173
[5] An-Nawawi, Al Adzkar, hal. 184. Mawqi’ Ruh Al Islam
[6] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, jilid 3 hal. 325
[7] Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, jilid 4 hal. 224-225
[8] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, jilid 39 hal. 448-449
[9] Syihabuddin ar-Ramli, Fatawa Ar Ramli, jilid 1 hal. 385
[10] Abdurrahman Zaadah, Majma’Al Anhar fi Syarh Multaqa Al Abhar, jilid 1 hal. 173
[11] Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, jilid 8 hal. 477
5 RUMAH ASWAJA: Juli 2015 Assalamu 'alaikum wr. wb. Mohon penjelasan dari ustadz tentang perdebatan seputar bersalaman sesudah shalat berjamaah. Saya mendengar k...

Zakat Fithrah Dengan Uang, Bolehkah ?

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebentar lagi Ramdhan dan tiap pada akhir Romadhan Umat Islam yang menjalankan puasa diwajibkan membayar zakat fithr.

Pertanyaan saya adalah:

1. Bolehkah membayar zakat fithr dengan sejumlah uang yang telah ditetapkan besarannya sesuai dengan harga 2.5 kg beras? Misal harga beras perkg adalah Rp. 10.000,-, maka zakat fithr yang dibayarkan adalah Rp. 25.000,-

2. Dan bagaimanakah mekanisme pembagian zakat fithr berupa uang itu? Apakah harus dirupakan ke dalam beras lagi baru dibagi atau dibagi tetap dalam bentuk uang dibagi ke para mustahiq?

Jazakallah khair


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Pertanyaan yang anda sampaikan ini sejak dahulu memang sudah menjadi bahan pertanyaan masyarakat. Dan kalau kita telusuri lebih jauh ke lubuk terdalam ke dunia ilmu fiqih, rupanya memang telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para pakarnya. 

Ada perbedaan pendapat antara jumhur (mayoritas) ulama di masa lalu dengan mazhab Al-Hanafiyah. Rinciannya sebagai berikut :

1. Jumhur Ulama : Tidak Boleh

Mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah yang merupakan tiga mazhab besar dan bisa kita sebut sebagai jumhur (mayoritas) ulama, telah sepakat mengatakan bahwa zakat al-fithr itu harus dikeluarkan sebagaimana aslinya, yaitu dalam bantuk makanan pokok yang masih mentah.

Apabila hanya diberikan dalam bentuk uang yang senilai, maka dalam pandangan mereka, zakat itu belum sah ditunaikan. Istilah yang digunakan adalah lam yujzi’uhu (لم يجزئه).
Al-Imam Ahmad rahimahullah memandang bahwa hal itu menyalahi sunnah Rasulullah SAW. Suatu ketika pernah ditanyakan kepada beliau tentang masalah ini, yaitu bolehkah zakat al-fithr diganti dengan uang saja, maka beliau pun menjawab,”Aku khawatir zakatnya belum ditunaikan, lantaran menyalahi sunnah Rasulullah SAW”.

Orang yang bertanya itu penasaran dan balik bertanya,”Orang-orang bilang bahwa Umar bin Abdul Aziz membolehkan bayar zakat al-fithr dengan uang yang senilai”. Al-Imam Ahmad pun menjawab,”Apakah mereka meninggalkan perkataan Rasulullah SAW dan mengambil perkataan si fulan?”. Beliau pun membacakan hadits Ibnu Umar tentang zakat al-fithr.

فَرَضَ رَسُولُ اللهِ زَكَاةَ الفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلىَ الناَّسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلىَ كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ المـسْلِمِين
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW memfardhukan zakat fithr bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa' kurma atau sya'ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar)

Setelah itu beliau pun membacakan ayat Al-Quran :

أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
Taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya.(QS. An-Nisa’ : 59)

Ibnu Hazm Juga Melarang 

Di antara mereka yang menolak kebolehan zakat al-fithr dengan uang adalah Ibnu Hazm. Beliau ini termasuk rujukan di kalangan ahli Dzhahir. 
Beliau berhujjah bahwa memberikan zakat al-fithr dengan uang tidak sebagaimana yang diperintah oleh Rasulullah SAW.

Lagi pula dalam urusan mengganti nilai uang atas suatu harta itu tidak boleh ditentukan secara sepihak, melainkan harus dengan keridhaan kedua belah pihak, yaitu muzakki dan mustahiq.

2. Mazhab Al-Hanafiyah : Boleh

Mazhab Al-Hanafiyah memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan.

Selain mazhab Al-Hanafiyah secara resmi, di antara para ulama yang sering disebut-sebut membolehkan penggunaan uang antara lain Abu Tsaur, Umar bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri, Abu Ishak, Atha’.

Abu Yusuf, salah satu pentolan ulama di kalangan mazhab ini menyatakan,"Saya lebih senang berzakat fitrah dengan uang dari pada dengan bahan makanan, karena yang demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan miskin".

c. Pendapat Pertengahan

Di masa sekarang ini, Mahmud Syaltut di dalam kitab Fatawa-nya menyatakan, "Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum, dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka saya keluarkan uang (harganya)".

Tokoh ini membolehkan zakat fitrah dengan uang, dan di dalam bukunya tersebut memang tidak dijelaskan berapa ukuran sha’ menurutnya. Namun sebagai tokoh Hanafiyyah, mereka kemungkinan kecil untuk memakai ukuran madzhab lain (selain Hanafi).

Kalau ada uang, belum tentu segera bisa dibelikan makanan. Bayangkan di zaman itu tidak 
ada restoran, rumah makan, mall, super market 24 jam dan sebagainya. Padahal waktu membayar zakat fitrah itu pada malam lebaran. Bisa-bisa di hari raya, orang miskin itu punya uang tapi tidak bisa makan. Ini hanya sebuah analisa.

Dr. Yusuf Al-Qaradawi 

Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam kitab Fiqhuz-Zakatnya mengasumsikan kenapa dahulu Rasulullah SAW membayar zakat dengan makanan, yaitu karena dua hal :

Pertama, karena uang di masa itu agak kurang banyak beredar bila dibandingkan dengan makanan. Maka membayar zakat langsung dalam bentuk makanan justru merupakan kemudahan. Sebaliknya, di masa itu membayar zakat dengan uang malah merepotkan.

Pihak muzakki malah direpotkan karena yang dia miliki justru makanan, kalau makanan itu harus diuangkan terlebih dahulu, berarti dia harus menjualnya di pasar. Pihak mustahiq pun juga akan direpotkan kalau dibayar dengan uang, karena uang itu tidak bisa langsung dimakan.

Hal ini mengingatkan kita pada cerita para dokter yang bertugas di pedalaman, dimana para pasien yang datang berobat lebih sering membayar bukan dengan uang melainkan dengan bahan makanan, seperti pisang, durian, beras atau ternak ayam yang mereka miliki. Apa boleh buat, makanan berlimpah tetapi uang kurang banyak beredar. 

Dan jangan membayangkan keadaan sekarang dengan masa lalu. Di masa itu kita tidak bisa menemukan pasar setiap saat. Jakarta beberapa puluh tahun yang lalu pun cuma pasar seminggu sekali. Adanya nama pasar sesuai nama hari, kalau ditelusuri disebabkan pasar itu hanya eksis pada hari pasarnya. Pasar Minggu berarti pasar itu hanya ada di hari Minggu. Pasar Senen hanya ada di hari Senin. Dan begitu juga dengan Pasar Rabu, Pasar Jumat, dan seterusnya.

Di luar hari pasaran, pasar itu tidak ada. Bisa dibayangkan kalau harus menjual beras dulu biar bisa jadi uang, maka harus menunggu seminggu. Lalu uang itu diserahkan kepada fakir miskin. Tetapi tidak bisa langsung dimakan, karena harus menunggu lagi seminggu agar bisa untuk beli beras. Nah, kalau yang berzakat punya beras dan yang diberi zakat butuh beras, kenapa harus dikonversi dua kali jadi uang?

Kedua, karena nilai uang di masa Rasulullah SAW tidak stabil, selalu berubah tiap pergantian zaman. Hal itu berbeda bila dibandingkan dengan nilai makanan, yang jauh lebih stabil meski zaman terus berganti. 

Penamaan Baku : Zakat Fithr Bukan Zakat Fitrah

Istilah zakat yang baku untuk zakat ini sebenarnya bukan zakat fitrah, melainkan zakat al-fithr. 

Zakat ini dinamakan al-fithr (زكاة الفطر) yang mengacu kepada kata fithr (فطر) yang artinya adalah makan.

Kata fithr ini bila dibentuk menjadi kata lain, bisa menjadi ifthar (إفطار), yang maknanya adalah makan untuk berbuka puasa. Dan bisa diubah menjadi kata fathur (فطور), yang artinya sarapan pagi.

Dinamakan zakat fithr karena terkait dengan bentuk harta yang diberikan kepada mustahiknya, yaitu berupa makanan. Selain itu zakat ini dinamakan fithr juga karena terkait dengan hari lebaran yang bernama fithr. Kita di Indonesia sering menyebutnya dengan Iedul Fithr, yang artinya hari raya fithr.

