Assalaamu'alaikum wr. wb.
Ustadz yang baik, mohon tulis nama saya dengan sebutan Ukhti
saja untuk menghindari kesalahpahaman atau menjaga kebaikan seseorang. Syukron.
Ustadz, jika seorang ayah masih hidup dan masih sehat,
bisakah perannya sebagai wali digantikan oleh orang lain karena beliau tidak
menyetujui calon suami anaknya? Kalau boleh, dalam kondisi seperti apa yang
membolehkan dan siapa yang boleh menggantikan? Adakah landasan hukum yang kuat
untuk hal ini?
Jazakallahu khairan katsira,
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Izin dari seorang wali itu memang harus didapat dan tidak boleh didapat dengan cara merampasnya begitu saja. Ketidak-setujuan orang ayah kandung untuk menikahkan puterinya dengan seseorang perlu dihormati sepenuhnya.
Izin dari seorang wali itu memang harus didapat dan tidak boleh didapat dengan cara merampasnya begitu saja. Ketidak-setujuan orang ayah kandung untuk menikahkan puterinya dengan seseorang perlu dihormati sepenuhnya.
Bukan apa-apa, sebab di dalam syariah Islam, kedudukan ayah
kandung itu memang sangat tinggi, mulia dan 'berkuasa mutlak'. Dan hal itu
wajar kalau kita merunut ke belakang, bukankah seorang puteri tidak akan pernah
lahir ke dunia ini kalau bukan dari benih sang ayah kandung? Mau diapakan pun,
tetap saja darah yang mengalir di tubuh seorang wanita itu adalah darah sang
ayah.
Bahkan DNA yang dimilikinya sesuai dengan DNA sang Ayah, di
mana DNA itu tidak mungkin diganti atau ditukar selamanya.
Jadi wajar bila di dalam syariah, kedududkan ayah kandung
sebagai wali sudah sangat kuat dan mutlak. Apalagi mengingat bahwa yang
berkewajiban secara syar'i untuk memberi nafkah, melindungi, menemani dan
mendidikannya pun juga si ayah itu.
Tidak ada celah sedikit pun buat seorang wanita untuk
menikah dengan siapapun kecuali atas wewenang sang ayah. Salah besar bila orang
menafikan kedudukan ayah dalam urusan pernikahan. Bahkan idealnya, seorang
wanita tidak boleh mencari pasangan hidup sendiri, kecuali setelah berdiskusi
dengan ayahnya. Kalau sampai secara diam-diam seorang wanita menjalin hubungan
dengan laki-laki, lalu ternyata sang ayah tidak setuju, maka kewajiban anak itu
adalah patuh kepada sang ayah.
Dia harus melepaskan calon pilihannya dan ikut dengan
kehendak ayah. Semua itu adalah salahnya sendiri, sebab seorang wanita dalam
Islam tidak pernah berada dalam kapasitas menentukan pasangan hidupnya kecuali
atas izin dan kerelaan sang ayah. Paling tidak, ayah punya nilai shareyang
tidak bisa dinafikan.
Ibarat dua orang memiliki benda secara sharing,
maka salah satu pihak tidak boleh secara sepihak menjual benda itu atau
menyewakannya kepada orang lain. Kecuali setelah ada kesepakatan antara
keduanya.
Contoh lainnya yang juga bisa mendekatnya persoalan
misalnya, seperti seorang tinggal di rumah orang tuanya. Meski dia berhak
tinggal di situ, tetapi biar bagaimana pun rumah itu milik orang tuanya. Si
anak tidak bisa secara sepihak tiba-tiba menawarkan rumah itu kepada orang lain
untuk dijual. Kalau sampai ada orang tertarik untuk membeli rumah itu, lalu si
ayah sebagai pemilik rumah tidak setuju, si anak tidak punya hak untuk memaksa
menjual. Sebab rumah itu milik si ayah, bukan milik si anak. Kalau sengketa ini
dibawa ke pengadilan, sudah pasti anak dan calon pembelinya kalah, bahkan bisa
dipenjara. Karena menjual barang yang bukan haknya.
Demikian juga dalam kasus wali nikah, kalau si puteri
memaksa kawin lari dengan laki-laki pilihannya dan menginjak-injak wewenang
sang ayah, dia sudah berdosa sekaligus durhaka kepada ayahnya. Dan yang
penting, pernikahannya itu tidak sah dalam hukum Islam. Kalau melakukan
hubungan suami istri, itu adalah zina dengan dosa yang sangat besar dan wajib
dirajam/cambuk.
Maka sejak dini seorang wanita harus tahu bahwa kedudukan
sang ayah bagi dirinya memang sangat mutlak. Maka ajaklah, dekatilah, ikutilah
dan turutilah beliau sejak awal mula memilih calon suami, agar jangan sampai
beliau menolak di tengah jalan.
Wali Selain Ayah
Wali selain Ayah kandung bisa saja dilaksanakan, asalkan
dilakukan lewat satu dari beberapa cara, antara lain :
1. Ayah Kandung Mewakilkan Kewaliannya Kepada Orang Lain
Bila seorang Ayah kandung dengan sepenuh keridhaannya
memberikan wewenang kepada orang lain untuk menjadi wakilnya atas anak kandung
puterinya, maka dalam hal ini yang menjadi wali nikah boleh orang lain yang
menjadi wakil itu.
Tidak ada syarat apa pun kecuali memang syarat yang berlaku
sebagai wali, yaitu muslim, akil, baligh, laki-laki, merdeka dan adil. Adil
disini maksudnya bukan orang fasik yang mengerjakan dosa besar secara
terang-terangan di muka publik.
Sedangkan apakah harus ada hubungan darah, maka hal itu
bukan syarat untuk menjadi wakil dari wali yang asli. Jadi bisa saja siapapun
menjadi wakil atas ayah kandung.
Syarat yang paling utama adalah adanya penyerahan wewenang
dari ayah kandung kepada dirinya. Tanpa adanya mandat ini, maka posisinya sebagai
wakil tidak sah.
2. Ayah Kandung Wafat
Ketika seorang meninggal dunia, tentu saja dirinya tidak
bisa menjadi wali atas anak gadisnya yang menikah.
Kalau sebelum wafat almarhum sempat berpesan untuk menunjuk
seseorang menjadi wakil atas dirinya, maka orang yang diwasiatkan itulah yang
menjadi wali berikutnya.
Namun apabila tidak ada wasiat atau pesan apapun, maka yang
menjadi wali adalah urutan wali yang berikutnya dari nasab sang ayah.
Dan bila sama sekali tidak ada satu pun yang tersisa dari nasab
ayah untuk menjadi wali, maka yang menjadi wali adalah kepala negara dan
jajarannya, sebagai wakil dari pemerintahan yang sah.
3. Ayah Kandung Kehilangan Hak Kewaliannya
Seorang ayah kandung akan gugur wewenangnya sebagai wali
apabila dia kehilangan syarat dasar dari seorang wali. Syarat dasar yang harus
dimiliki oleh seorang wali nikah adalah
a. Muslim
Bila ayah kandung bukan muslim, maka posisinya sebagai wali
dengan sendirinya gugur. Dalam hal ini yang menjadi wali adalah urutan wali
berikutnya dari nasab ayah, tentunya yang juga memenuhi syarat dasar seorang
wali. Bila tidak ada satu pun, maka walinya adalah pemerintah yang sah.
b. Akil
Ayah kandung yang gila atau tidak waras tentu kehilangan
haknya untuk menjadi wali. Sebab orang gila tidak paham apa yang sedang
dilakukannya.
c. Baligh
Ayah kandung sebenarnya tidak mungkin belum baligh. Syarat
ini berlaku untuk orang yang akan menjadi pengganti atau wakil dari ayah
kandung.
d. Laki-laki
Syarat seorang wali nikah harus laki-laki. Dan seorang ayah
sudah pasti laki-laki, setidaknya ketika menikahi istrinya dan bisa berhasil
punya anak.
Namun seandainya sang ayah suatu hari melakukan operasi
ganti kelamin dan dinyatakan sah sebagai perempuan secara syar'i, otomatis dia
kehilangan hak dan wewenangnya sebagai wali.
e. Merdeka
Budak di masa lalu tidak berhak untuk menjadi wali atas anak
gadisnya sendiri
f. Adil
Syarat ini sebenarnya agak sedikit menjadi khilaf para
ulama, namun umumnya para ulama menyebutkan bahwa setidaknya seorang wali nikah
itu tidak boleh seorang pendosa besar yang secara terang-terangan menentang
agama Allah.
Urutan Wali Nikah
Adapun siapa saja orang yang termasuk dalam daftar urutan
wali nikah, sudah pernah saya tuliskan artikelnya, silahkan lihat disini http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1142501333&title=urutan-wali-nikah
Wallahu a'lam bishshawab wasslamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
rumahfiqih.com
rumahfiqih.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar