+ -

Pages

Rabu, 08 Juli 2015

Hukum Shalat Berjamaah

Shalat Jama’ah merupakan salah satu seruan agung dalam agama islam yang memiliki keutamaan yang besar dibandingkan shalat yang dilakukan sendirian. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama seluruh madzhab.

Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah ini mengenai hukum dari shalat jama’ah itu sendiri. Pada kesempatan kali ini akan kita bahas mengenai hukum shalat jama’ah bagi laki-laki yang tidak memiliki udzur apakah wajib ataukah tidak?

Dalam masalah ini akan kita temukan ternyata dalam satu madzhab pun para ulama tidak se-iya se-kata. Meskipun tentunya ada pendapat yang dirajihkan atau merepresentasikan pendapat madzhab tersebut berdasarkan tarjih dari seorang mujtahid tarjih dalam madzhab itu.

Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat, yaitu : 1. Fardhu ‘Ain, 2. Fardhu Kifayah dan 3. Sunnah Muakkadah. Para ulama yang berpendapat bahwa hukumnya fardhu ‘ain pun terbagi menjadi dua pendapat antara yang berpendapat bahwa shalat jama’ah adalah syarat sah shalat dan yang tidak berpendapat bahwa ia adalah syarat sah shalat.

Sebab Perbedaan Pendapat

Di antara sebab perbedaan pendapat dalam masalah ini dilatar belakangi oleh perbedaan penafsiran dan pemahaman dari nash-nash dalil yang ada. Yaitu :
  1. Hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda :
«والذي نفسي بيده لقد هممت أن آمر بحطب ليحتطب، ثم آمر بالصلاة فيؤذن لها؛ ثم آمر رجلا فيؤم الناس، ثم أخالف إلى رجال لا يشهدون الصلاة فأحرق عليهم بيوتهم»

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku sudah berniat untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk shalat jama’ah sehingga dikumandangkanlah adzan. Setelah itu aku perintahkan salah seorang dari mereka untuk menjadi imam, lalu aku aku akan mendatangi orang-orang yang tidak ikut shalat untuk aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

  1. Hadits dari Abu Darda’ dari Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bahwasanya beliau bersabda :
«ما من ثلاثة في قرية، أو بلد، لا تقام فيهم الصلاة إلا استحوذ عليهم الشيطان، فعليك بالجماعة، فإن الذئب يأكل القاصية»

“Tidaklah di sebuah desa atau negeri ada 3 orang atau lebih kemudian di sana tidak didirikan sholat (jama’ah) kecuali syaitan akan memberikan tipu dayanya. Maka berpegang teguhlah terhadap jama’ah, sebab musang itu makan seekor ternak yang terpisah dari kelompoknya.”(HR. Abu Dawud dengan derajat shahih)

  1. Hadits dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda :
«صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة»

“Shalat Jama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat pahala.” (HR. Malik dan Al-Bukhari)

Semua hadits di atas derajatnya shahih, sehingga yang menjadi permasalahan bukan dari sisi derajatnya namun dari sisi pemaknaan terhadap hadits tersebut.

Hadits pertama dan ke dua adalah dalil bagi yang berpendapat wajib, sebab ancaman Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- menunjukkan wajibnya sesuatu. Sedangkan hadits ke tiga menurut mereka bahwa kata (تفضل) atau lebih utama juga bisa berlaku di amalan yang sifatnya wajib, yaitu bahwa shalat jama’ah bagi yang tidak ada udzur itu lebih utama daripada shalat sendirian bagi yang udzur. Namun bagi mereka berdua sama-sama wajib melaksanakan shalat sesuai kondisi masing-masing.

Sedangkan yang berpendapat wajib kifayah berdalil dengan hadits ke dua, di mana di situ dijelaskan mengenai wajibnya diadakan jama’ah di suatu tempat minimal oleh tiga orang yang menggugurkan kewajiban yang lain. Dan hadits ke tiga menunjukkan bahwa itu tidak wajib ‘ain.

