Yang sering ramai diperbincangkan menjelang hari raya adalah
pelaksanaan shalat Ied. Sebagian ada yang memilih pergi ke masjid, sebagian
lagi pergi ke lapangan atau semisalnya. Dan sebenarnya manakah yang lebih utama?
Di masjid kah? Atau di luar masjid? Ternyata ulama berbeda pendapat dalam hal
ini.
Namun sebelum membahas perbedaan ulama, perlu diketahui
bahwa mereka sepakat bahwa shalat Ied boleh dilaksanakan di mana saja. Baik di
masjid atau di luar masjid. Dan juga mereka sepakat bagi penduduk kota Makkah
maka yang lebih baik adalah di Masjidil Haram. Bukan di lapangan atau di tanah
lapang lainya. Ataupun bukan di Masjidil Haram, namun masjidnya sempit, maka
lebih baik shalat Ied dolaksanakan di luar masjid. Namun apabila masjidnya
luas, maka lebih baik dilaksanakan dimana? Ulama berbeda pendapat dalam hal ini
sebagai berikut.
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Ibnul Humam (w. 681 H) salah
satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadirmenuliskan
sebagai berikut :
والسنة أن يخرج الإمام إلى الجبانة
Yang sunnah (dalam shalat Ied) adalah imam keluar (untuk
melakukan shalat) ke tanah lapang.[1]
Ibnu Abdin (w. 1252 H) salah satu ulama mazhab
Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar menuliskan
sebagai berikut :
)والخروج إليها) أي الجبانة لصلاة العيد (سنة وإن وسعهم المسجد الجامع)
هو الصحيح
Keluar ke tanah lapang untuk melakukan sholat Ied disana
adalah sunnah. Meskipun masjid jami luas (menampung jamaah). Dan pendapat ini
adalah pendapat yang benar.[2]
2. Mazhab Al-Malikiyah
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama
mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan
sebagai berikut :
ولا تصلى في المسجد إلا من ضرورة إلا أهل مكة فسنتهم صلاتها في المسجد
الحرام
Shalat Ied tidak dilaksanakan di masjid kecuali jika
dalam keadaan darurat. Namun bagi penduduk makkah maka yang disunnahkan adalah
shalat Ied di Masjidil Haram.[3]
Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu
ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Adz-
Dzakhirahmenuliskan
sebagai berikut :
وإقامتها بالصحراء أفضل إلا في المسجد بمكة لفضل المسجد الحرام
Pelaksanaan sholat Ied di tanah lapang lebih utama (dari
pada di masjid). Kecuali di Masjidil Haram, karena keutamaan Masjidil Haram.[4]
An-Nawawi (w. 676 H) salah satu
ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnyaMinhaju At-Thalibin wa
Umdatu Al-Muftiyyin menuliskan sebagai berikut :
وفعلهم بالمسجد أفضل
Dan pelaksanaan (sholat Ied) di dalam masjid lebih utama.[5]
Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) yang
juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnyaAsnal Mathalib Syarah
Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut.
(و) فعلها في (سائر المساجد إن اتسعت أو حصل مطر ونحوه) كثلج (أولى)
لشرفها ولسهولة الحضور إليها مع وسعها في الأول ومع العذر في الثاني فلو صلى في
الصحراء كان تاركا للأولى مع الكراهة في الثاني دون الأول
Pelaksanaan shalat Ied di masjid selain Masjidil Haram,
jika masjidnya luas atau dalam keadaan hujan dan semisalnya (turun salju), maka
lebih utama. Karena kemuliaan masjid dan mudahnya setiap orang untuk
menghadirinya. Dan juga jika masjid luas atau tedapat udzur (untuk melakukan shalat
di luar). Dan jika dilaksanakan di tanah lapang maka telah meninggalkan
keutamaan beserta karahah( makruh) pada keadaan kedua( jika terjadi hujan atau
semisalnya) , namun tidak demikian pada keadaan pertama(tidak shalat di masjid
padahal masjidnya luas).[6]
Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah
satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Al-Minhaj Al-Qawim menuliskan
sebagai berikut :
و يسن "فعلها في المسجد" لشرفه فإن صلى في الصحراء كره ويقف
نحو الحيض ببابه "إلا إذا ضاق" عن الناس فالسنة فعلها في الصحراء
Disunnahkan melaksanakan shalat Ied di dalam masjid,
karena kemuliaan masjid itu sendiri. Dan dimakruhkan melaksanakanya di tanah
lapang. (Ketika dilaksanakan di masji) maka wanita haidh dan yang semisalnya
cukup berdiri di depan pintu. Kecuali jika masjidnya sempit dan tidak bisa
menampung jamaah maka disunnahkan melaksanakanya di tanah lapang.[7]
Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari
kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan
sebagai berikut :
السنة أن يصلي العيد في المصلى
Yang sunnah dalam pelaksanaan sholat Ied adalah di
mushola.[8]
Dan yang dimaksud dengan mushola disini bukanlah surau atau
masjid kecil. Melainkan tempat shalat yang letaknya di luar masjid.
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu
ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati
Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :
(وتسن، في الصحراء) وهذا بلا نزاع إلا ما استثني على ما يأتي. (وتكره
في الجامع إلا من عذر) ، وهذا الصحيح من المذهب، وعليه أكثر الأصحاب
Dan disunnahkan (pelaksanaan shalat Ied) di tanah lapang.
Dalam hal ini tidak ada pertentangan, kecuali dalam keadan-keadaan tertentu.
Dan dimakruhkan (pelaksanaan shalat Ied) di masjid jami’ kecuali dengan udzur.
Dan ini adalah pendapat yang benar menurut madzhab. Dan juga pendapat mayoritas
ulama Hanabilah.[9]
Sebab Perbedaan Pendapat
Terdapat sebuah riwayat yang menunjukan
bahwa Rasulullah ﷺ
melaksanakan shalat Ied bukan di masjid. Melainkan keluar dan meninggalkan
masjidnya. Seperti yang dipaparkan olehIbnu Qudamah (w. 620 H) dalam Al-Mughni:
أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان يخرج إلى المصلى ويدع مسجده
Sesungguhnya dahulu Nabi ﷺ keluar menuju mushola
dan meninggalkan masjid (untuk melaksanakan shalat Ied).[10]
Namun apakah Rasulullah ﷺ meninggalkan masjid
memang karena sholat Ied lebih baik dilaksanakan di luar masjid. Ataukah ada
alasan lain? Maka dari sini lah perbedaan pendapat tersebut muncul. Dan An-Nawawi (w.
676 H) memiliki persepsi lain mengenai riwayat ini.
Seperti dalam kitabnya beliau menyebutkan:
بأن المسجد كان يضيق عنهم لكثرة الخارجين إليها فالأصح ترجيحها في
المسجد
(Rasulullah meninggalkan masjid) dikarenakan masjid pada
saat itu sempit untuk menampung banyaknya orang yang hadir untuk melaksanakan
shalat Ied. Maka yang paling pas adalah mendahulukan masjid sebagai tempat
dilaksanakanya shalat Ied (ketika masjidnya luas).[11]
Wallahu’alam.
Muhammad Aqil Haidar
Kampussyariah.com
[1] Ibnul Humam, Fathul
Qadir, jilid 2 hal. 72
[2] Ibnu Abdin, Radd
Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar, jilid 2 hal. 169
[3] Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi
fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1 hal. 263
[4] Al-Qarafi, Adz-Dzakhirah,
jilid 2 hal. 420
[5] An-Nawawi, Minhaju At-Thalibin
wa Umdatu Al-Muftiyyin, hal. 52
[6] Zakaria Al-Anshari, Asnal
Mathalib Syarh Raudhu At-Thalib, jilid 1 hal. 281
[7] Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhaj
Al-Qawim, hal. 190
[8] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid
2 hal. 275
[9] Al-Mardawi, Al-Inshaf fi
Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 2 hal. 426
[10] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid
2 hal. 276
[11] An-Nawawi, Majmu
al-Fatawa jilid 4 hal. 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar