+ -

Pages

Senin, 29 Juni 2015

Bolehkah Memberikan Mahar Berupa Hafalan Al-Quran ?

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Semoga ustadz sekeluarga selalu dalam lindungan Allah SWT, amin.
Kemarin saya menghadiri sebuah akad nikah di sebuah pesantren penghafal Al-Quran. Saya agak kaget ketika dibacakan maharnya. Ternyata maharnya berupa hafalan ayat Al-Quran, yaitu surat Ar-Rahman.

Maka di majelis itu sang mempelai pria langsung membacakan surat Ar-Rahman itu dengan dihafal sampai selesai. Dan hadirin pun khusyu' mendengarkan, termasuk mempelai wanita.
Nah, yang membuat saya penasaran, apakah bisa dibenarkan bacaan hafalan Al-Quran sebagai mahar. Tetapi seorang kiyai yang duduk dekat saya bilang bahwa itu adalah sunnah Nabi SAW. Sebab di masa beliau ada shahabat yang maharnya juga berupa hafalan Al-Quran.

Saya masih agak kurang paham dan ingin bertanya langsung kepada ustadz yang merupakan ahli dalam masalah fiqih dan urusan memahami nash hadits.
Jadi mohon ustadz berkenan menjelaskan duduk perkara masalah mahar pakai hafalan Al-Quran ini. Dan kalau benar ada hadits tentang itu, mohon dijelaskan juga tentang bagaimana kita memahaminya.

Terima kasih buat ustadz dan jazakallah khairal jaza'.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang Anda ceritakan itu memang seringkali kita temukan, yaitu pemberian mahar kepada calon istri berupa berupa hafalan Al-Quran. Memang mahar seperti ini tidak sebagaimana lazimnya yaitu emas, uang, harta atau perabotan rumah tangga lainnya.

Lalu sang pengantin pria membacakan hafalan surat yang ada di kepalanya di depan sang calon istri saat itu juga. Dan tentunya juga didengar oleh seluruh hadirin yang ada.

Kiyai yang memberikan penjelasan kepada Anda itu memang tidak salah. Sebab memang ada hadits yang menyebutkan hal semacam itu.

Dan tidak bisa dipungkiri bahwa teks hadits itu secara ekplisit memang menyebutkan bahwa mahar itu berupa hafalan Al-Quran. Sehingga wajar kalau tidak sedikit orang yang memahami bahwa mahar itu boleh berupa hafalan Al-Quran. Lengkapnya hadits itu sebagai berikut :

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: ياَرَسُولَ اللهِ إِنّيِ وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ. فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَارَسُولَ اللهِ زَوِّجْنِيْهَا إِنْ لَـمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَة. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : هَلْ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ

Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya". Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu". Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun". Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi". Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?". Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu(HR Bukhari Muslim).

Secara zahir kalau ada orang berpendapat bolehnya mahar berupa hafalan Al-Quran, memang tidak bisa dipungkiri dan wajar.

Pendapat Yang Berbeda

Namun bukan rahasia lagi bahwa dalam menarik kesimpulan hukum kita menemukan pendapat-pendapat yang berbeda, meski tetap mengacu kepada dalil yang sama.
Sebagian ulama memandang bahwa hakikat mahar itu adalah pemberian yang berupa harta, berapa pun nilainya. Sedangkan kalau hanya berupa hafalan ayat Al-Quran, meski zahir nashnya demikian, namun tetap harus dipahami dengan benar sebagaimana maksudnya. 

a. Mahar Adalah Pemberian
Seorang calon suami boleh saja merasa dirinya sudah menjadi hafidz (penghafal) Al-Quran. Tetapi hafalan yang ada di kepalanya bukanlah sesuatu yang bisa diberikan kepada orang lain.

Bila mahar berupa hafalan Al-Quran, justru melanggar pengertian mahar itu sendiri. Karena mahar itu pemberian dan hafalan Al-Quran tidak bisa diberikan. Sebab otak kita tidak bisa dicopykan hafalan Al-Quran seperti komputer.

b. Memahami Dalil Dengan Benar
Kalau harus berupa harta, lantas bagaimana dengan hadits di atas yang tegas menyebutkan mahar dengan hafalan Al-Quran?

Jawabnya bahwa hadits di atas harus dibaca dengan utuh dan tidak boleh dipakai sepotong-sepotong. Hadits di atas memang menceritakan bagaimana Rasulullah SAW menyarankan atau membolehkan laki-laki itu memberi mahar berupa hafalan Al-Quran. Tetapi kalau dilihat secara seksama, sebenarnya ada proses sebelumnya. Tidak ujug-ujug beliau bilang begitu. 

Awalnya Rasulullah SAW meminta agar mahar berupa harta, tetapi karena laki-laki itu terlalu miskin, beliau SAW membolehkan harta dengan nilai yang amat kecil, hanya berupa cincin dari besi. Namun sudah dicari dan diupayakan, ternyata tetap tidak didapat juga, akhirnya apaboleh buat, Rasulullah SAW pun mempersilahkan maharnya berupa hafalan ayat Al-Quran.

Kesimpulannya, kalaupun mau bayar mahar dengan hafalan Al-Quran, maka posisinya harus diletakkan pada pilihan terakhir, setelah mengupayakan memberi harta meski cuma sedikit pun tidak punya. Jangan ujug-ujung langsung mahar berupa hafalan Al-Quran.

c. Memahami Hadits Dengan Mengaitkan Kepada Hadits Lain
Menarik kesimpulan hukum secara terburu-buru dengan menggunakan sepotong dalil adalah sebuah keteledoran. Seorang faqih dan mujtahid wajib menggunakan semua hadits dan tidak boleh hanya berdalil dengan sepotong hadits. 

Sebab bila kita hanya menggunakan hadits ini saja, tanpa melihat dan membandingkan dengan sekian banyak hadits dan dalil-dalil syar'i lainnya, kita jadi orang yang memakai dalil sepotong-sepotong. Dan memakai dalil sepotong-sepotong itu bukan perbuatan terpuji. Bahkan para ahli kitab di masa lalu dilaknat Allah karena salah satunya karena mereka menggunakan kitab secara sepotong-sepotong. Dan Al-Quran sendiri mempertanyakan tindakan ini sebagai tindakan yang keliru.

Maka selain hadit di atas, kita juga harus melihat hadits lainnya tentang mahar dan nilainya di masa Rasulullah SAW. Rasululah SAW sendiri tidak pernah bayar mahar pakai bacaan atau hafalan Al-Quran. Padahal beliau adalah oran yang paling tinggi derajatnya dalam hafalan Al-Quran.

Tetapi mahar beliau kepada para istrinya tetap berupa harta. Kepada Khadijah radhiyallahuanha diriwayatkan maharnya berupa 10 atau 100 ekor unta. Kepada Aisyah dan lainnya berupa uang sebanyak 500 dirham perak.

كَانَ صِدَاقُهُ لأَزْوَاجِهِ ثِنْتَى عَشْرَةَ أوْقِيَةً وَنَشًّا قَالَ: قَالَتْ: أتَدْرِى مَا النَّشُّ ؟. قَالَ: قُلْتُ: لاَ! قَالَتْ: نِصْفُ أوْقِيَةٍ ؛ فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ. فَهَذَا صِدَاقُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَزْوَاجِهِ.

Aisyah berkata,"Mahar Rasulullah kepada para isteri beliau adalah 12 Uqiyah dan satu nasy". Aisyah berkata,"Tahukah engkau apakah nash itu?". Abdur Rahman berkata,"Tidak". Aisyah berkata,"Setengah Uuqiyah". Jadi semuanya 500 dirham. Inilah mahar Rasulullah saw kepada para isteri beliau. (HR. Muslim)

Di masa Rasulullah SAW, uang 1 dinar emas bisa untuk membeli seekor kambing sebagaimana hadits Urwah Al-Bariqi. Dan perbandingan nilai dirham dengan dinar berkisar antara 1 : 10 hingga 1 : 12. Maksudnya, satu dinar di masa itu setara dengan 10 hingga 12 dihram.

Jadi kalau mahar Rasululah SAW itu 500 dirham, berarti dengan uang itu kira-kira bisa untuk membeli kurang lebih 41 ekor kambing. Tinggal kita hitung saja berapa harga kambing saat ini. Anggaplah misalnya sejuta rupiah per-ekor, maka kurang lebih nilai 500 dirham itu 40-an juta rupiah.

d. Bukan Memamerkan Hafalan Tetapi Mengajarkan
Dan hadits di atas juga harus disesuaikan dengan hadits lainnya yang menjelaskan. Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

اِنْطَلِقْ لَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا فَعَلِّمْهَا مِنَ اْلقُرْآنِ

Dan dalam riwyat lain oleh Muslim : Nabi SAW bersabda, “Pergilah, sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya, maka ajarilah dia dengan Al-Qur’an”.

Maka yang dijadikan mahar bukan pameran hafalan Al-Quran di majelis akad nikah, melainkan berupa 'jasa' untuk mengajarkan Al-Quran berikut dengan ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya. 

Dan kita dapati dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.

Kesimpulan
Kalau yang dimaksud bahwa mahar hafalan Al-Quran itu sekedar memamerkan hafalan Al-Quran, nampaknya masih agak jauh dari makna dan maksud mahar yang sesungguhnya.
Namun kalau yang dimaksud adalah dengan hafalannya itu seorang suami mengajarkan Al-Quran, maka jasa mengajar itu adalah salah satu wujud harta juga. Logika ini menurut hemat penulis agak lebih masuk akal dan nalar kita.

Bukankah mahar Nabi Musa 'alaihissalam kepada istrinya juga berupa jasa juga. Jasa yang dimaksud adalah jasa menggembala kambing selama 10 tahun lamanya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

rumahfiqih.com 
5 RUMAH ASWAJA: Juni 2015 Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Semoga ustadz sekeluarga selalu dalam lindungan Allah SWT, amin. Kemarin saya menghadi...

Jauhi 3 Perkara ini yang dapat Mengeraskan Hati

Tujuan hidup yang paling utama dan pertama adalah berburu bekal akhirat, untuk mendapatkan bekal akhirat tentunya kita butuh keistiqamahan dalam beribadah dan hubungan yang baik dengan sesama. Modal utama membangun kemampuan seseorang beribadah dan peduli dengan sesama adalah melemahkan hati. Hati yang keras akan memunculkan sifat dan perilaku yang kurang baik dan beratnya menjalankan ibadah.

Hati yang dimiliki setiap insan terkadang ia selembut air, tapi juga terkadang sekeras batu. Lembutnya hati karena taatnya si pemilik hati kepada Swt. Sebaliknya, kerasnya hati karena kedurhakaan si pemilik hati kepada-Nya. Seorang yang lembut hatinya akan mudah menerima kebenaran yang datang dari Rabb-nya, dan mudah menangis saat mengingat dosa kepada Allah, dan segera bertaubat saat ia melanggar batasan Allah Swt. Adapun orang-orang yang keras hatinya, maka hatinya tertutup, susah dalam menerima kebenaran dan akan sangat susah untuk bisa menangis saat mengingat siksaan Allah dan kebesaran-Nya. Lalu, berat rasanya melakukan taubat kepada Allah.

Pada kesempatan kali ini, kami akan sedikit berbagi tentang beberapa perkara yang dapat mnegeraskan hati, sebagaimana yang kami kutip dari kitab Muraqi Ubudiyyah, Halaman 65. Sebahagian Ulama berkata ;” ada tiga perkara yang membuat hati keras, pertama; 

 الضحك من غير عجب
Tertawa tanpa sebab atau banyak tertawa

Tertawa dalam bahasa Arab terbagi tiga, ada yang dikatakan dengan الضحك, قهقهة danتبسم , tertawa yang diharamkan adalah قهقهة atau biasa disebut dengan tertawa ‘ala setan, yaitu dengan suara yang besar melebi kebiasaan ditambah dengan memukul-mukul diri, sedangkan tertawa الضحك atau biasa dikenal dengan tertawa yang biasa ada pada manusia biasa, ini tidak sampai pada tingkatan diharamkan, tetapi bisa jadi makruh kalau berlebihan dan menjadikan hati keras, dan yang terakhir adalah تبسم , atau biasa disebut senyum, yang ada pada para Rasul, dan ini dibolehkan, bahkan dianjurkan dalam agama.

Tertawa memang bukan hal yang dilarang. Namun jika sering dilakukan dan melewati batas, maka menjadi tercela, bahkan banyak tertawa akan mengeraskan hati. Menjadikan susah masuknya hidayah, tidak tersentuh oleh peringatan-peringatan dari Alqur’an dan Hadis, serta menjauhkan pemiliknya dari Allah Swt. Oleh karena demikianlah, Raulullah Saw melarang banyak tertawa, sebagaimana dalam sebuah hadis :

 أقِلَّ الضَّحِك ، فَإن كَثْرَة الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ

Sedikitkanlah tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati. [ Shahih adabul mufrad : 252 ].

Kebiasaan yang ada pada Rasululah adalah tersenyum, bukan tertawa. Banyak tersenyum adalah hal yang diperintahkan oleh agama. Bahkan senyuman seseorang kepada saudaranya dinilai sebagai sedekah. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda ;

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ صَدَقَةٌ

Senyummu pada saudaramu adalah shdaqah [ HR. Ahmad ].

Bahkan Rasullulah mengajak umatnya untuk memperbanyak menangis kepada Allah dan sedikit tertawa. Kebiasaan beliau ini juga diikuti oleh para khulafa’ ar rasyidun dan para sahabat lainnya. Sebagaiman yang disebutkan dalam sebuah Hadis;

والذي نَفسِي بِيَدِه لو تَعْلَمُون ما أَعلَمُ ، لضَحِكتُم قَلِيلا ولَبَكَيْتُم كَثيراً

Dan demi jiwaku yang ada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. [ Adabul mufrad 254 ]

Maka tidak ada jalan lain jika seseorang ingin melemahkan hatinya kecuali dengan meninggalkan banyak tertawa dan memperbanyak tangisan kepada Allah Swt. Dengan demikian, hati akan lemah, ringan dalam melakukan ibadah, dan akan dengan mudah menerima kebenaran. yang kedua :

 والأكل من غير جوع
Makan saat belum lapar atau banyak makan 

Di saat seseorang banyak makan, maka dia telah menuruti syahwat perutnya. Orang yang banyak makan akan menjadi malas, mberat badan akan mudah naik dan rentan terkena penyakit. Tidak hanya itu, otakpun menjadi bebal dan sulit diajak berfikir. Karena itulah, disyariatkannya puasa dalam islam, baik yang wajib atau yang sunat. Sehinnga para dokter juga mengatakan kalau penyebab utama datangnya penyakit adalah makan sebelum lapar atau masih kenyang, dan salah satu metode untuk menjaga kesehatan adalah makan di saat lapar dan sedikit. Bahkan Rasulullah Saw:

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أَكَلَاتٍ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

“Tidak ada wadah paling buruk yang diisi manusia selain perutnya, cukuplah seorang anak Adam makan beberapa suap makanan saja yang dapat mengokohkan tulang punggungnya. Jika memang ia harus mengisi perutnya maka hendaknya ia mem-berikan sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya". { HR. At-Tirmidzi}

Dan, perkara yang terakhir (yang ke tiga) adalah:

والكلام من غير حاجة

Bicara tanpa keperluan atau berlebihan

Apa hubungan banyak bicara dan hati?. Lisan adalah salah satu perwakilan hati. Islam mengajarkan umatnya untuk bicara yang baik. Jika tidak bisa, maka diam, keimanan seseorang terkait erat dengan sejauh mana seseorang menjaga lisannya. Rasulullah Saw bersabda:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

Tidak akan lurus iman seorang hamba hingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hatinya hingga lurus lisannya. [ HR. Ahmad ].

Dalam hadist yang lain beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

Barangsiapa yang berimana kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah dia berkata benar atau diam,” [HR. Al-Bukhari}

Imam an Nawawi dalam mensyarah hadis ini berkata : “Apabila salah seorang diantara kalian hendak berbicara dan pembicaraan tersebut benar-benar baik dan berpahala, baik membicarakan perkara yang wajib maupun sunnah, maka silakan dia membicarakannya. Jika belum jelas baginya, apakah perkataan tersebut baik dan berpahala atau perkataan itu nampak samar baginya antara haram, makruh dan mubah, maka hendaknya ia tidak mengucapkannya" Oleh karena demikian, perkara-perkarayang hukumnya mubah untuk dikatakan, sangat dianjurkan untuk menahan diri dari mengataknnya, karena ditakutkan bisa terjerumus kepada perkataan yang diharamkan nantinya.

Demikianlah sedikit pembahasan tentang beberapa sebab yang dapat mengeraskan hati, sebenarnya sebab itu tidak hanya tiga perkara di atas, namun ketiga perkara di atas adalah yang paling sering kita temui dalam kehidupan. Semoga bermanfaat. Wallahu’lam.


ibm.mudimesra.com 
5 RUMAH ASWAJA: Juni 2015 Tujuan hidup yang paling utama dan pertama adalah berburu bekal akhirat, untuk mendapatkan bekal akhirat tentunya kita butuh keistiqamahan...

Pembagian Tauhid (Wahdaniah)

Para ulama Ahli sunnah wal Jamaah menyatakan bahwa hakikat keesaan (wahdaniyah) adalah tiadata’adud (banyak) pada zat, sifat dan perbuatan Allah. Maka, tiada yang menyerupai Allah SWT baik dari segi zat, sifat maupun af’alNya. Dan yang dikatakan dengan tauhid(meng-esakan) adalah melakukan ibadat hanya kepada Zat yang disembah serta mengi’tikadkan esanya zat, sifat, dan af’al tuhan.

Maka Keesaan Allah ada pada tiga hal yaitu tauhid pada zat, tauhid pada sifat dan tauhid pada af’al. 

Tauhid pada zat di ambil dari firman Allah dalam surat al-Ikhlash ayat 1 :

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
katakanlah bahwa Allah itu esa 

Dalam ayat ini dapat di pahami bahwa zat Allah hanya satu (wahdaniyah).

Sedangkan tauhid pada sifat di ambil dari firman Allah dalam surat syura ayat 11 :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
tidak ada yang semisil bagi Allah sesuatupun.

dan juga dari firman Allah surat al-Ikhlash ayat 4 :

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
dan tidak ada bagiNya sekutu

Dari kedua ayat di atas bisa di pahami bahwa tidak ada satu zat yang memiliki sifat yang sama dengan Allah dan sifat ketuhanan itu hanya ada pada Allah semata.

Sedangkan tauhid af’al di pahami dari firman Allah surat ar-Ra’d ayat 16 :

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
Allah menciptakan segala sesuatu.

dan juga dari firman Allah surat ash-Shaffat ayat 96:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Allah lah yang menciptakan kamu dan perbuatanmu.

Dalam ayat ini dapat di pahami bahwa hanya Allahlah yang menciptakan segala makhluk dan juga menciptakan perbuatan dari makhluk tersebut.

Keesaan zat (wahdaniyah fil Zat) pada Allah, meniadakan dua perkara:

1. Zat Allah SWT tersusun dari bagian (kam muttashil fi zat) atau dengan kata yang lain Zat tuhan menerima pembagian walaupun pada kenyataan tidak terbagi.

Maka setiap yang murakab (tersusun) adalah sesuatu yang baharu (bukan qadim) dan juga merupakan makhluk secara otomatis karena semua yang tersusun membutuhkan kepada penyusunnya. Allah SWT berfirman dalam surat al-Infithar ayat 8:
فِي أَيِّ صُورَةٍ مَّا شَاء رَكَّبَكَ
Artinya : dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.

2. Ada zat lain yang mempunyai kesempurnaan seperti kesempurnaan yang wajib pada Zat Allh SWT dan mustahil baginya sifat-sifat kekurangan yang mustahil bagi Allah (kam munfashil fi zat)

Keesaan pada sifat (wahdaniyah fi shifat) Allah, meniadakan dua perkara:

  1. Allah SWT mempunyai dua sifat yang sama misalnya dua Qudrah dan Dua iradah (Kam Munfashil fi shifat). Qudrah-Nya itu satu. Dengan qudrah yang satu tersebut Allah menciptakan dan meniadakan segala sesuatu. Demikian juga pada sifat-sifat yang lain.
  2. Ada makhluk yang mempunyai sifat seperti salah satu sifat Allah SWT (kam munfashil fi shifat). Misalkan, mempunyai iradah yang sanggup mengkhususkan seperti halnya Iradah Allah, mempunyai ilmu yang mengetahui segalanya dan lain-lain.

Keesaan af’al (Wahdaniyah fil Af’al/perbuatan) menafikan: Adanya zat yang menciptakan perbuatan (kam munfashil fi af'al), karna tidak ada zat lain yang sama dengan Allah SWT dalam menciptakan perbuatan, tetapi hanya Allah yang menjadikan dan meniadakan sesuatu. Adapun yang ada pada hamba hanyalah kehasilan dari usahanya (kasbu) yang diciptakan Allah. Maka wajib bagi kita untuk mengiktikadkan bahwa sungguh segala perbuatan baik itu kecil maupun besar adalah ciptaan ALLAH swt semata.

Firma-Nya: 

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُون
Artinya: Dan Allahlah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan.(Qs.as-Shaffat 96)

Sabda Nabi Saw:
إن الله يصنع كل صانع وصنعته

Artinya: Sesungguh Allah SWT yang menciptakan setiap pencipta dan dan ciptaanya. (H. R. Imam Bukhari)

ibm.mudimesra.com
5 RUMAH ASWAJA: Juni 2015 Para ulama  Ahli sunnah wal Jamaah  menyatakan bahwa hakikat keesaan  (wahdaniyah)  adalah tiada ta’adud  (banyak) pada zat, sifat dan per...

Kesalahan dalam Tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Tauhid Asma' wa Shifat

Salah satu perkara aqidah yang gencar di dakwahkan oleh sebagian kalangan saat ini adalah pembagian tauhid kepada tiga; Rububiyah, Uluhiyah dan Asma` wa shifat. Pembagian tauhid tiga ini dilakukan oleh seorang insan yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah sekitar abad ke-7 Hijriah sehingga perlu diketahui bahwasanya pembagian ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw, para salafush-shalih bahkan para ‘Ulama khalaf yang menjadi rujukan dan panutan ummat Islam sekalipun.