Sementara yang berpendapat sunnah muakkadah berdalil dengan hadits ke tiga, dimana makna (تفضل) sesuatu yang lebih utama itu menunjukkan sesuatu yang lebih dari kewajiban.
Adapun pendapat madzhab ke dua dan ke tiga terhadap hadits pertama adalah bahwa hadits pertama itu ditujukan kepada orang-orang munafiq yang ingin lari dari shalat jama’ah namun sebenarnya mereka juga tidak shalat sendiri di rumahnya. Hal ini berdasarkan riwayat lain yang ada.[1]

Pendapat Para Ulama dalam Masalah Ini

Berikut ini adalah rincian kutipan pendapat dari setiap madzhab beserta pendapat resmi yang diakui di madzhab tersebut.

1. Mazhab Al-Hanafiyah
Terdapat perbedaan pendapat dalam madzhab Al-Hanafiyah antara fardhu ‘ain dan sunnah muakkadah, berikut rinciannya :

Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menyebutkan khilaf, namun kemudian merajihkan pendapat wajib dan berpendapat bahwa makna sunnah muakkadah di sini sama dengan fardhu ‘ain :

(أما) الأول: فقد قال عامة مشايخنا: إنها واجبة، وذكر الكرخي أنها سنة.....
وليس هذا اختلافا في الحقيقة بل من حيث العبارة؛ لأن السنة المؤكدة، والواجب سواء، خصوصا ما كان من شعائر الإسلام ألا ترى أن الكرخي سماها سنة ثم فسرها بالواجب فقال: الجماعة سنة لا يرخص لأحد التأخر عنها إلا لعذر؟ وهو تفسير الواجب عند العامة.

”..Pembahasan pertama (dalam masalah shalat jama’ah) : Para Syaikh kami berkata bahwasanya shalat jama’ah itu wajib, namun Al-Karkhi berpendapat bahwasanya hukumnya sunnah.....
Namun sebenarnya perbedaan pendapat ini bukanlah perbedaan substansial tetapi hanya perbedaan redaksi saja. Sebab sunnah muakkadah dan wajib itu sebenarnya sama, terutama jika berkaitan dengan syi’ar-syi’ar islam. Coba perhatikanlah bagaimana Al-Karkhi menyebut bahwa hukumnya sunnah namun menafsiri makna sunnah ini dengan wajib.
Beliau berkata, “Shalat Jama’ah itu sunnah yang tidak ada rukhshah bagi orang yang meninggalkannya kecuali karena udzur.” Bukankah ini adalah makna dari wajib itu sendiri berdasarkan pendapat kebanyakan ulama?” [2]

 Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadirberpendapat sama dengan pendapat Al-Kasani :

وحاصل الخلاف في المسألة أنها فرض عين إلا من عذر، وهو قول أحمد وداود وعطاء وأبي ثور، وعن ابن مسعود وأبي موسى الأشعري وغيرهما: من سمع النداء ثم لم يجب فلا صلاة له، وقيل على الكفاية، وفي الغاية قال عامة مشايخنا: إنها واجبة، وفي المفيد أنها واجبة، وتسميتها سنة لوجوبها بالسنة.

“Kesimpulan dari perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah bahwa hukum (shalat jama’ah) itu fardhu ‘ain jika tidak ada udzur. Ini juga merupakan pendapat Ahmad, Dawud, Atha’ dan Abu Tsaur. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari serta sahabat yang lain bahwasanya mereka berpendapat “Siapa yang mendengar adzan kemudian tidak menjawabnya (dengan shalat jama’ah) maka shalatnya tidak sah.

Ada pendapat lain bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah. Di dalam kitab Al-Ghayah dikatakan oleh kebanyakan masyayikh kami bahwasanya hukumnya wajib, begitu juga di kitab Al-Mufid. Adapun pendapat yang mengatakan hukumnya sunnah maksudnya adalah dalil dari kewajiban shalat jama’ah ini berasal dari sunnah.”[3]

Badruddin Al-Aini (w. 855 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Binayah Syarah Al-Hidayah berpendapat sebaliknya, yaitu memilih sunnah muakkadah :

(الجماعة سنة مؤكدة)
ش: قال الاترازي: يعني سنة في قوة الواجب، وهي التي تسميها الفقهاء سنة الهدى، وهي التي أخذها هدى وتركها ضلال، وتاركها يستوجب إساءة وكراهية. وقال صاحب " الدراية ": تشبه الواجب في القوة وكذا قال الأكمل وكلاهما أخذا من السغناقي.
قلت: هذه التأويلات غير طائلة؛ لأن هذه مسألة مختلف فيها بين العلماء، وذهب المصنف إلى أنها سنة مؤكدة وهو قول الكرخي والقدوري ....

“(Shalat Jama’ah itu hukumnya sunnah muakkadah)
Al-Atraziy berkata, “Yang dimakasud yaitu sunnah yang memiliki kekuatan wajib, yang disebut oleh para fuqaha sebagai sunnatul huda. Maksudnya adalah orang yang melaksanakannya berarti mendapatkan petunjuk dan yang meninggalkannya sesat, orang yang meninggalkannya harus mendapatkan kebencian dan celaan.

Pengarang Ad-Dirayah juga berkata, “Menyerupai wajib dalam kekuatan hukumnya,” begitu juga Al-Akmal berpendapat demikian, beliau berdua mengambil pendapat ini dari As-Sighnaqi.

Aku katakan bahwa ta’wilan-ta’wilan tadi tidak ada faidahnya, karena permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah antara ulama. Dan sudah jelas pendapat dari pengarang kitab bahwasanya hukum shalat jama’ah adalah sunnah muakkadah, sebagaimana pendapat dari Al-Karkhi dan Al-Qaduri…”.[4]

2. Mazhab Al-Malikiyah
Dalam Madzhab Al-Malikiyah juga terjadi perbedaan pendapat antara Sunnah Muakkadah dan Wajib Kifayah, namun pendapat resmi madzhab adalah Sunnah Muakkadah. Berikut ini pemaparannya :

Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Adz-Dzakhirahmenuliskan sebagai berikut :

وفي الجواهر الجماعة سنة مؤكدة لا تجب إلا في الجمعة وحكي عن بعض أصحابنا وجوبها على الكفاية

“Di dalam Al-Jawahir disebutkan bahwa hukum shalat Jama’ah adalah sunnah muakkadah, tidak wajib kecuali untuk shalat Jum’at. Ada pendapat lain (yang lemah) dari ulama madzhab kami bahwa hukumnya fardhu kifayah.”[5]

Al-Hathab Ar-Ru’aini (w. 954 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnyaMawahibul Al-Jalil Syarh Mukhtashar Al-Khalil menuliskan sebagai berikut :

إن حكم صلاة الجماعة سنة، وهذا هو الذي عليه أكثر الشيوخ، وكثيرهم يقول: سنة مؤكدة، ونقل المازري عن بعض أصحابنا أنها فرض كفاية

”Hukum Shalat Jama’ah itu sunnah, ini adalah pendapat mayoritas masyayikh madzhab. Sebagian besar dari mereka berkata hukumnya sunnah muakkadah. Al-Marazi menukil dari beberapa ulama kami bahwa hukumnya fardhu kifayah.”[6]

Ad-Dardir (w. 1201 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab As-Syarh Al-Kabir menuliskan sebagai berikut :

(الجماعة) أي فعل الصلاة جماعة أي بإمام ومأموم (بفرض) ولو فائتة (غير جمعة) (سنة) مؤكدة

”Hukum shalat jama’ah yaitu mengerjakan shalat secara bersama-sama yang terdiri dari imam dan ma’mum dalam shalat fardhu (meskipun tertinggal) selain shalat jum’at hukumnya adalah sunnah muakkadah.”[7]

3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Sebagaimana madzhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, dalam madzhab As-Syafi’iyah juga terdapat perbedaan pendapat, bahkan ada 3 pendapat dalam madzhab ini, yaitu sunnah muakkadah, fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Namun pendapat resmi madzhab adalah fardhu kifayah, sebagaimana penjelasan berikut ini :

 As-Syirazi (w. 476 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Al-Muhaddzab fi Fiqhi Al-Imam As-Syafi’i menuliskan sebagai berikut :

اختلف أصحابنا في الجماعة، فقال أبو عباس وأبو إسحاق: هي فرض على الكفاية يجب إظهارها في الناس فإن امتنعوا من إظهارها قوتلوا عليها ....
ومن أصحابنا من قال هي سنة

”...Para ulama dalam madzhab kami berbeda pendapat dalam hukum shalat jama’ah. Abu Abbas dan Abu Ishaq berkata bahwasanya hukumnya fardhu kifayah yang wajib ditampakkan di masyarakat. Jika mereka menolak menampakknya maka mereka boleh diperangi karena hal ini....
Namun ada di antara ulama kami yang berkata bahwa hukumnya sunnah.”[8]

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnyaRaudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin menuliskan sebagai berikut :

.. فالجماعة فرض عين في الجمعة، وأما في غيرها من المكتوبات، ففيها أوجه. الأصح: أنها فرض كفاية. والثاني: سنة. والثالث: فرض عين قاله من أصحابنا، ابن المنذر، وابن خزيمة

“Shalat jama’ah itu hukumnya fardhu ‘ain dalam Shalat Jum’at. Adapun dalam shalat fardhu selain shalat jum’at maka terdapat perbedaan pendapat. Pendapat yang paling kuat adalah hukumnya fardhu kifayah. Pendapat kedua : Sunnah. Dan Pendapat Ketiga : Fardhu ‘Ain, sebagaimana berpendapat dari Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Khuzaimah.”[9]

 Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnyaAsnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut :

صلاة الجماعة في غير الجمعة بقرينة ما يأتي في بابها (فرض كفاية في أداء مكتوبات المقيمين) من الرجال الأحرار

“Shalat Jama’ah pada shalat fardhu selain shalat jum’at hukumnya fardhu kifayah bagi para penduduk lokal dari kalangan laki-laki yang merdeka. Dengan dalil-dalil yang akan kami sebutkan nanti pada pembahasannya,” [10]

4. Mazhab Al-Hanabilah
Berbeda dengan tiga madzhab lain, dalam madzhab Al-Hanabilah para ulama sepakat bahwa hukum shalat Jama’ah adalah fardhu ‘ain, hanya saja bukan merupakan syarat sahnya shalat. Berikut rincian pendapatnya :

 Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnyaAl-Mughni menyebutkan :

الجماعة واجبة للصلوات الخمس، روي نحو ذلك عن ابن مسعود، وأبي موسى. وبه قال عطاء، والأوزاعي، وأبو ثور، ولم يوجبها مالك، والثوري، وأبو حنيفة، والشافعي

“…Shalat jama’ah itu hukumnya wajib untuk shalat lima waktu sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari.

Ini juga merupakan pendapat dari Atha’, Al-Auza’i dan Abu Tsaur. Namun Imam Malik, At-Tsauri, Abu Hanifah dan As-Syafi’I berpendapat bahwa hukumnya tidak wajib”.[11]

 Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf juga berpendapat :

قوله (وهي واجبة للصلوات الخمس على الرجال لا بشرط) هذا المذهب بلا ريب، وعليه جماهير الأصحاب وقطع به كثير منهم ونص عليه.

”Perkataan penulis matan (Shalat Jama’ah itu wajib dalam shalat lima waktu bagi orang laki-laki, namun bukan merupakan syarat sahnya shalat.)

Ini merupakan pendapat resmi madzhab, dan pendapat dari mayoritas ulama madzhab. Mereka mengungkapkannya dengan redaksi yang jelas dan tekstual ...”[12]

 Al-Buhuti (w. 1051 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Kassyaf Al-Qina’ ’an Matni Al-Iqna’ menuliskan sebagai berikut :

(وهي) أي الجماعة (واجبة وجوب عين) لقوله تعالى {وإذا كنت فيهم فأقمت لهم الصلاة فلتقم طائفة منهم معك} [النساء: 102] فأمر بالجماعة حال الخوف، ففي غيره أولى يؤكده قوله تعالى {واركعوا مع الراكعين} [البقرة: 43]

”Shalat Jama’ah itu hukumnya wajib Ain. Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya :
”Jika kamu berada di antara mereka, maka dirikanlah shalat bersama sekelompok orang yang bersama kalian.” (An-Nisa’ : 102)

Dalam ayat ini kita diperintahkan untuk berjama’ah dalam kondisi takut, maka pada kondisi selain itu lebih utama kewajibannya. Ini dipertegas dengan firman Allah yang artinya :
”Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah : 43).” [13]

5. Mazhab Azh-Zhahiriyah
Pendapat madzhab Azh-Zhahiriyah hampir sama dengan pendapat madzhab Al-Hanabilah yaitu bahwasanya shalat jama’ah itu hukumnya wajib, namun dalam madzhab ini jama’ah merupakan syarat sahnya shalat.

Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :

ولا تجزئ صلاة فرض أحدا من الرجال -: إذا كان بحيث يسمع الأذان أن يصليها إلا في المسجد مع الإمام، فإن تعمد ترك ذلك بغير عذر بطلت صلاته، فإن كان بحيث لا يسمع الأذان ففرض عليه أن يصلي في جماعة مع واحد إليه فصاعدا ولا بد، فإن لم يفعل فلا صلاة له إلا أن لا يجد أحدا يصليها معه فيجزئه حينئذ، إلا من له عذر فيجزئه حينئذ التخلف عن الجماعة
”Shalat Fardhu itu tidak sah dilakukan oleh seorang laki-laki yang mendengar adzan kecuali jika dia shalat berjama’ah di masjid dengan imam. Jika orang tersebut sengaja meninggalkannya tanpa udzur maka batallah shalatnya.

Namun jika dia tidak mendengar adzan dia tetap wajib melaksanakan shalat berjama’ah dengan satu orang atau lebih, dan ini harus dilakukan. Jika tidak maka shalatnya tidak sah, kecuali jika dia tidak menemukan orang yang bisa diajak untuk berjama’ah maka ketika itu hukum shalatnya tetap sah. Begitu pula orang yang memiliki udzur maka dia boleh tidak mengikuti shalat jama’ah ketika itu.” [14]

Demikian perbedaan pendapat ulama dalam masalah hukm Shalat Jama’ah untuk shalat fardhu bagi laki-laki. Untuk hukum shalat jama’ah bagi perempuan insyaallah akan dibahas lebih lanjut di situs www.fiqihmuslimah.com. Semoga bermanfaat.

Wallahu’alam bisshawab.

Tajun Nashr
Kampussyariah.com

[1] Pembahasan hujjah lebih lengkap lihat di : Bidayah Al-Mujtahid jilid 1 hal. 150, Asnal Mathalib Syarh Raudhu At-Thalib, jilid 1 hal. 208 dan Al-Mughni, jilid 2 hal. 130
[2] Al-KasaniBadai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi Syara’i, jilid 1 hal. 155
[3] Ibnul HumamFathul Qadir, jilid 1 hal. 344
[4] Badruddin Al-AiniAl-Binayah Syarah Al-Hidayah , jilid 2 hal. 324
[5] Al-QarafiAdz-Dzakhirah, jilid 2 hal. 265
[6] Al-Hathab Ar-Ru’ainiMawahibu Jalil, jilid 2 hal. 81
[7] Ad-DardirAs-Syarh Al-Kabir, jilid 1 hal. 319 s.d. 320
[8] As-SyiraziAl-Muhaddzab fi Fiqhi Al-Imam As-Syafi’i, jilid 1, hal. 176
[9] An-NawawiRaudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin, jilid 1 hal. 339
[10] Zakaria Al-AnshariAsnal Mathalib Syarh Raudhu At-Thalib, jilid 1 hal. 208
[11] Ibnu QudamahAl-Mughni, jilid 2 hal. 130
[12] Al-MardawiAl-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 2 hal. 210
[13] Al-BuhutiKassyaf Al-Qina’ fi Matni Al-Iqna’, jilid 1 hal. 454
[14] Ibnu HazmAl-Muhalla bil Atsar, jilid 3 hal. 104


Artikel Terkait

5 RUMAH ASWAJA: Hukum Shalat Berjamaah Shalat Jama’ah merupakan salah satu seruan agung dalam agama islam yang memiliki keutamaan yang besar dibandingkan shalat yang dilakukan s...

1 komentar:

< >