Dan di hari Iedul Fithr itu kita diharamkan berpuasa, sebaliknya wajib berbuka atau memakan makanan. Oleh karena itulah hari raya itu disebut dengan hari Iedul Fithr. Dan arti secara bahasanya adalah hari raya makan-makan.

Namun ada juga sebagian orang yang menyebutkan dengan zakat fitrah. Penyebutan ini 
sebenarnya kurang tepat, karena yang menjadi inti dari zakat ini memang makanan, dan bukan fitrah.

Kata fithr (فطر) meskipun mirip namun punya makna yang jauh berbeda dengan kata fithrah (فطرة). Fithrah seringkali dimaknai dengan kesucian, kemurnian bahkan juga bisa diartikan sebagai Islam. Di dalam salah satu sabda Nabi SAW, kita menemukan kata fithrah dengan makna Islam :

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ وُلِدَ عَلىَ الفِطْرَةِ أَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِهِ 
Tidak ada kelahiran bayi kecuali lahir dalam keadaan fitrah (muslim). Lalu kedua orang tuanya yang akan menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.(HR. Muslim)
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Rumahfiqih.com
5 RUMAH ASWAJA: Juli 2015 Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sebentar lagi Ramdhan dan tiap pada akhir Romadhan Umat Islam yang menjalankan puasa diwa...

Mengenal Mazhab 4 dan Hukum Bermazhab

sebelum kita menghukumi apakah wajib kita bermazhab atau tidak, ada baiknya kita harus mengenal dulu apa itu mazhab? berikut penjelasan sedikit tentang hal tersebut.

Mazhab


Mazhab adalah isem makan atau ism zaman yang berasal dari kata:

ذهب – يذهب – ذهبا / ذهابا

yang berarti pergi atau berjalan, maka secara bahasa arti mazhab adalah tempat berjalan/jalan atau waktu berpergian. Pengertian mazhab dalam bingkai syari`at adalah sekumpulan pemikiran Imam Mujtahid dibidang hukum-hukum syari`at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci, dan kaedah-kaedah ushul. Jadi Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqh. Saat ini kita mengenal empat Mazhab dalam dunia islam, yaitu:

Mazhab Hanafi


Mazhab Hanafi dibentuk oleh seorang ulama besar kufah yang bernama lengkap, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha al-Kufii. Beliau lahir pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. beliau adalah termasuk dalam atba’ al-tabi’in, dan ada ulama yang mengatakan bahwa beliau tergolong dalam Tabi’in, yang hidup dalam dua daulah yaitu daulah umayyah dan daulah ‘abbasiyyah, sehingga beliau pernah bertemu dengan Anas bin Malik dan juga meriwatkan hadits darinya.[1] Sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.

Mazhab Maliki


Mazhab ini didirikan oleh seorang ulama besar madinah yang lahir pada tahun 93 H/73 M, dari keluarga Arab terhormat, bernama lengkap Abu ‘Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Ashbahi. Orang tua dan leluhurnya dikenal sebagai ulama hadits Madinah, kerena ini membuat imam Malik sejak kecil mencintai ilmu hadits dan ilmu lainnya. Mula-mula beliau menimba ilmu hadits pada ayah dan paman-pamannya. Kemudian berguru kepada ulama-ulama terkenal antara lain, ‘Abd ar-Rahman bin Hurmuz dan Nafi’ Maula Ibn ‘Umar. Dan guru beliau dibidang fiqh ialah, Rabi’ah bin ‘Abd Ar-Rahman, dan imam Ja’far ash-Shadiq[2].

Imam Malik telah menguasai banyak ilmu sehingga tidak sedikit ulama yang menimba ilmu padanya, termasuk diantaranya imam Syafi’i penegak pertama mazhab Syafi’i, Bahkan menurut satu riwayat, murid terkenal imam Malik mencapai 1.300 orang. Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki. saat ini ada di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.

Mazhab Syafi’i


Mazhab ini didirikan oleh seorang ulama yang lahir pada tahun 150 H, di Gazza bagian selatan dari Palestina. Bernama lengkap imam Abu ‘Abd al-llah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Abu Yazid bin Hasyim bin ‘Abd al-Muthallib al-Quraiyi al-Hasyimi, yang bertemu dengan Rasulullah pada kakek beliau yang kesembilan. Sedangkan ibunya bernama Fathimah binti ‘Abdillah bin Hasan bin Husain bin ‘Ali Ra yang merupakan shahabat dan menantu Rasulullah SAW.

Sejak masih usia Sembilan tahun, beliau sudah hafal seluruh al-Qur’an, kemudian dalam usia sepuluh tahun, beliau sudah hafal kitab al-muwattha’ imam Malik yang memuat lima ribu hadits-hadits shahih. Banyanya ilmu yang beliau miliki karena ketekunannya dalam mencari ilmu, hampir setiap pusat ilmu berliau ziarahi seperti Mekkah, Madinah, Iraq, Kufah dan Mesir, disana beliau berjumpa dengan ulama-ulama besar, seperti imam Malik, dimana imam Syafi’i selalu bersama beliau selama satu tahun. Dan Abu Yusuf, ashhab dari Abu Hanifah.

Pada tahun 179 H, beliau diberi izin oleh imam Malik untuk berfatwa sendiri, namun beliau tetap bertaqlid pada guru-gurunya, sehingga pada tahun 198 H, sesudah usia beliau genap 48 tahun, mulailah berfatwa sendiri dengan lisan maupun dengan tulisan, pertama memberi fatwa di ‘Iraq yang diishtilahkan dengan al-Qaulul Qadim, kemudian berpindah ke Mesir dan fatwa beliau selama disini diishtilahkan dengan al-Qaulul Jadid. Di kota inilah beliau menghadap Allah Swt sesudah shalat maghrib malam Jum’at, akhir bulan Rajab pada tahun 204 H, bertepatan dengan 28 Juni 819 M. Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.

Mazhab Hanbali


Mazhab ini didirikan oleh imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asada az-Zuhili asy-Syaibani, beliau lahir di pusat pengembangan islam Baghdad pada tahun 164 H dan dikota ini pula banyak menghabiskan masa hidupnya untuk mengabdi pada pendidikan islam sehingga wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 241 H, sebagaimana ulama lainnya, beliau juga hijrah kepusat-pusat ilmu pengetahuan lainnya seperti, kufah, Bashrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, dan Jazirah.

Beliau adalah seorang ulama hadits, dan fiqh yang banyak menghafal hadits dari guru-gurunya antara lain Imam Syafi’i dan Hasyim bin Basyir bin Abi Khazim al-Bukhari sehingga beliau menyusun satu kitab yang memuat empat puluh ribu hadits. Banyak para ulama yang memberi kesaksian atas ketinggian ilmunya, antara lain Ibrahim al-Harbi berkata “aku lihat Ahmad bin Hanbal seolah-olah beliau telah mengumpulkan ilmu ulama terdahulu dan selanjutnya”[3]. sekarang ini Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.

Selain mazhab yang empat masih terdapat mazhab lain, seperti Mazhab Al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid (wafat 93 H). Mazhab Azh-Zhahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali Azh-Zhahiri (wafat 270 H), Mazhab Laist yang didirikan oleh imam al-Laits bin sa’ad bin’Abdur rahman al-Fahmi ( 94 H-175 H), Mazhab Tsaury didirikan oleh Imam Sufyan ibn Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’I, ( 97 H/715 M ), Mazhab Auza`i didirikan oleh Abdurrahman Al Auza'i (wafat 113 H), Mazhab Ishaq ibn Rahawiyah, Mazhab Sufyan bin Uyainah, Mazhab Imam Hasan Basri.

Namun selain mazhab yang empat semuanya tidak bertahan lama pengikutnya hanya ada pada saat Imam mazhabnya masih hidup, setelah beliau wafat tidak ada lagi yang meneruskan mazhabnya. Karena itu sangat sulit bagi kita menelusuri mazhab selain empat apalagi bermazhab dengan selain yang empat.


Ijtihad


Ijtihad adalah etimologi berarti kesanggupan dan kemampuan. Sedangkan pengertian Ijtihad secara istilah adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk menghasilkan sebuah dhan terhadap satu hukum.[4] Pelaku ijtihad disebut sebagai Mujtahid. Ijtihad telah semenjak Rasulullah SAW, saat Rasulullah SAW memerintahkan shahabat Mu`az Bin Jabal ke negri Yaman menjadi hakim, Rasulullah bertanya: ‘’Dengan apa kamu akan menuturkan perkara yang diadukan padamu? Mu`az menjawab; dengan hukum yang tertera dalam kitabullah. Rasulullah bertanya lagi; jika engkau tidak menemukan dalam kitabullah? Mu`az menjawab; aku akan menghukumi dengan keputusan-keputusan Rasulullah. Rasululah terus bertanya; “jika kamu tidak mendapatkan keputusan Rasulullah? Mu`az menjawab; “Aku akan berijtihad dengan pendapatku’’ (H.R. Ad Darimy)

Syarat ijtihad


Tidak sembarang orang dapat melakukan ijtihad. Bahkan dari kalangan shahabat Nabi sendiri hanya beberapa orang saja yang berijtihad sendiri. Beberapa syarat mutlak harus dipenuhi, Secara ringkas syarat-syarat tersebut antara lain:[5]
  1. Baligh
  2. Berakal (Memiliki malakah untuk memahami).
  3. Memiliki IQ yang tinggi (syadid fahmi)
  4. Memahami dalil `aqly (bara`ah ashliah).
  5. Memahami loghat arab dan ilmu arabiyah (loghat, nahu, saraf, badi`, bayan, ma`any, `arudh, qawafy dll)
  6. Memahami ayat atau hadis yang bekenaan dengan hukum.
  7. Mengusai serta ahli dalam memraktekkan qawaid-qawaid syara`
  8. Mengenal nasikh dan mansukh.
  9. Mengetahui masalah-masalah ijmak.
  10. Memahami ushul fiqh.
  11. Mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud.
  12. Mengetahui syarat mutawatir dan ahad, shahih dan dhaif dan keadaan perawi.
  13. Mengusai kaifiah nadhar.

Syarat-syarat ini sangat sukar mampu dicapai oleh seseorang, sehingga Imam Ghazali dalam Al Basith mengatakan bahwa syarat-syarat ini pada masa ini telah ozor untuk dicapai.[6]

Tingkatan para Mujtahid

Mujtahid terbagi dua:
  1. Mustaqil.
  2. Ghairu Mustaqil.

Mustaqil adalah seorang mujtahid yang memenuhi semua syarat-syarat ijtihad mampu menciptakan qawaid hukum sendiri dan lepas dari qaedah mazhab lainnya

Mujtahid yang memenuhi kriteria ini tidak diperdapatkan semenjak masa setelah Imam Syafii. Bahkan Imam As Sayuthi mengatakan keinginan manusia pada hari ini ingin menjadi mujtahid adalah suatu hal yang mustahil.[7] Ulama yang mencapai tingkatan ini antara lain Imam Mujtahid yang empat dan para imam mujtahid lainnya sebelum masa mereka.

Ghairu mustaqil (muntasib).
Mujtahid Ghairu mustaqil terdiri dari 4 tingkatan:

  1. Mujtahid yang tidak mengikuti imam baik dalam mazhab maupun dalil karena memiliki sifat yang sama dengan mujtahid mustaqil. Tetapi ia masih dibangsakan kepada Imam yang lain karena dalam menggali hukum masih menempuh cara Imam dalam berijtihad.[8] Ulama yang berada pada tingkatan ini seperti Al Muzani, murid senior Imam Syafii.
  2. Mujtahid yang muqayyad (terikat) dalam satu mazhab, sanggup mengusai dan mengurai qawaid hukum dengan sendiri, tetapi dalil-dalilnya tidak keluar dari qawaid dan dalil Imam. Syarat mujtahid pada tingkatan ini adalah alim dengan fiqh, ushul fiqh, adillah ahkam, menguasai masalik qiyas (metode penemuan ilat) terlatih dalam menggali dan mengupas hukum, mampu mengqiyaskan masalah yang tidak ada dalam nash Imam. Bagi mereka nash Imam menjadi dalil bagaikan nash syara` bagi Mujtahid mustaqil. Ini adalah tingkatan ashhabil wujuh. Seperti Imam Qaffal dan Abi Hamid.[9]
  3. Mujtahid yang tidak sampai tingkatan Ashhabil wujuh karena kekurangan mereka dalam memahami mazhab, kurang tebiasa dalam istinbah hukum, tetapi mereka memiliki IQ yang tinggi, menguasai mazhab imamnya, memahami dalil, dan sanggup mengurai dan mentarjihnya. Diantara ulama tang berada pada tingkatan ini adalah Imam Nawawy dan Imam Rafii.
  4. Mujtahid yang mampu menaqal/mengutip  dan memahami mazhab imamnya baik yang jelas maupun yang sukar. Namun tidak sanggup menguraikan dalil dan mentaqrir qiyas.[10]

Sebagian para ulama membagi tingkatan mujtahid hanya kepada tiga :

  1. Mujtahid mutlaq, seperti Imam yang empat
  2. Mujtahid Mazhab, seperti Al Muzani.
  3. Mujtahid Fatwa, seperti Imam Nawawy dan Imam Ar Rafii.[11]

Kewajiban bermazhab

Umumnya, manusia didunia terbagi kepada dua kelompok, yaitu pandai (alim) dan awam. Yang dimaksud dengan orang pandai (alim) dalam diskursus pemahaman bermazhab adalah orang-orang yang telah memiliki kemampuan menggali hukum dari Al Quran dan Hadis yang dinamakan sebagai Mujtahid. Sedangkan orang yang awam adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu disebut sebagai Muqallid. Keadaan mereka mengikuti para imam Mujtahid dinamakan dengan taqlid.

Kewajiban terhadap setiap muslim adalah meyakini dan mengamalkan apa yang telah disampaikan Rasulullah dalam al-Qur'an dan Sunnah secara benar. Bagi para mujtahid, dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dapat menggali hukum sendiri dari Al-Quran dan Hadis bahkan bagi mereka tidak boleh mengikuti pendapat orang lain. Sedangkan bagi orang awam betapa berat bagi mereka untuk memahami dan mengambil hukum dari Al Quran dan Hadis. Maka bermazhab adalah semata-mata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama dengan benar, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, Hadist, Ijma' dll, namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad. Dan banyak sektor yang menjadi kebutuhan manusia akan terbengkalai kalau seandainya setiap manusia berkewajiban untuk berijtihad, karena untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut tentu menghabiskan waktu yang lama dalam mempelajarinya.

Taqlid dalam perbandingan lain dapat kita ibaratkan dengan mengkonsumsi makanan siap saji yang telah di masak oleh ahlinya. Bila kita ingin memasaknya sendiri tentu saja kita harus terlebih dahulu menyiapkan bahan-bahan makanan tersebut dan harus mempelajari cara-cara memasaknya serta mempunyai pengalaman dalam memasak. Hal ini tentu saja membutuhkan waktu bahkan kadang-kadang hasil yang diperoleh tidak memuaskan, tidak menjadi makanan yang lezat. Demikian juga dalam taqlid, tentu saja ia harus dahulu mempelajari dan menguasai syarat-syarat ijihad. Bisa saja karena kemampuan yang masih kurang hukum yang dihasilkan adalah hukum yang fasid.

Ayat dan Hadis landasan Taqlid


Sebenarnya banyak ayat-ayat Al Quran dan Hadis yang menjadi landasan kewajiban bertaqlid bagi manusia, antara lain:
  • Surat Al Anbiya ayat 7
فسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui”(Qs.Al-anbia:7)
Memang ayat diatas asbabun nuzulnya untuk menyikapi prediksi orang-orang musyrik yang menyatakan Allah tidak akan mengutus rasul dari jenis manusia . Namun dalam undang-undang usul fiqh yang menjadi pertimbangan hukum dan titik tekan dalam sebuah ayat adalah keumuman (universal) lafadz ayat.

Dengan demikian ayat diatas sebenarnya mengandung perintah kepada orang yang tidak memiliki ilmu agama agar bertanya dan mengikuti pendapat orang yang pandai diantara mereka. Secara tekstual, ayat diatas berisi perintah bertanya kepada orang yang pintar. Tidak ada informasi perintah taklid, sehingga tidak bisa di jadikan dalil kewajiban taklid. Namun pemahaman demikian kurang tepat, sebab bila diperhatikan lebih teliti, perintah diatas termasuk perintah mutlak dan umum.Tidak ditemukan kekhususan perintah bertanya tentang dalil atau yang lainnya. Sehingga ayat tersebut bias menjadi dalil kewajiban taklid.

  • Surat An Nisa ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Artinya: ’’hai orang-orang yang beriman! Turutilah Allah dan turutilah Rasul dan ulil amri dari kamu (An Nisa 59)

’’Ulil amri’’ dalam ayat diatas diartikan oleh para mufassir dengan ‘’ulama-ulama’’. Diantara para mufassir yang berpendapat demikian adalah ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Hasan, `Atha` dll. Maka dalam ayat ini diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikut para ulama yang tak lain disebut taqlid.

  • Surat As sajadah ayat 24
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pamimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka bersabar, dan mereka meyakini ayat-ayat kami” (Qs. As-sajadah :24)

Abu As-su’ud berkomentar, subtansi ayat di atas menjelaskan tentang para imam yang memberi petunjuk kepada umat tentang hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dengan demikian wajib bagi umat untuk mengikuti petunjuk yang mereka berikan.

  • Hadis riwayat Turmuzi dll

اِقْتَدُوا بِاَللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ "  أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ 

“Ikutilah dua orang sesudah saya, yaitu Abu Bakar dan Umar“ (H.R. Turmuzi, Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Dalam hadis ini jelas kita disuruh kita mengikuti dua Ulama yang juga shahabat Nabi yaitu Abu bakar dan Umar Rda. Ini adalah perintah untuk Taqlid.

  • Hadis riwayat Baihaqi

أصحابي كا لنجوم باءيهم اقبديتم اهتديتم (رواه البيهقي
“Sahabatku seperti bintang, siapa saja yang kamu ikuti maka kamu telah mendapat hidayat”(Riwayat Imam Baihaqi).

Ini juga dalil yang meyuruh kita (yang bukan mujtahid ) untuk mengikuti sahabat-sahabat nabi, mengikuti mereka itulah yang di katakan TAQLID.

Semua hadits diatas menggambarkan bahwa para sahabat dan ulama-ulama setelah sahabat, merupakan pelita bagi umat manusia, sehingga Rasulullah menjadikan para ulama sebagai pewaris para Anbiya’ dalam memberi petunjuk kepada ummat. Mengikuti mujtahid pada hakikat adalah mengikuti Allah dan RasulNya, dan lagi para ulama telah sepakat bahwa ijtihad mereka bersumber pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul karena silsilahnya (ikatan) dengan Rasulullah tidak diragukan, maka mengikuti mujtahid juga dinamakan mengikuti Rasulullah.

Masih adakah mujtahid pada masa ini?


Secara akal memang tidak tertutup kemungkinan adanya mujtahid mutlak yang memenuhi semua kriteria mujtahid diatas pada akhir zaman. Namun dalam kenyataanya, para ulama besar seperti Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/ 1111 M), Ibnu Shalah (577 H/1181 M-643 H/1245 M), Imam Fakhr Ar-Razi (543 H-606 H) dan beberapa ulama besar lainnya dengan tegas menyatakan bahwa semenjak masa setelah Imam Syafii (767-820 M) tidak diperdapatkan seseorangpun yang memenuhi standar sebagai mujtahid mutlak. Imam Rafii (wafat 623 H), Imam Nawawy (1233 - 1278 M) menyatakan bahwa “manusia pada saat ini bagaikan telah sepakat bahwa tidak ada mujtahid”.[12] Imam Ibnu Hajar menerangkan bahwa mujtahid yang dimaksudkan oleh Syaikhany (Imam Rafii dan Imam Nawawy) adalah mujtahid mustaqil. Sehingga hal ini tidaklah bertentangan dengan perkataan Ibnu Ruf`ah bahwa Ibnu Abdis Salam (577 H – 606 H) dan Ibnu Daqiqil `id (615 H – 702 H) telah mencapai derajat ijtihad, karena ijtihad yang beliau maksudkan adalah ijtihad pada sebagian masalah.[13]

Syeikh Yusuf bin Ismail An Nabhany (1849–1932 M) mengatakan bahwa dakwaan ijtihad pada masa ini oleh sebagian orang yang telah alim hanyalah sebuah dakwaan dusta yang tidak perlu dipedulikan. Perkataan beliau bukanlah tanpa dasar tetapi berdasarkan pernyataan para ulama terkemuka yang lebih dahulu antara lain Imam Sya`rany (898 H/1493 M - 973 H/1565 M), Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy (909 H - 974 H), Imam Al Manawy (925 H - 131 H) dll.

Imam Ibnu Hajar menyebutkan, ketika Imam Jalal As Suyuthy (849 H – 921 H) mendakwakan ijtihad, maka bangkitlah beberapa ulama membawakan beberapa masalah yang belum di tarjih oleh para imam terdahulu. Mereka meminta kepada Imam As Sayuthy jika memang beliau telah sampai pada derajat ijtihad yang paling rendah yaitu mujtahid fatwa maka hendaklah beliau menentukan pendapat yang kuat dari beberapa pendapat tersebut. Namun Imam As Sayuthy tidak menjawabnya dan beliau beralasan bahwa disibukkan dengan berbagai kegiatan. Derajat mujtahid fatwa adalah tingkatan mujtahid yang paling rendah, namun juga sangat sulit untuk dicapai, apalagi tingakatan mujtahid mazhab dan mujtahid mutlaq.

Imam Haramain(399 H - 460 H), dan Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/1111 M) merupakan dua ulama besar yang diakui pada zamannya, namun jangankan tingkatan mujtahid mutlak, termasuk dalam Ashabil Wujuh saja masih ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Imam Rauyany (wafat 502 H) juga tidak termasuk dalam Ashabil wujuh padahal ilmu beliau sangat luas, bahkan beliau sendiri pernah mengatakan bahwa ‘’kalau seandainya semua nash Imam Syafii hilang maka aku sanggup mengdektekannya dari dadaku’’. Imam Al Qaffal (291 - 365 H) yang merupakan guru dari para Ashabil Wujuh mengatakan: “fatwa ada dua; pertama; seseorang yang telah berhimpun padanya syarat ijtihad. Orang tingkatan ini sudah tidak diperdapatkan lagi. Yang kedua; seseorang yang sanggup menguraikan mazhab salah satu Imam Mujtahid dan menguasai dasar-dasar mazhab tersebut. Bila ditanyakan masalah yang belum ada nash dari Imam Mazhab, mereka sanggup menggali hukumnya berdasarkan qaedah Imam Mazhab. Kemudian beliau mengatakan bahwa mufti tingkatan kedua ini ‘’lebih sulit diperdapatkan dari pada belerang merah’’.

Dapat disimpulkan bahwa derajat mujtahid bukanlah derajat yang mudah dicapai. Para imam-imam yang terkemuka seperti Imam Ghazali, Imam Fakhrur Razi, Imam Nawawy, Imam Rafii belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka masih mengikut pada mazhab Imam Syafii, tidak berijtihad sendiri.[14]

Adapun orang-orang yang mengajak untuk berijtihad seperti Ibnu Qayyim (1292 M- 751 H/1350 M), Muhammad Abduh (1849 - 1905 M), Rasyid Ridha (1865-1935 M), Jamaluddin Afghany (1838 – 1897 M) dan beberapa tokoh kontemporer lainnya tak seorangpun dari mereka yang setingkat dengan Imam Ibnu Hajar Al Haitamy, Imam Nawawy atau para ulama lainnya yang masih taqlid kepada Imam Syafii. Demikian juga karangan mereka, tak ada yang sebanding dengan kitab Tuhfatul Muhtaj atau Kitab Majmuk Syarah Muhazzab karangan Imam Nawawy.

WAALLAHU A`LAM BISH SHAWAB.
LPI MUDI MESRA, Samalanga, Bireun, Aceh.
Selasa, 03 Sya`ban 1432 H/05 Juli 2011 M

Maraji`

  1. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh cet. Dar Fikr
  2. Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy Kubra Cet. Dar fikr
  3. Jalal Mahally, Al Mahally `ala jam`ul jawami`, Cet. Haramain
  4. Imam Nawawy, Adabul fatwa wal mufti Cet. Dar Fikr
  5. Sayyid `Alawy As Saqqaf, Sab`atul kutub mufidah Cet. Haramain
  6. Imam As sayuthi, Ar radd `ala man ahklada wa jahal annal ijtihad fardh fi kulli `ashr Cet. Dar Fikr
  7. Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq Cet. Matba`ah Maimaniyah
  8. Zakaria Al Anshary, Ghayah Wushul syarah Lubb al Ushul, Cet. Semarang, Toha putra
  9. Imam Zarkasyi, Bahrul Muhith cet. Dar Fikr

[1] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh jilid 1, hal. 43 cet. Dar Fikr
[2] ibid, hal. 45
[3] Ibid. hal. 53
[4] Zakaria Al Anshary, Ghayah Wushul syarah Lubb al Ushul, (semarang, Toha putra) hal 147
[5] Jalal Al Mahalli, Syarah `ala jam`ul jawami`jlid 2 hal 382. Cet. Haramain, Imam Zarkasyi, Bahrul Muhid jilid 4 hal 489 Cet. Dar Kutub Ilmiyah
[6] Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq hal 5 cet. Matba`ah Maimaniyah
[7] Imam As sayuthi, Ar radd `ala man ahklada wa jahal annal ijtihad fardh fi kulli `ashr..hal 38. Cet. Maktabah Staqafiyah Ad Diniyah
[8] Imam Nawawy, Adabul fatwa wal mufti, hal 25, Cet. Dar Fikr
[9] Sayyid Alawy bin Ahmad As Saqaf, Sab`atul kutub mufidah hal 46 Cet. Haramain
[10] Imam Nawawy , Ibid Hal 23
[11] Jalal Al Mahally, Syarah `ala jam`ul jawami`, jilid 2 hal 385 Cet. Haramain
[12] Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy Kubra, jilid 4 hal 302 cet. Dar fikr
[13] Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Tuhfatul Muhtaj, jilid 10 hal 123 cet. Dar Fikr
[14] Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq, hal 3 cet. Matba`ah Maimaniyah


ibm.mudimesra.com
5 RUMAH ASWAJA: Juli 2015 sebelum kita menghukumi apakah wajib kita bermazhab atau tidak, ada baiknya kita harus mengenal dulu apa itu mazhab? berikut penjelasan sed...
< >