Memulai tulisan ini, alangkah baiknya bila kita sedikit menelisik tentang maksud dari tauhid tiga ini yang meliputi tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah dan tauhid asma` wa al-shifat.

1. Tauhid ar-Rububiyyah

Yaitu tauhid yang dimiliki oleh orang Muslim dan orang musyrik. Dalam tauhid ini mengandung tauhid al-Khaliqiyyah (mengi’tiqad Allah Swt sebagai Pencipta), menyatakan Allah Swt penguasa langit dan bumi, dan hanya Allah Swt-lah yang mengurus keduanya.

Sekelompok insan ini mendasarkan tauhid ar-Rububiyah ini kepada firman Allah Swt dalam surat al-Mu`minun ayat 84-85 :

قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

"Katakanlah Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah" Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" (QS. al-Mukminun : 84-85)

dan juga firman Allah Swt dalam surat al-Ankabut ayat 61 :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar) (QS. al-Ankabut: 61)

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, sekelompok insan ini berkomentar bahwa kaum kafir juga mengakui Allah Swt walaupun tauhidnya tidak sah karena mereka juga ikut menyembah berhala disamping pengakuan mereka kepada adanya Allah Swt.


2. Tauhid al-Uluhiyyah

Yaitu tauhid dalam penyembahan bahwa hanya Allah Swt semata yang disembah dan tiada menyekutukan-Nya dengan apapun.


3. Tauhid al-Asma` wa as-Shifat

Yaitu menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt sebagaimana telah di tetapkan oleh al-Qur`an dan Rasul-Nya berdasarkan maknanya yang zhahir (walaupun membawaki kepada tajsim).

Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya, Minhaj al-Sunnah menomentari tentang tauhidnya mayoritas kaum Muslimin dan 'Ulama Mutakallimin dari golongan al-Asya`irah dan lainnya :

وأخرجوا من التوحيد ما هو منه كتوحيد الإلهية وإثبات حقائق أسماء الله وصفاته ولم يعرفوا من التوحيد إلا توحيد الربوبية وهو الإقرار بأن الله خالق كل شيء وربه وهذا التوحيد كان يقر به المشركون الذين قال الله عنهم ولئن سألتهم من خلق السموات والأرض ليقولن الله (سورة لقمان).وقال تعالى قل من رب السموات السبع ورب العرش العظيم سيقولون الله الآيات ((سورة المؤمنون) وقال عنهم ومايؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون (سورة يوسف). قال طائفة من السلف يقول لهم من خلق السماوات والأرض فيقولون الله وهم مع هذا يعبدون غيره وإنما التوحيد الذي أمر الله به العباد هو توحيد الألوهية المتضمن لتوحيد الربوبية بأن يعبد الله وحده لا يشركون به شيئا

Mereka telah mengeluarkan bagian dari tauhid seperti tauhid Ilahiyah dan menyatakan adanya hakikat nama-nama Allah dan sifat-Nya. Mereka tiada mengetahui tauhid kecuali hanya tauhid Rububiyyah saja yaitu pengakuan bahwa Allah Swt adalah Pencipta segala sesuatu. Tauhid ini juga diakui oleh kaum kafir dimana Allah Swt berfirman tentang mereka : Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab "Allah" (QS. al-Ankabut: 61. Allah Swt juga berfirman "Katakanlah: "Siapakah Yang Mempunyai langit yang tujuh dan Yang Mempunyai 'Arsy yang besar? Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah Swt". (QS. al-Mukminun: 86-87) dan juga firman Allah Swt: "Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah Swt melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah Swt (QS. Yusuf : 106). Sekelompok 'Ulama salaf berkata: "Allah Swt bertanya kepada mereka: "Siapa yang menciptakan langit dan bumi". Mereka menjawab: "Allah Swt", namun dalam keadaan demikian mereka juga masih menyembah selain Allah Swt dan tauhid yang Allah Swt perintahkan kepada hamba-Nya hanyalah tauhid Uluhiyyah yang juga mengandung tauhid Rububiyah dengan cara hanya menyembah Allah Swt dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun"

Ibnu Taimiyah juga berkata dalam kitab Risalah Ahl al-Shuffah:

توحيد الربوبية وحده لا ينفى الكفر ولا يكفى

"Tauhid Rububiyyah semata tidaklah menghilangkan kekufuran dan tidaklah memadai"

Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (pencetus gerakan al-Wahhabiyyah) dalam kitabnya, Kasyf al-Syubhat, menyatakan :

وتحققت أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - إنما قاتلهم ليكون الدعاء كله لله والنذر كله لله والذبح كله لله والاستغاثة كلها لله وجميع أنواع العبادة كلها لله وعرفت أن إقرارهم بتوحيد الربوبية لم يدخلهم في الإسلام وأن قصدهم الملائكة والأولياء يريدون شفاعتهم والتقرب إلى الله بذلك هو الذي أحل دماءهم وأموالهم عرفت حينئذٍ التوحيد الذي دعت إليه الرسل وأبى عن الإقرار به المشركون

"Setelah kamu pastikan bahwa Rasulullah Saw memerangi kaum musyrik supaya berdoa hanya kepada Allah Swt, bernazar hanya kepada Allah Swt, menyembelih hanya kepada Allah Swt, meminta tolong hanya kepada Allah Swt dan sekalian ibadah hanya kepada Allah Swt dan telah kamu ketahui bahwa pengakuan mereka dengan tauhid Rububiyyah tidaklah memasukkan mereka dalam agama Islam dan tujuan mereka kepada para Malaikat dan para Auliya` adalah untuk meminta syafa’at mereka dan pendekatan diri kepada Allah Swt dengan cara demikian merupakan hal yang menghalalkan darah dan harta mereka. Dapatlah kamu ketahui ketika itu tauhid yang diajak oleh para Rasul dan enggan diakui oleh kaum musyrik".

Dari pernyataan-pernyataan tersebut, jelaslah kedua insan ini hendak mengatakan bahwa tauhid yang diajak oleh para Rasul adalah tauhid Uluhiyyah sedangkan tauhid Rububiyyah telah ada pada kaum kafir. Begitu juga dengan para ‘Ulama al-Asyar’irah yang hanya bertauhid dengan tauhid Rububiyyah saja, tidak bertauhid Uluhiyyah.


Kesalahan Pembagian Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah

Salah satu hal yang menjadikan pembagian tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah ini adalah pembagian yang tidak masuk akal adalah pemisahan makna ilah dan rabb. Padahal pada dasarnya, kedua lafadz tersebut adalah lafadz yang maknanya saling melazimi karena ilah yang haq adalah rabb yang haq. Begitu juga sebaliknya, ilah yang bathil juga merupakan rabb yang bathil.

Hal ini terbukti dari beberapa ayat al-Qur`an dan hadits Rasul Saw yang sama sekali tidak membedakan pemakaian lafazh ilah dan rabb. Allah Swt berfirman yang menceritakan perjanjian manusia tentang ke-Tuhanan Allah Swt di alam ruh :

أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

"Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan)" (QS. al-A’raf : 172)

Ayat ini menunjukkan bahwasanya pemakaian kata rabb untuk pengakuan ke-Tuhanan Allah Swt sama saja halnya dengan pemakaian kata ilah. Seandainya tidak sama, tentu saja lafazh perjanjiannya tidak akan memakai kata rabb dan akan dituntut untuk mengakui ke-Tuhanan Allah swt dengan pemakaian kata ilah.

Dalil lainnya yang menunjuki bahwa makna lafadz rabb dan ilah saling melazimi (tidak bisa terpisah) adalah pertanyaan Malaikat Munkar ‘as dan Nakir ‘as di dalam kubur dengan lafadz "من ربك" bukan dengan lafadz "من الهك" . Kalau memang makna dari lafadz Rabb dan Ilah berbeda, tentunya kedua Malaikat ‘as ini akan menanyakan "من الهك" atau akan menanyakan keduanya.

Oleh karena itu antara Uluhiyyah dan Rububiyyah tidak bisa dipisahkan maknanya sehingga pembagian tauhid ini tidak sah karena siapa saja yang telah mengakui Rububiyyah bagi satu zat, berarti ia juga telah mengakui Uluhiyyahnya zat tersebut.


Benarkan Kaum Kafir Ber-tauhid Rububiyyah?

Sekelompok insan pembagi tauhid tiga ini menyatakan bahwa kaum musyrik memiliki tauhid Rububiyyah. Ini merupakan hal yang sangat aneh karena kaum yang menyekutukan Allah Swt didakwa sebagai kaum yang ber-tauhid padahal dalil-dalil telah menunjukkan bahwa kaum kafir sama sekali tidak memiliki tauhid Rububiyyah.

Salah satu dalil yang sangat jelas untuk menunjuki bahwa para kafir itu tetap mensyirikkan tauhid Rububiyyah adalah pertanyaan Malaikat Munkar 'as dan Nakir 'as dalam kuburan dengan lafadz من ربك , "Siapa Rabb-mu?", jawaban kaum kafir adalah  لا ادرى , "Saya tidak tahu", sedangkan kaum mukmin akan menjawab "Allah Swt", sehingga dapatlah dipahami bahwa kekufuran kaum musyrik dalam Rububiyyah sama dengan kekufurannya terhadap Uluhiyyah.

Para Rasul sebagaimana mereka menentang kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah Swt, mereka juga menentang keyakinan kaum musyrikin yang menetapkan sifat Rububiyyah kepada selain Allah Swt, seperti keyakinan kaum kafir akan terpenuhinya syafa’at (permintaan pertolongan) mereka di sisi Allah Swt dengan cara menyekutukan Allah Swt dengan tuhan-tuhan mereka ataupun seperti terpenuhinya kehendak tuhan-tuhan mereka dalam memberi manfaat dan kemudharatan bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa sifat Rububiyyah yang ditetapkan oleh kaum kafir kepada Allah Swt adalah penetapan yang tidak sah sehingga kaum kafir tidak layak digolongkan dalam kelompok manusia yang bertauhid Rububiyyah.

Beberapa ayat al-Qur`an yang menunjuki bahwa para Rasul juga menentang penetapan sifat Rububiyyah Allah Swt oleh kaum musyrikin antara lain :

1. Dalam surat al-Anbiya, Allah Swt menghikayahkan perkataan Nabi Ibrahim ‘as :

قَالَ بَلْ رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنّ

"Nabi Ibrahim ‘as berkata : "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya" (QS. al-Anbiya: 56)

2. Dalam surat al-An’am ayat 80, Allah Swt juga menghikayahkan perkataan Nabi Ibrahim ‘as kepada kaumnya :

أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ وَلَا أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبِّي شَيْئًا

"Apakah kamu hendak membantah tentang Allah Swt padahal sesungguhnya Allah Swt telah memberi petunjuk kepadaku. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah Swt kecuali di kala Tuhanku (Rabbi) menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu... " (QS. al-An’am : 80)

Kedua kandungan ayat ini ini adalah bukti nyata seruan Nabi Ibrahim ‘as kepada kaum musyrik untuk tidak menjadikan tuhan mereka sebagai sekutu bagi Allah Swt dengan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka bisa memberi mudharat dan manfaat.

3. Dalam surat Yusuf ayat 39, Allah Swt menceritakan dakwah Nabi Yusuf ‘as ketika berada dalam penjara:

أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

"Manakah yang baik, tuhan-tuhan (Arbab, kata plural dari Rabb) yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?" (QS. Yusuf : 39)

4. Dalam surat an-Nazi’at ayat 24, Allah Swt menghikayahkan perkataan Fir’aun :

أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى

"Akulah tuhanmu yang paling tinggi" (Q.S. an-Nazi’at : 24)

Apakah masih dapat di katakan bahwa “kedua sahabat Nabi yusuf yang menyembah patung dan fir’aun itu mengakui dengan uluhiyyah Allah SWT ? sehingga bisa kita dakwakan bahwa kaum tauhid Raububiyah juga ada pada kaum kafir!

5. Dalam surat asy-Syu’ara` ayat, Allah menghikayahkan percakapan Nabi Musa dengan Fir’aun. Fir’aun berkata :

وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ

"dan apa itu tuhan kamu?" (Q.S. As-Syu’ara 23)

Maka Nabi Musa AS menjawab :

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا

"Tuhan langit dan bumi dan sesuatu antara keduanya"( Q.S. Asy-Syu’ara 24 )
Nabi Musa juga menjawab:

رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ

"tuhan kamu dan tuhan segala bapak kamu yang terdahulu"(Q.S. Asy-Syu’ara 26)

6. Nabi Harun as menyeru kepada kaumnya yang menyembah patung anak lembu :

وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَنُ

Dan sesungguhnya tuhan kamu itu Maha pengasih (bukan anak sapi ini) (Q.S. Thaha 90)

7. Allah ta"ala berfirman kepada Nabi Muhammad SAW :

قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ

Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu…"(Q.S. al-An’am 64)

8. surat ali Imran 80 :

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا

dan Dia tidak menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan-tuhan.(Q.S. Al Imran 80)

9. dll

Seluruh ayat diatas juga menunjukan bahwa para Rasul juga menyeru kepada kaumnya untuk tidak menyekutukan Allah pada rububiyyah dan untuk tidak menetapkan sesuatu dari kekhususan rububiyyah kepada selain Allah. Hal ini menunjukan bahwa kaum musyrikin juga menyekutukan Allah dengan sesembahan mereka pada sifat-sifat keistimewaan Allah. Mereka memiliki beberapa Rabb (tuhan), maka bagaimana bisa di katakan bahwa kaum musyrik memiliki tauhid rububiyah, meyakini bahwa hanya ada satu rabbi.

Dan adapun ayat-ayat yang mereka jadikan sebagai hujjah untuk melegitimasikan pernyataan mereka bahwa orang musyrik mengakui tauhid rububiyyah maka ayat-ayat tersebut sama sekali tidak bisa menjadi hujjah untuk dakwaan mereka karena :



  1. Karena ayat-ayat tersebut khusus diturunkan kepada musyrikin arab pada masa Rasulullah SAW. Sedangkan dakwaan mereka umum untuk semua kaum musyrik.
  2. Berdasarkan kenyataan dilapangan dan dalam sejarah bahwa beberapa kelompok manusia mengingkari adanya Allah SWT seperti kelompok Atheis, golongan yang lain mengingkari ke-esaan Allah SWT seperti kaum tsanawiyyah yang mengatakan tuhan ada 2, tuhan kebaikan dan tuhan keburukan, dan ada juga kaum shabiah (para penyembah bintang) mereka menetapkan tadbir (pengaturan alam) kepada bintang-bintang sehingga bintang tersebut berhak untuk di sembah serta mengadukan berbagai keperluan padanya, mereka meyakini bahwa bintang mengatur segala kejadian dibumi seperti kebahagiaan seseorang, sengsara, sehat, sakit, dll.

Maka apakah bisa kita membenarkan bahwa mereka semua termasuk orang –orang yang bertauhid rububiyyah?

Begitu juga di dalam Al-quran telah tertera bahwa Namrud dan Fir’aun mendakwakan adanya sifat rububiyyah pada diri mereka, Namrud mengatakan:

أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ

"saya yang menghidupkan dan yang mematikan" (Q.S. al-Baqarah 258)

وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ

"dan apa tuhan sekalian alam" (Q.S. Syu’ara` 23)

sedangkan Fir'aun mengatakan :

يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي

"Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan (rabb) bagimu selain aku" (Q.S. al-Qashash 38)

dan ia juga berkata:

أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى

aku tuhan (rabb) kamu yang lebih tinggi (Q.S. an-naza’at 24)

Mereka semua sama sekali tidak mengenal rububiyyah apalagi mengakui dengan tauhid rububiyyah kepada Allah, bahkan sebaliknya mereka mendakwakan diri mereka sebagai Rabb yang memberi manfaat dan mudharat.

Allah SWT berkata tentang keadaan kaum musyrikin Arab:

وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ قُلْ هُوَ رَبِّي


mereka kufur dengan Allah, katakanlah Allah itu Rabbi (Q.S.Ar-Ra’du 30)

Maka dimana tauhid rububiyyah mereka?

Dari ayat-ayat yang telah kami uraikan diatas menunjukkan bahwa orang-orang musyrik menjadikan sembahan mereka sebagai sekutu bagi Allah, mereka menetapkan bahwa tuhan-tuhan mereka bisa memberi pertolongan (syafa’at) mereka menetapkan bahwa tuhan-tuhan mereka bisa berkehendak apapun terhadap manusia yang hidup dibumi ini, maka iktiqad mereka yang seperti ini adalah syirik pada Rububiyyah.

Selain itu, ketika jiwa manusia hanya akan tunduk dengan menyembah kepada zat yang telah ia akui sebagai pencipta dan pengatur alam, maka penyembahan kaum musyrik kepada selain Allah menunjuki bahwa keyakinan ke esaan pencipta dan pengatur alam dalam hati mereka bukan hanya kepada Allah semata, dengan kata lain tauhid Rububiyah sama sekali tidak ada dalam jiwa mereka. Karena manusia yang mengakui adanya sebagian sifat Rububiyah pada satu zat kemudian menyekutukannya maka manusia tersebut tidaklah dapat di katakan memiliki tauhid Rububiyah.


Kesimpulannya, dakwaan Ibnu Taimiyah dan pengikutnya bahwa sekalian kaum musyrik dari sekalian umat juga mengakui tauhid Rububiyah kepada Allah dan sesungguhnya mereka itu kafir hanya karena tidak memiliki tauhid uluhiyyah (menyembah selain Allah) dan bahwa para Rasul-rasul tidak mengajak umatnya kepada tauhid Raububiyah karena tauhid tersebut telah ada pada diri mereka tetapi yang di ajak oleh Rasul hanyalah untuk mengakui tauhid uluhiyah, merupakan dakwaan yang sesat serta menyalahi al-quran sendiri sebagaimana telah kita uraikan ayat-ayat al-quran yang menunjukkan bahwa kaum musyrik menyekutukan Allah dengan sesembahan mereka sebagian sifat-sifat kekhususan Allah SWT.

Pada hakikatnya pembagian tauhid kepada rububiyah dan uluhiyah adalah bertujuan untuk menggolongkan kaum muslimin yang melakukan ziarah, bertawasol ke kuburan para anbiya dan syuhada sebagai orang-orang musyrik yang hanya memiliki tauhid rububiyah dan tidak memilikii tauhid uluhiyah seperti layaknya kaum musyrik yang menurut mereka juga mengimani Allah tetapi menyembah selain Allah.
ibm.mudimesra.com
5 RUMAH ASWAJA: Juni 2015 Salah satu perkara aqidah yang gencar di dakwahkan oleh sebagian kalangan saat ini adalah pembagian tauhid kepada tiga; Rububiyah, Uluhiya...

Sudah Shalat Witir, Bolehkah Shalat Sunat Lagi ?

assalamualaikum warohmatullah

ustadz Ahmad di rumahfiqih yang saya hormati. langsung saja. Beberapa jemaah shalat tarawih di masjid-masjid biasanya keluar masjid setelah shalat tarawih selesai dan tidak mengikuti Jemaah witir bersama Imam. Ketika ditanya kenapa, mereka beralasan ingin shalat lagi di rumah nanti tahajjud atau yang lainnya, jadi witirnya diakhirkan saja sekalian.

Seakan-akan bahwa jika orang sudah shalat witir itu sudah tidak boleh lagi shalat sunnah, karena witir itu shalat penutup di malam hari. Karena sudah di tutup, maka sudah tidak boleh lagi shalat. Apa memang benar begitu? Boleh ngga sholat sunnah lagi di malam hari padahal kita sudah sholat witir?.

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dari dulu sejak awal mula kita mempelajari sholat di pengajian-pengajian, ketika masuk bab sholat witir kita sering diperdengarkan bahwa witir itu sholat penutup malam. Jadi kesannya, karena itu penutup maka tidak ada lagi sholat sunnah setelahnya. Dan menjadi aneh kalau sudah sholat witir kemudian sholat sunnah lagi, Tahajjud misalnya di malam harinya.

Tidak salah juga memang kalau sholat witir itu disebut sebagai sholat penutup di malam hari, karena memang Rasul SAW selalu menutup sholat-sholat malamnya dengan sholat witir yang jumlahnya ganjil. Tapi karena namanya penutup bukan berarti kita dilarang untuk kemudian sholat sunnah lagi setelah sholat witir.

Shalat Sunnah Setelah Shalat Witir

Jumhur (kebanyakan) ulama termasuk para Imam dari 4 mazhab; al-Hanafiyah, al-Malikiyah, al-Syafi'iyyah dan al-Hanabilah membolehkan sholat sunnah di malam hari walaupun sebelumnya sudah melakukan sholat witir. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Rusyd Al-Qurthuby dalam kitabnya "Bidayatul-Mujtahid Wa Nihayatul-muqtashid(hal. 164).

Tetapi setalah sholat sunnah tersebut kita tidak boleh sholat witir lagi. Pandapat Jumhur ulama ini didasarkan oleh beberapa dalil. Diantaranya:

Pertama

Hadits panjang yang diriwayatkan dari 'Aisyah ra. 'Aisyah ra berkata:

ثُمَّ يُصَلِّى التَّاسِعَةَ فَيَقْعُدُ ، ثُمَّ يَحْمَدُ رَبَّهُ وَيُصَلِّى عَلَى نَبِيِّهِ ، وَيَدْعُو ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمَةً يُسْمِعُنَا ، ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ

 "… kemudian Nabi saw shalat rakaat ke-9 (Witir), lalu duduk, bertahmid dan bershalawat serta berdoa kepada Allah swt lalu salam dengan salam yang membuat kami mendengarnya. Kemudian beliau SAW shalat sunnah lagi setelah salam 2 rokaat dalam keadaan duduk" (HR Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah)

Imam Nawawi dalam Kitabnya Al-Majmu' menjelaskan bahwa hadits diatas adalah bukti (dalil) atas kebolehan sholat sunnah setelah sholat witir. Dan 2 rokaat Nabi SAW setelah sholat witir itu bukanlah sunnah yang sering dilakukan oleh beliau saw, akan tetapi Rasul melakukan itu untuk memberitahukan kepada ummatnya bahwasanya boleh melakukan sholat sunnah walaupun sudah sholat witir. (al-Majmu' jil.4 hal. 16)

Kedua

عن أبي أمامة ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ،  كان يصلي ركعتين بعد الوتر وهو جالس ، يقرأ فيهما بـ إذا زلزلت و ( قل ياأيها الكافرون

Hadits dari Abi Umamah, beliau berkata bahwa: Nabi saw pernah sholat 2 rokaat sunnah dalam keadaan duduk setelah sholat witir, membaca surat “Idza Zulzilat” dan “Qul ya Ayyuhal-Kafirun”. (HR Imam Ahmad)

Ketiga

مَنْ خَشِيَ مِنْكُمْ أَنْ لَا يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِهِ

Hadits Jabir ra. Rasul saw pernah bersabda: "Siapa yang takut akan tidak bisa bangun malam, hendaklah ia sholat witir di awal malam" (HR Tirmidzi)

Dari hadits ini dipahami, bahwa kalau seseorang takut untuk tidak bisa bangun malam, maka ia sholat witir diawal malam. Kemudian ketika ia bisa bangun malam padahal ia sudah witir diawal malam maka dia boleh melakukan sholat malam sebagaimana biasa.

Tidak Perlu Witir Lagi

Nah ketika kita sudah sholat witir diawal malam misalnya sebagaimana yang banyak kita lakukan dimalam-malam ramadhan ini. Kemudian kita bangun malam untuk sholat tahajjud atau yang lainnya, maka setelah sholat sunnah tersebut kita tidak perlu melakukan sholat witir lagi, karena itu dilarang oleh Nabi saw dan tidak ada witir 2 kali dalam satu malam.

لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ

"Tidak 2 witir dalam satu malam!" (HR Tirmidzi, Nasai'I, dan Abu daud) 

Dan ini berlaku bukan hanya di bulan Ramadhan saja, tapi di seluruh malam juga diluar ramadhan. Karena witir itu bukan amalan khusus di bulan puasa saja, tapi dia ada di seluruh malam.

Hanya saja kalau di bulan ramadhan ini kita jadi lebih dekat dengan sholat witir karena memang itu dikerjakan berjamaah setelah sholat tarawih. Itulah salah satu nikmatnya Ramadhan, kita bisa shalat witir yang di bulan-bulan lain susah untuk kita kerjakan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Zarkasih, Lc

Kampussyariah.com 
5 RUMAH ASWAJA: Juni 2015 assalamualaikum warohmatullah ustadz Ahmad di rumahfiqih yang saya hormati. langsung saja. Beberapa jemaah shalat tarawih di masjid-ma...

Berjanji membayar pembayaran hutang 2 Kali Lipat, Apakah Riba ?

Assalamualaikum wr wb.

Saya mau tanya, teman saya meminjam uang sebesar 5 juta kepada saya untuk keperluan yang mendesak. Dia berjanji akan memberikan kelebihan pengembalian sehingga menjadi 6 juta.

Apakah kelebihan uang pengembalian tersebut termasuk riba? Perlu diketahui bahwa saya sama sekali tidak meminta kelebihan itu. Dan tanpa dijanjikan kelebihan tersebut pun, saya akan tetap meminjamkannya kepada teman saya itu.

Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasi
h.

Wassalamu alaikum wr. wb.

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Transaksi pinjam uang yang Anda lakukan dengan teman Anda itu memang 100% masuk dalam kategori riba nasi'ah yang diharamkan Allah SWT. Riba inilah yang sejak 14 abad lalu diperangi Allah SWT kepada siapa saja yang melakukannya.

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ 

Jika kamu tidak meninggalkan riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqarah : 278-279) 

Dan pelaku riba ini, baik pihak yang meminjamkan uang ataupun pihak yang meminjam uang, sama-sama mendapatkan laknat dari Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama. (HR. Muslim) 

Tidak Minta Bunga Tetapi Diberi

Mungkin Anda bertanya, kenapa masih dibilang riba? Bukankah Anda tidak minta bunga? Anda hanya diberi dan tidak minta, tidak maksa dan juga tidak sedang memeras teman sendiri. Bunga itu secara ikhlas diberikan oleh teman Anda tanpa diminta, kok masih dianggap riba?

Logika ini memang seringkali digunakan oleh mereka yang masih belum memahami secara lengkap hakikat riba. Seolah-olah letak titik keharaman riba ('illat) semata-mata terdapat pada unsur pemerasan, penindasan dan mengambilan harta orang lain secara zalim.
Padahal logika itu kurang tepat alias keliru. Memang benar bahwa salah satu hikmah Allah SWT mengharamkan praktek riba demi untuk menghilangkan pemerasan, penindasan dan pengambilan harta orang secara zalim. Tetapi ini hanya sekedar hikmah. Dan hikmah bukan 'illat. Artinya bila hikmah itu ada ataupun tidak ada, sama sekali tidak mengubah hukum.

Sebagai ilustrasi biar lebih mudah, salah satu hikmah shalat adalah tercegahnya kita dari perbuatan keji dan munkar. Lalu apakah bila kita sudah terhindar dari melakukan perbuatan keji dan munkar, lantas kita jadi tidak wajib mengerjakan shalat? 
Tentu saja tetap wajib. Sebab adanya hikmah atas suatu ibadah bukan menjadi sebab ada atau tidaknya kewajiban ibadah itu.

Ilustrasi lain biar lebih jelas lagi, salah satu hikmah diharamkannya minum khamar agar jangan mabuk yang bisa mengakibatkan kehancuran. Tetapi bisa saja seseorang minum khamar seteguk dua teguk dan tidak mabuk. Lalu apakah  minum khamar tanpa mabuk itu menjadi halal? 

Tentu saja jawabnya tidak.

Hal yang sama berlaku pada keharaman zina dalam syariat Islam. Meskipun pasangan itu menyatakan saling cinta dan ikhlas atas apa yang mereka lakukan, tetapi hukumnya tetap haram. Meski wanita itu rela kehilangan kegadisannya dan laki-lakinya juga rela kehilangan keperjakaannya, katanya lantaran mereka lakukan demi cinta suci, tetap saja hukumnya haram. 

Sebab haramnya zina tidak ada kaitannya dengan pemaksaan, pelecehan wanita atau penodaan kehormatan. Hakikat haramnya zina adalah terjadinya hubungan seksual di luar nikah, tidak ada urusannya dengan ikhlas atau tidka ikhlas.

Maka demikian pula dengan kasus riba. Salah satu hikmah diharamkannya riba adalah agar terhindar dari pengambilan harta orang lain secara zalim. Lantas kalau pihak yang pinjam itu dengan segala keikhlasan dan kerelaan bersedia memberikan uang kelebihan pada saat pengembalian pinjaman, apakah lantas hukumnya menjadi boleh?

Tentu saja jawabnya juga tidak. Sebab 'illat keharaman bunga bukan terletak pada ikhlas atau tidak ikhlas, tetapi pada adanya kelebihan pengembalian itu sendiri. Terlepas dari apakah kelebihan itu diberikan dengan ikhlas atau tidak ikhlas.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumahfiqih.com


5 RUMAH ASWAJA: Juni 2015 Assalamualaikum wr wb. Saya mau tanya, teman saya meminjam uang sebesar 5 juta kepada saya untuk keperluan yang mendesak. Dia berjanji a...

Minggu, 28 Juni 2015

Dimanakah Sebaiknya Shalat Hari Raya ?

Yang sering ramai diperbincangkan menjelang hari raya adalah pelaksanaan shalat Ied. Sebagian ada yang memilih pergi ke masjid, sebagian lagi pergi ke lapangan atau semisalnya. Dan sebenarnya manakah yang lebih utama? Di masjid kah? Atau di luar masjid? Ternyata ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Namun sebelum membahas perbedaan ulama, perlu diketahui bahwa mereka sepakat bahwa shalat Ied boleh dilaksanakan di mana saja. Baik di masjid atau di luar masjid. Dan juga mereka sepakat bagi penduduk kota Makkah maka yang lebih baik adalah di Masjidil Haram. Bukan di lapangan atau di tanah lapang lainya. Ataupun bukan di Masjidil Haram, namun masjidnya sempit, maka lebih baik shalat Ied dolaksanakan di luar masjid. Namun apabila masjidnya luas, maka lebih baik dilaksanakan dimana? Ulama berbeda pendapat dalam hal ini sebagai berikut.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadirmenuliskan sebagai berikut :

والسنة أن يخرج الإمام إلى الجبانة

Yang sunnah (dalam shalat Ied) adalah imam keluar (untuk melakukan shalat) ke tanah lapang.[1]

Ibnu Abdin (w. 1252 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar menuliskan sebagai berikut :

)والخروج إليها) أي الجبانة لصلاة العيد (سنة وإن وسعهم المسجد الجامع) هو الصحيح

Keluar ke tanah lapang untuk melakukan sholat Ied disana adalah sunnah. Meskipun masjid jami luas (menampung jamaah). Dan pendapat ini adalah pendapat yang benar.[2]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut :

ولا تصلى في المسجد إلا من ضرورة إلا أهل مكة فسنتهم صلاتها في المسجد الحرام

Shalat Ied tidak dilaksanakan di masjid kecuali jika dalam keadaan darurat. Namun bagi penduduk makkah maka yang disunnahkan adalah shalat Ied di Masjidil Haram.[3]
Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Adz-

Dzakhirahmenuliskan sebagai berikut :

وإقامتها بالصحراء أفضل إلا في المسجد بمكة لفضل المسجد الحرام

Pelaksanaan sholat Ied di tanah lapang lebih utama (dari pada di masjid). Kecuali di Masjidil Haram, karena keutamaan Masjidil Haram.[4]

3. Mazhab Asy-Syafi’i

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnyaMinhaju At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin menuliskan sebagai berikut :

وفعلهم بالمسجد أفضل

Dan pelaksanaan (sholat Ied) di dalam masjid lebih utama.[5]

Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnyaAsnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut.

(و) فعلها في (سائر المساجد إن اتسعت أو حصل مطر ونحوه) كثلج (أولى) لشرفها ولسهولة الحضور إليها مع وسعها في الأول ومع العذر في الثاني فلو صلى في الصحراء كان تاركا للأولى مع الكراهة في الثاني دون الأول

Pelaksanaan shalat Ied di masjid selain Masjidil Haram, jika masjidnya luas atau dalam keadaan hujan dan semisalnya (turun salju), maka lebih utama. Karena kemuliaan masjid dan mudahnya setiap orang untuk menghadirinya. Dan juga jika masjid luas atau tedapat udzur (untuk melakukan shalat di luar). Dan jika dilaksanakan di tanah lapang maka telah meninggalkan keutamaan beserta karahah( makruh) pada keadaan kedua( jika terjadi hujan atau semisalnya) , namun tidak demikian pada keadaan pertama(tidak shalat di masjid padahal masjidnya luas).[6]

Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Al-Minhaj Al-Qawim menuliskan sebagai berikut :

و يسن "فعلها في المسجد" لشرفه فإن صلى في الصحراء كره ويقف نحو الحيض ببابه "إلا إذا ضاق" عن الناس فالسنة فعلها في الصحراء

Disunnahkan melaksanakan shalat Ied di dalam masjid, karena kemuliaan masjid itu sendiri. Dan dimakruhkan melaksanakanya di tanah lapang. (Ketika dilaksanakan di masji) maka wanita haidh dan yang semisalnya cukup berdiri di depan pintu. Kecuali jika masjidnya sempit dan tidak bisa menampung jamaah maka disunnahkan melaksanakanya di tanah lapang.[7]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :

السنة أن يصلي العيد في المصلى

Yang sunnah dalam pelaksanaan sholat Ied adalah di mushola.[8]
Dan yang dimaksud dengan mushola disini bukanlah surau atau masjid kecil. Melainkan tempat shalat yang letaknya di luar masjid.

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :

(وتسن، في الصحراء) وهذا بلا نزاع إلا ما استثني على ما يأتي. (وتكره في الجامع إلا من عذر) ، وهذا الصحيح من المذهب، وعليه أكثر الأصحاب

Dan disunnahkan (pelaksanaan shalat Ied) di tanah lapang. Dalam hal ini tidak ada pertentangan, kecuali dalam keadan-keadaan tertentu. Dan dimakruhkan (pelaksanaan shalat Ied) di masjid jami’ kecuali dengan udzur. Dan ini adalah pendapat yang benar menurut madzhab. Dan juga pendapat mayoritas ulama Hanabilah.[9]

Sebab Perbedaan Pendapat

Terdapat sebuah riwayat yang menunjukan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat Ied bukan di masjid. Melainkan keluar dan meninggalkan masjidnya. Seperti yang dipaparkan olehIbnu Qudamah (w. 620 H) dalam Al-Mughni:

أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان يخرج إلى المصلى ويدع مسجده

Sesungguhnya dahulu Nabi keluar menuju mushola dan meninggalkan masjid (untuk melaksanakan shalat Ied).[10]

Namun apakah Rasulullah meninggalkan masjid memang karena sholat Ied lebih baik dilaksanakan di luar masjid. Ataukah ada alasan lain? Maka dari sini lah perbedaan pendapat tersebut muncul. Dan An-Nawawi (w. 676 H) memiliki persepsi lain mengenai riwayat ini. Seperti dalam kitabnya beliau menyebutkan:

بأن المسجد كان يضيق عنهم لكثرة الخارجين إليها فالأصح ترجيحها في المسجد

(Rasulullah meninggalkan masjid) dikarenakan masjid pada saat itu sempit untuk menampung banyaknya orang yang hadir untuk melaksanakan shalat Ied. Maka yang paling pas adalah mendahulukan masjid sebagai tempat dilaksanakanya shalat Ied (ketika masjidnya luas).[11]
Wallahu’alam.

Muhammad Aqil Haidar 

Kampussyariah.com

[1] Ibnul HumamFathul Qadir, jilid 2 hal. 72
[2] Ibnu AbdinRadd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar, jilid 2 hal. 169
[3] Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1 hal. 263
[4] Al-QarafiAdz-Dzakhirah, jilid 2 hal. 420
[5] An-NawawiMinhaju At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin, hal. 52
[6] Zakaria Al-AnshariAsnal Mathalib Syarh Raudhu At-Thalib, jilid 1 hal. 281
[7] Ibnu Hajar Al-HaitamiAl-Minhaj Al-Qawim, hal. 190
[8] Ibnu QudamahAl-Mughni, jilid 2 hal. 275
[9] Al-MardawiAl-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 2 hal. 426
[10] Ibnu QudamahAl-Mughni, jilid 2 hal. 276
[11] An-NawawiMajmu al-Fatawa jilid 4 hal. 5


5 RUMAH ASWAJA: Juni 2015 Yang sering ramai diperbincangkan menjelang hari raya adalah pelaksanaan shalat Ied. Sebagian ada yang memilih pergi ke masjid, sebagian l...
< >