+ -

Pages

Minggu, 09 Agustus 2015

Peran Ayah Sebagai Wali Nikah Dapat Digantikan

Assalaamu'alaikum wr. wb.

Ustadz yang baik, mohon tulis nama saya dengan sebutan Ukhti saja untuk menghindari kesalahpahaman atau menjaga kebaikan seseorang. Syukron.
Ustadz, jika seorang ayah masih hidup dan masih sehat, bisakah perannya sebagai wali digantikan oleh orang lain karena beliau tidak menyetujui calon suami anaknya? Kalau boleh, dalam kondisi seperti apa yang membolehkan dan siapa yang boleh menggantikan? Adakah landasan hukum yang kuat untuk hal ini?
Jazakallahu khairan katsira,

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Izin dari seorang wali itu memang harus didapat dan tidak boleh didapat dengan cara merampasnya begitu saja. Ketidak-setujuan orang ayah kandung untuk menikahkan puterinya dengan seseorang perlu dihormati sepenuhnya.

Bukan apa-apa, sebab di dalam syariah Islam, kedudukan ayah kandung itu memang sangat tinggi, mulia dan 'berkuasa mutlak'. Dan hal itu wajar kalau kita merunut ke belakang, bukankah seorang puteri tidak akan pernah lahir ke dunia ini kalau bukan dari benih sang ayah kandung? Mau diapakan pun, tetap saja darah yang mengalir di tubuh seorang wanita itu adalah darah sang ayah.

Bahkan DNA yang dimilikinya sesuai dengan DNA sang Ayah, di mana DNA itu tidak mungkin diganti atau ditukar selamanya.

Jadi wajar bila di dalam syariah, kedududkan ayah kandung sebagai wali sudah sangat kuat dan mutlak. Apalagi mengingat bahwa yang berkewajiban secara syar'i untuk memberi nafkah, melindungi, menemani dan mendidikannya pun juga si ayah itu.

Tidak ada celah sedikit pun buat seorang wanita untuk menikah dengan siapapun kecuali atas wewenang sang ayah. Salah besar bila orang menafikan kedudukan ayah dalam urusan pernikahan. Bahkan idealnya, seorang wanita tidak boleh mencari pasangan hidup sendiri, kecuali setelah berdiskusi dengan ayahnya. Kalau sampai secara diam-diam seorang wanita menjalin hubungan dengan laki-laki, lalu ternyata sang ayah tidak setuju, maka kewajiban anak itu adalah patuh kepada sang ayah.

Dia harus melepaskan calon pilihannya dan ikut dengan kehendak ayah. Semua itu adalah salahnya sendiri, sebab seorang wanita dalam Islam tidak pernah berada dalam kapasitas menentukan pasangan hidupnya kecuali atas izin dan kerelaan sang ayah. Paling tidak, ayah punya nilai shareyang tidak bisa dinafikan.

Ibarat dua orang memiliki benda secara sharing, maka salah satu pihak tidak boleh secara sepihak menjual benda itu atau menyewakannya kepada orang lain. Kecuali setelah ada kesepakatan antara keduanya.

Contoh lainnya yang juga bisa mendekatnya persoalan misalnya, seperti seorang tinggal di rumah orang tuanya. Meski dia berhak tinggal di situ, tetapi biar bagaimana pun rumah itu milik orang tuanya. Si anak tidak bisa secara sepihak tiba-tiba menawarkan rumah itu kepada orang lain untuk dijual. Kalau sampai ada orang tertarik untuk membeli rumah itu, lalu si ayah sebagai pemilik rumah tidak setuju, si anak tidak punya hak untuk memaksa menjual. Sebab rumah itu milik si ayah, bukan milik si anak. Kalau sengketa ini dibawa ke pengadilan, sudah pasti anak dan calon pembelinya kalah, bahkan bisa dipenjara. Karena menjual barang yang bukan haknya.

Demikian juga dalam kasus wali nikah, kalau si puteri memaksa kawin lari dengan laki-laki pilihannya dan menginjak-injak wewenang sang ayah, dia sudah berdosa sekaligus durhaka kepada ayahnya. Dan yang penting, pernikahannya itu tidak sah dalam hukum Islam. Kalau melakukan hubungan suami istri, itu adalah zina dengan dosa yang sangat besar dan wajib dirajam/cambuk.

Maka sejak dini seorang wanita harus tahu bahwa kedudukan sang ayah bagi dirinya memang sangat mutlak. Maka ajaklah, dekatilah, ikutilah dan turutilah beliau sejak awal mula memilih calon suami, agar jangan sampai beliau menolak di tengah jalan.

Wali Selain Ayah

Wali selain Ayah kandung bisa saja dilaksanakan, asalkan dilakukan lewat satu dari beberapa cara, antara lain :

1. Ayah Kandung Mewakilkan Kewaliannya Kepada Orang Lain
Bila seorang Ayah kandung dengan sepenuh keridhaannya memberikan wewenang kepada orang lain untuk menjadi wakilnya atas anak kandung puterinya, maka dalam hal ini yang menjadi wali nikah boleh orang lain yang menjadi wakil itu.

Tidak ada syarat apa pun kecuali memang syarat yang berlaku sebagai wali, yaitu muslim, akil, baligh, laki-laki, merdeka dan adil. Adil disini maksudnya bukan orang fasik yang mengerjakan dosa besar secara terang-terangan di muka publik.

Sedangkan apakah harus ada hubungan darah, maka hal itu bukan syarat untuk menjadi wakil dari wali yang asli. Jadi bisa saja siapapun menjadi wakil atas ayah kandung. 

Syarat yang paling utama adalah adanya penyerahan wewenang dari ayah kandung kepada dirinya. Tanpa adanya mandat ini, maka posisinya sebagai wakil tidak sah.

2. Ayah Kandung Wafat
Ketika seorang meninggal dunia, tentu saja dirinya tidak bisa menjadi wali atas anak gadisnya yang menikah. 

Kalau sebelum wafat almarhum sempat berpesan untuk menunjuk seseorang menjadi wakil atas dirinya, maka orang yang diwasiatkan itulah yang menjadi wali berikutnya.

Namun apabila tidak ada wasiat atau pesan apapun, maka yang menjadi wali adalah urutan wali yang berikutnya dari nasab sang ayah. 

Dan bila sama sekali tidak ada satu pun yang tersisa dari nasab ayah untuk menjadi wali, maka yang menjadi wali adalah kepala negara dan jajarannya, sebagai wakil dari pemerintahan yang sah.

3. Ayah Kandung Kehilangan Hak Kewaliannya
Seorang ayah kandung akan gugur wewenangnya sebagai wali apabila dia kehilangan syarat dasar dari seorang wali. Syarat dasar yang harus dimiliki oleh seorang wali nikah adalah  

a. Muslim
Bila ayah kandung bukan muslim, maka posisinya sebagai wali dengan sendirinya gugur. Dalam hal ini yang menjadi wali adalah urutan wali berikutnya dari nasab ayah, tentunya yang juga memenuhi syarat dasar seorang wali. Bila tidak ada satu pun, maka walinya adalah pemerintah yang sah.

b. Akil
Ayah kandung yang gila atau tidak waras tentu kehilangan haknya untuk menjadi wali. Sebab orang gila tidak paham apa yang sedang dilakukannya.

c. Baligh
Ayah kandung sebenarnya tidak mungkin belum baligh. Syarat ini berlaku untuk orang yang akan menjadi pengganti atau wakil dari ayah kandung.

d. Laki-laki
Syarat seorang wali nikah harus laki-laki. Dan seorang ayah sudah pasti laki-laki, setidaknya ketika menikahi istrinya dan bisa berhasil punya anak.
Namun seandainya sang ayah suatu hari melakukan operasi ganti kelamin dan dinyatakan sah sebagai perempuan secara syar'i, otomatis dia kehilangan hak dan wewenangnya sebagai wali.

e. Merdeka
Budak di masa lalu tidak berhak untuk menjadi wali atas anak gadisnya sendiri

f. Adil
Syarat ini sebenarnya agak sedikit menjadi khilaf para ulama, namun umumnya para ulama menyebutkan bahwa setidaknya seorang wali nikah itu tidak boleh seorang pendosa besar yang secara terang-terangan menentang agama Allah.

Urutan Wali Nikah
Adapun siapa saja orang yang termasuk dalam daftar urutan wali nikah, sudah pernah saya tuliskan artikelnya, silahkan lihat disini http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1142501333&title=urutan-wali-nikah

Wallahu a'lam bishshawab wasslamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.
rumahfiqih.com

Artikel Terkait

5 RUMAH ASWAJA: Peran Ayah Sebagai Wali Nikah Dapat Digantikan Assalaamu'alaikum wr. wb. Ustadz yang baik, mohon tulis nama saya dengan sebutan Ukhti saja untuk menghindari kesalahpahaman atau ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >