Di beberapa masjid di daerah, bahkan di Jakarta, masih
banyak saudar-saudara muslim yang kalau selesai shalat jumat, mereka shalat
zuhur lagi, berjamaah bahkan. Kemudian ini yang mengundang banyak pernyataan
dari saudara muslim lain yang memang hanya tahu bahwa sahalt jumat itu telah
menggugurkan kewajiban shalat zuhur. Jadi, muslim yang sudah shalat Jumat,
tidak perlu lagi shalat zuhur.
Dan memang sudah menjadi kesepakatan ulama sejagad raya
bahwa orang muslim yang sudah melakukan shalat jumat, gugur kewajiban zuhurnya.
Karena itu, wajar saja jika banyak yang bertanya-tanya, mengapa sebagian orang
melakukan zhalat zuhur lagi setelah jumatan. Bahkan tidak sedikit yang justru
menyalahkan mereka.
Maka dari itu, agar tidak ada yang slaing memandang aneh,
atau bahkan menyalahkan satu sama lain, ada baiknya kita pelajari dan cari tahu
kenapa mereka melakukan itu, bukan langsung menyalahkan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir mayoritas orang
Indonesia, fiqih yang dipelajari sejak kecil iaalah fiqihnya madzhab Imam
al-Syafi’i. karena itu, pakem-pakem madzhab ini sangat dilaksanakan secara
loyal oleh kebanyakan orang. Termasuk dalam hal shalat jumat ini.
Syarat Sah Jumat Tidak Terpenuhi
Dalam madzhab Imam al-Syafi’i, selain disyaratkan 2 khutbah
serta masuknya waktu zuhur agar shalat Jumat itu dikatakan sah, shalat jumat
juga punya syarat sah lain yang tidak boleh tidak terpenuhi; yakni hanya ada
satu jumat dalam satu kampung, dan harus dihadiri oleh 40 orang mukim atau
lebih.
2 syarat ini yang sekarang banyak tidak terlaksana –menurut
pemahaman sebagian saudara muslim- sehingga membuat shalat Jumat itu menjadi
tidak sah. Mungkin saja dalam satu kampung itu ada yang melaksanakan jumat di
tempat berbeda. Kalau sudah begitu, maka salah satu dari 2 jumatan itu dihukumi
tidak sah. Khawatir jumatannya yang tidak sah, maka ia dan jemaahnya
melaksanakan shalat Zuhur, karena kewajibannya belum gugur, toh jumatannya
tidak sah.
Atau bisa saja dalam jumatan itu dihadiri oleh kurang dari
40 orang mukim. Yang hadir jumatan memang banyak, akan tetapi yang mukim hanya
sekitar 20an orang atau kurang dari 40, sisanya adalah orang yang hanya singgah
di situ saja, atau kebetulan sedang lewat masjid tersebut. Karena kurang dari
40 mukim, jumatannya tidak sah.
Tapi alasan mereka melakukan shalat zuhur setelah jumatan
karena jamaah kurang dari 40 orang mukim, itu alasannya yang jarang sekali
terjadi. Yang paling sering terjadi ialah alasan yang pertama, yakni ada
jumatan lain dalam satu kampung. Ini yang sering kali terjadi yang membuat
mereka melakukan shalat Zuhur setelah Jumatan.
Satu Kampung Hanya Ada Satu Jumat
Perihal syarat sah jumat yang harus hanya ada satu dalam
satu kampugn, tidak boleh ada lebih dari satu Jumat dalam kampung tersebut,
sudah kami jelaskan secara rinci di sini [ http://goo.gl/i8DOWQ ] silahkan
merujuk.
Dihadiri 40 Orang Mukim
Ini adalah pendapat resmi madzhab al-Syafi’iyyah, bahwa shalat jumat itu sah kalau dihadiri oleh 40 orang mukim atau lebih. Tentu syarat ini tidak muncul begitu saja, pastilah ada alasannya kenapa madzhab ini menetapkan kalau jumat itu harus dihadiri oleh 40 orang mukim atau lebih. Di antara dalil yang dipakai adalah;
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
جَمَعَ بِالْمَدِينَةِ وَكَانُوا أَرْبَعِينَ رَجُلً
“Dari ibnu Mas’ud r.a., beliau berakata bahwa Nabi saw
shalat Jumat di Madinah dan jumlah mereka ketika itu 40 orang.” (HR
al-Baihaqi)
وَعَنْ جَابِرٍ t قَالَ: مَضَتِ
السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا جُمُعَةً
“Dari Jabir r.a. beliau berkata; Sunnah (Syariat)
agama ini bahwa 40 orang atau lebih ada kewajiban jumat”. (HR
Daroquthni)
Dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj (1/632), Imam
al-Syirbini mengatakan bahwa perhatian Rasul s.a.w terkait shalat jumat tidak
seketat shalat lain, termasuk dalam masalah jumah Jemaah yang hadir dalam
shalat jumat haruslah memenuhi syarat. Bahkan beliau mengutip pernyataan Imam
al-Nawawi dalam al-Majmu’ yang mengatakan bahwa adanya syarat jumlah hadirin
dalam shalat jumat adalah sesuatu yang disepakati oleh umat Islam.
Beliau menguatkan pandangan madzhabnya; “Seorang
muslim wajib melaksanakan shalat sesuai tuntunan Nabi saw sebagaimana hadits (صلوا كما رأيتموني أصلي), dan tidak pernah shalat jumat itu
dilaksanakan di masa beliau hidup dengan jumlah yang kurang dari 40 orang.”
Tanwirul-Qulub fi Mua’amalati ‘Allamil-Ghuyub
Ini adalah kitab karangan Sheikh Muhammad Amin al-Kurdiy
(1332 H), kitab fiqih abad 14 hijrah yang menjadi rujukan banyak orang-orang
al-Syafi’iyyah terkait masalah-masalah‘ubudiyah, termasuk juga
masalah shalat Zuhur setelah shalat Jumat ini.
Di dalam kitab ini, beliau membuat bab khusus perihal shalat
Zuhur setelah shalat Jumat, yang beliau tulis dari halaman 218 sampai halaman
224. Di dalamnya beliau sertakan dalil, serta pandangan-pandangan ulama madzhab
al-Syafi’iyyah yang menjadi penguat.
Beliau juga menguatkan bahwa pekerjaan ini (shalat zuhur
setelah Jumat) adalah pekerjaan yang dilakukan oleh ulama-ulama madzhab
al-Syafi’iyyah dan juga pendapat resmi mereka. beliau menyatakan bahwa shalat
Zuhur setelah Jumatan itu adalah jalanIhtiyath [احتياط] (kehati-hatian)
yang diambil oleh ulama-ulama al-Syafi’iyyah melihat ada syarat jumat yang
tidak terpenuhi.
Dan jalan Ihtiyath (kehati-hatian) bisa
menjadi wajib, dan bisa juga menjadi sunnah. Artinya status shalat Zuhur yang
dilaksanakan itu bisa jadi wajib, dan bisa juga jadi sunnah.
[1] Wajib Shalat Zuhur setelah Jumatan
Shalat Zuhur tersebut menjadi wajib dilaksanakan setelah
jumat, kalau memang ada jumat lain dalam satu kampung tersebut. Dan diadakannya
shalat jumat yang berbilang itu tanpa ada hajat atau kebutuhan yang mendesak.
Seperti adanya masjid di kampung tu cukup untuk memuat seluruh penduduk
kampung, tapi malah diadakan jumatan lagi yang berbeda di selain masjid
tersebut. Maka ihtiyath dengan melakukan shalat zuhur setelah
jumatan menjadi wajib.
[2] Sunnah Shalat Zuhur setelah Jumatan
Shalat Zuhur tersebut menjadi sunnah dilaksanakan. Kalau
adanya jumat lain dalam satu kampung itu karena memang ada kebutuhan dan hajat.
Seperti masjid yang tidak bisa mengakomodasi semua jumlah penduduk kampung,
yang kalau dipaksanakan justru akan meluber ke jalanan dan menganggu orang
banyak. Kalau memang ada hajat untuk membuat jumatan yang lebih dalam satu
kampung, ihtiyath yang dilakukan itu statusnya sunnah.
Masalah Ijtihadiyah
Pada intinya ini adalah masalah yang diijtihadkan oleh
ulama-ulama al-Syafi’iyyah, dan tidak dipegang oleh ulama madzhab lain. Artinya
kemungkinan berbeda adalah sesuatu yang niscaya dan pasti terjadi.
Karena ini masalah ijtihadiyyah, maka, sebagaimana Sheikh
Amin al-Kurdiy menutup pembahasannya terkait shalat zuhur seteah shalat jumat,
bahwa tidak diperkenankan satu menyalahkan yang lainnya. Yang melaksanakan
shalat Zuhur setelah jumatan tidak boleh menyalahkan yang tidak melakukannya.
Dan yang tidak melakukannya pun tidak boleh merasa benar
sendiri.
Atau juga sebaliknya, yang melaksanakan shalat Zuhur tidak
bisa merasa paling benar, dan yang tidak melaksanakan tidak perlu menyalahkan
mereka yang shalat ZUhur setelah Jumatan.
Wallahu a’lam
Ahmad Zarkasih, Lc
rumahfiqih.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar