Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya sering mendengar ungkapan bahwa kita tidak boleh loncat sana dan loncat sini dalam bermazhab. Sebab perbuatan itu dianggap sebagai talfiq yang diharamkan.
Pertanyaan saya adalah sebenarnya apa yang dimaksud dengan talfiq antar mazhab, apakah maksudnya kita mencampur-campur satu mazhab dengan yang lain, atau bagaimana? Dan apakah kita tidak boleh dalam menjalankan ibadah tercampur-campur antara pendapat beberapa mazhab?
Mohon penjelasan yang mudah dan mencerahkan, ustadz.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya sering mendengar ungkapan bahwa kita tidak boleh loncat sana dan loncat sini dalam bermazhab. Sebab perbuatan itu dianggap sebagai talfiq yang diharamkan.
Pertanyaan saya adalah sebenarnya apa yang dimaksud dengan talfiq antar mazhab, apakah maksudnya kita mencampur-campur satu mazhab dengan yang lain, atau bagaimana? Dan apakah kita tidak boleh dalam menjalankan ibadah tercampur-campur antara pendapat beberapa mazhab?
Mohon penjelasan yang mudah dan mencerahkan, ustadz.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Wallahu 'alam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Kajian tentang talfiq ini memang cukup menarik untuk dibahas, sebab saya sendiri pun kadang masih keliru dalam memahaminya. Oleh karena itu saya coba lakukan kajian yang agak lama dengan membandingkan pendapat para ulama yang kompeten di bidang muqaranatul madzahib(perbandingan mazhab).
Kebetulan dahulu saya kuliah di LIPIA yang memang jurusannya adalah perbandingan mazhab. Jadi memang sedikit ada dasar yang sejalan. Lalu memang ada banyak kajian kontemporer yang ditulis oleh para ulama ahli fiqih modern juga. Lalu hasilnya saya tuliskan dalam buku Seri Fiqih Kehidupan jilid pertama. Berikut adalah petikan dari isi buku tersebut yang berbicara tentang masalah Talfiq Antar Mazhab.
A. Pengertian
Kajian tentang talfiq ini memang cukup menarik untuk dibahas, sebab saya sendiri pun kadang masih keliru dalam memahaminya. Oleh karena itu saya coba lakukan kajian yang agak lama dengan membandingkan pendapat para ulama yang kompeten di bidang muqaranatul madzahib(perbandingan mazhab).
Kebetulan dahulu saya kuliah di LIPIA yang memang jurusannya adalah perbandingan mazhab. Jadi memang sedikit ada dasar yang sejalan. Lalu memang ada banyak kajian kontemporer yang ditulis oleh para ulama ahli fiqih modern juga. Lalu hasilnya saya tuliskan dalam buku Seri Fiqih Kehidupan jilid pertama. Berikut adalah petikan dari isi buku tersebut yang berbicara tentang masalah Talfiq Antar Mazhab.
A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, kata talfiq (تلْفِيق)
itu bermakna adh-dhammu (الضّمُّ) dan al-jam’u (الجمْع).
Dalam bahasa Indonesia keduanya dengan mudah kita maknai sebagai menggabungkan.
Dalam penggunakan bahasa Arab, ketika kita menyebut lafqu
at-tsaubi (لفق الثوب), bermakna menggabungkan dua ujung kain
dengan ujung kain yang lain dengan jahitan. Kata at-tilfaq (التِلْفاق)
bermakna dua pakaian yang digabungkan menjadi satu. Dan ungkapan talafuq
al-qaum (تلافُق القوم) bermakna bertemunya kaum.
Sehingga istilah talfiq antar mazhab bisa kita pahami secara
etimologis sebagai penggabungan beberapa mazhab.
2. Istilah
Namun secara terminologis, ternyata kita tidak menemukan
definisi talfiq ini dari para ulama fiqih klasik. Kitab-kitab fiqih dan ushul
fiqih klasik ternyata tidak mencantumkan pembahasan tentang talfiq ini.
Barangkali kalau kita analisa, di masa para ulama dan kitab-kitab itu ditulis,
fenomena talfiq ini belum terjadi.
Kita hanya menemukan terminologi talfiq dari ulama dan
kitab-kitab yang sudah agak jauh dari masa awal pertumbuhan ilmu fiqih. Dan
itupun ternyata para ulama agak berbeda pendapat ketika membuat definisi dari
at-talfiq baina al-mazahib ini. Maka kita perlu sedikit lebih menelurusi
tentang apa pandangan masing-masing ulama yang mewakili masing-masing pendapat
tentang hal ini, agar jangan sampai pembicaraan kita menjadi tidak objektif
alias tidak nyambung.
Syeikh Muhammad Said Albani (bukan Nashiruddin Al-Al-Albani)
di dalam kitab Umdatu At-Tahqiq fi At-Taqlid wa At-Talfiq mendefinisikan bahwa
talfiq adalah :
الإِتْيانُ بِكيْفِيّةٍ لاَ يَقُولُ بِهاَ مُجْتَهِد
Mendatangkan suatu metode yang tidak pernah dikatakan oleh
para mujtahid
Sebagian ulama yang lain seringkali mendefinisikan talfiq
dengan tatabu’ ar-rukhash :
تَتَبُّعُ الرُّخَصِ عَنِ الهَـوَى
Mencari keringanan karena hawa nafsu
Yang dimaksud dengan mencari keringanan maksudnya adalah
keringan hukum atau fatwa, di antara sekian banyak pendapat para ulama.
Pendefinisian ini memang tidak terlalu salah, namun
sebenarnya mencari keringanan dengan motivasi dorongan hawa nafsu hanyalah
salah satu bentuk atau sebagian dari talfiq. Karena boleh jadi seorang mujtahid
mencari keringanan dalam hukum dengan menggunakan dalil yang sekiranya
meringankan kesimpulan hukum, namun motivasinya tidak selalu harus karena hawa
nafsu. Ada motivasi-motivasi yang lain yang bisa diterima secara syariah dalam
hal talfiq ini.
Definisi yang mungkin bisa dijadikan pegangan untuk
sementara ini adalah :
التّقْلِيدُ المُركّبُ مِنْ مَذْهَبَيْنِ فَأكْثَر فيِ عِبادةٍ أوْ
مُعاملةٍ واحِدةٍ
Taqlid yang dibentuk dari dua mazhab atau lebih menjadi satu
bentuk ibadah atau muamalah.
Definisi ini sudah jauh lebih lengkap, karena mencakup semua
unsur dalam talfiq.RIncian dari definisi ini adalah sebagai berikut :
a. Taqlid
Pada hakikatnya melakukan talfiq adalah melakukan taqlid.
Namun kalau biasanya seseorang bertaqlid kepada satu mazhab saja, dalam hal ini
orang yang melakukan talfiq itu bertaqlid kepada dua atau lebih dari mazhab
fiqih.
Orang yang melakukan talfiq pada hakikatnya tidak melakukan
ijtihad, karena ijtihad adalah sebuah pekerjaan yang besar, membutuhkan
keahlian yang tidak sedikit, membutuhkan waktu, tenaga dan riset yang panjang,
serta hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang ekspert di bidang ijtihad.
Seorang yang melakukan talfiq hanya melakukan taqlid, tidak
lebih dari itu. Dia tidak menciptakan fatwa mazhab sendiri, melainkan
menggabung-gabungkan fatwa-fatwa dari berbagai mazhab.
Lawan dari melakukan taqlid adalah melakukan ijtihad, yang
hanya dibenarkan bila seseorang sudah punya ilmu dan kapasitas tertentu yang
diakui secara paten sebagai mujtahid.
Ibarat pekerjaan mengobati orang sakit, meski semua orang
boleh saja mengusahakan penyembuhan lewat berbagai macam cara, namun secara
paten bahwa yang boleh melakukan proses penyembuhan secara profesional hanyalah
mereka yang berstatus sebagai dokter dan sudah mendapat izin praktek.
Tujuannya tentu untuk menjaga standar mutu pengobatan dan
penyembuhan itu sendiri, agar tidak terjadi kesalahan yang fatal, dengan
menyerahkan suatu pekerjaan kepada mereka yang bukan ahlinya.
b. Yang Dibentuk Dari Dua Mazhab Atau Lebih
Sumber talfiq adalah pendapat-pendapat yang ada di dalam
beberapa mazhab, minimal ada dua mazhab yang pendapat-pendapatnya diambil lalu
mengalami remake ulang.
Dalam bahasa teknologi, talfiq mirip dengan melakukan
kanibalisme antara spare part dari suatu mesin. Harddisk komputer yang sudah
rusak, mungkin datanya masih bisa diselamatkan, dan teknisnya dengan melakukan
kanibalisasi dari beberapa harddisk menjadi satu.
Hanya saja talfiq mazhab dengan kanibalisasi spare-part
tetap berbeda. Sebab mazhab yang dijadikan sumber talfiq tidak dalam kondisi
rusak, malah sebalinya, justru mazhab itu dalam keadaan yang paling baik.
Sedangkan kanibalisasi spare part biasanya dilakukan ketika suatu benda telah
mengalami kerusakan, bahkan sudah dinyatakan mati total.
Namun oleh tukang reparasi, benda-benda yang sudah mati itu
dibongkar, lalu diakali sedemikian rupa, dipreteli spare partnya, siapa tahu
ada bagian tertentu yang masih bisa dipakai. Keberhasilan melakukan
kanibalisasi ini juga tidak pernah bisa dijamin. Kalau lagi beruntung, tentu
ada manfaatnya. Tetapi seringkali kanibalisasi tidak ada gunanya.
c. Dalam Masalah Ibadah atau Muamalat
Talfiq hanya dilakukan di wilayah praktek fiqih yang
merupakan wilayah ibadah atau muamalah fiqihiyah, bukan di wilayah aqidah dan
prinsip fundamental agama.
Dalam hal ini, setiap satu jenis ibadah tertentu, pasti
memiliki rukun, syarat dan ketentuan. Dan kenyataannya, setiap mazhab
merumuskan rukun dari suatu ibadah dengan ketentuan yang berbeda-beda.
B. Batasan Talfiq
Dengan melihat definisi di atas, maka sebuah talfiq itu
adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang selama masih berada di dalam
batas-batas tertentu. Bila berada di luar batas itu, meski pun ada kemiripan
namun tindakan itu tidak dianggap sebagai talfiq. Dan batas-batas itu adalah :
1. Bukan Masalah Qath'i
Apa yang ditalfiq itu adalah masalah-masalah yang bersifat
ijtihadiyah dalam urusan masalah fiqihiyah. Suatu masalah yang dimungkinkan
para ulama memang berbeda-beda dalam hasil ijtihad mereka, karena tidak ada
dalil atau nash yang qathi secara dilalah.
Maka kita tidak mengenal istilah talfiq dalam masalah
i’tiqadiyah atau wilayah yang masuk ke dalam urusan fundamental aqidah. Talfiq
juga tidak dilakukan dalam masalah yang sudah qath’i baik secara tsubut atau
pun secara dilalah. Misalnya masalah yang sudah menjadi ijma’ para ulama,
seperti bahwa shalat lima waktu itu hukumnya fardhu ‘ain, tidak ada istilah
talfiq di dalamnya.
2. Bukan Pindah Mazhab
Talfiq itu mencampur, mengaduk dan mengoplos beberapa
pendapat fiqih dari beberapa mazhab. Maka seorang yang pindah mazhab atau
berganti mazhab, baik untuk sementara atau untuk seterusnya, tidak dikatakan
melakukan talfiq.
Sebagai contoh sederhana, seseorang yang bermazhab
Asy-syafi’iyah ketika pergi haji ke Baitullah untuk sementara mengganti
mazhabnya menjadi mazhab Al-Hanafiyah, khususnya dalam hal sentuhan kulit
antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa pelapis. Di dalam mazhab
Asy-Syafi’iyah, sentuhan itu membatalkan wudhu, sementara di dalam mazhab
Al-Hanafiyah sentuhan itu tidak membatalkan wudhu’.
Maka orang ini tidak dikatakan melakukan talfiq, karena dia
tidak melakukan pencampuran mazhab, tetapi dia berpindah mazhab, meski hanya
bersifat sementara dan hanya pada satu masalah saja.
Ketika Al-Imam Asy-Syafi’ie rahimahullah menciptakan mazhab
baru, setelah sebelumnya beliau telah menciptakan mazhab yang lama, maka bila
ada seorang pemeluk mazhab Asy-Syafi’yah berpindah ke mazhab Asy-Syafi’iyah
yang baru, dia tidak dikatakan melakukan talfiq. Karena dia tidak mencampur
mazhab lama dengan mazhab baru untuk digabungkan menjadi satu.
3. Dalam Satu Masalah
Talfiq itu berarti mencampur dari dua sumber atau lebih,
namun pencampuran itu dilakukan di dalam satu masalah ibadah atau muamalah.
Maka orang yang shalatnya ikut mazhab Asy-syafi’iyah tapi
puasanya menganut mazhab Al-Malikiyah, tidak dikatakan mencampur mazhab. Sebab
pencampuran itu terjadi pada dua masalah yang berbeda dan terpisah serta tidak
saling berpengaruh.
Talfiq hanya terjadi manakala pencampuan itu dilakukan di
dalam satu masalah yang sama, atau dua masalah tetapi saling terkait.
C. Contoh Talfiq
Untuk lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan talqif
antara mazhab sebagaimana batasan dan syarat di atas, tidak ada salahnya
Penulis memberikan beberapa contoh yang lebih implementatif dari keseharian
kita dalam beribadah atau bermuamalah.
1. Masalah Wudhu
Dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, asalkan sebagian kepala atau
beberapa helai rambut telah basah, maka hal itu sudah dianggap sah dalam
mengusap kepala sebagai rukun wudhu. Sedangkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah,
yang disebut mengusap kepala itu haruslah seluruh kepala.
Sementara, di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, seorang laki-laki
yang menyentuh kulit perempuan ajnabiyah (bukan mahram) tanpa alas atau
pelapis, dianggap telah batal wudhu’nya. Sedangkan mazhab Al-Hanabilah tidak
demikian, karena batalnya wudhu hanya bila terjadi hubungan suami istri.
Bentuk talfiq dalam hal ini adalah ketika seseorang dalam
wudhu mengambil sebagian mazhab Asy-Syafi’iyah dan sebagian lagi dari mazhab
Al-Hanabilah. Misalnya, dia mengatakan bahwa cukuplah mengusap beberapa helai
rambut sebagai bentuk mengusap kepala (mazhab Asy-Syafi’iyah), namun
berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan ajnabiyah tidak
membatalkan wudhu’ (mazhab Al-Hanafiyah).
Seandainya bentuk wudhu yang baru diciptakan ini disodorkan
kepada masing-masing mazhab, yaitu kepada mazhab Asy-Syafi’iyah dan mazhab
Al-Hanafiyah, pastilah kedua mengatakan bahwa wudhu hasil talfiq itu tidak bisa
diterima. Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan tidak diterima, karena orang itu
telah batal menyentuh kulit wanita tanpa alas, sedang mazhab Al-Hanafiyah
mengatakan wudhu itu tidak sah, karena tidak seluruh kepala kena air.
2. Masalah Rukun Nikah
Dalam mazhab Al-Hanafiyah, sebuah pernikahan tidak
mensyaratkan harus ada wali, khususnya bagi wanita yang sudah pernah menikah
sebelumnya.
Dalam mazhab Al-Malilkiyah, sebuah pernikahan sudah dianggap
sah meskipun tidak ada saksi-saksi.
Dan dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, seandainya
seorang istri ridha tidak diberi mahar, maka pernikahan tetap sah hukumnya.
Ketiga pendapat yang berbeda itu kalau ditalfiq, akan
menjadi sebuah model pernikahan baru tapi pernikahan ‘jadi-jadian’. Dan sudah
bisa dipastikan bahwa semua mazhab pasti akan menolak model pernikahan seperti
ini, karena dalam sudut pandang masing-masing mazhab, pernikahan itu tidak sah.
Pernikahan model begini para prinsipnya sama saja dengan
sebuah perzinaan, namun dengan mengatas-namakan pernikahan. Dan ini adalah
salah satu contoh talfiq yang unik.
3. Masalah Talak
Istri yang ditalak untuk yang ketiga kalinya tentu tidak
bisa langsung dinikahi kembali, karena harus menikah terlebih dahulu dengan
orang lain. Namun dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, bila wanita menikah
dengan seorang anak laki-laki yang baru berumur 9 tahun dan sempat melakukan
hubungan suami istri, maka hubungan suami istri itu sah sebagai hal yang
menghalalkan.
Dan bila digabung dengan pendapat mazhab Al-Hanabilah, bila
anak kecil itu mentalaknya, maka wanita itu tidak membutuhkan masa iddah.
Sehingga suaminya yang pertama sudah bisa menikahinya kembali. Penggabungan dua
hal ini disebut dengan talfiq.
4. Masalah Mabit di Muzdalifah
Dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, jamaah haji wajib
bermalam di Muzdalifah, dalam arti turun dari unta atau kendaraan, hingga
terbit fajar, tidak ubahnya seperti wuquf di padang Arafah. Ibadah ini
posisinya adalah kewajiban dalam haji namun bukan rukun. Sehingga kalau
seseorang meninggalkan bermalam di Muzdalifah itu itu, dia diharuskan membayar
denda (dam), yaitu menyembelih seekor kambing.
Sedangkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, mabit di Muzdalifah
itu hukumnya sunnah, bukan wajib apalagi rukun.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh kongkrit tentang talfiq
antar mazhab yang kita saksikan di tengah masyarakat.
D. Bukan Termasuk Talfik
Di atas sudah diterangkan bahwa talfiq itu punya batasan dan
definisi yang khas, sehingga bisa dibedakan dengan mudah terhadap hal-hal yang
mirip dengannya, namun tetap bukan termasuk talfiq.
Tindakan-tindakan yang menyerupai talfiq, namun kalau
diteliti lebih dalam ternyata tetap bukan talfiq antara lain adalah mura’at
al-khilaf, ihdats qaul tsalis dan tatabbu’ ar-rukhash.
1. Mura’at Al-Khilaf
Mura’at Al-Khilaf (مُراعاة
الخِلاف) bermakna menghindari khilaf. Maksudnya, seseorang mengambil
pendapat yang berbeda dari mazhab lain, dengan latar belakang untuk menghindari
perbedaan pendapat atau khilaf.
Contohnya dalam kasus nikah syighar (نكاح
الشغار). Nikah Syighar yaitu seorang lelaki mengawinkan putrinya
kepada orang lain dengan syarat orang itu mengawinkannya dengan putrinya,
dengan demikian kedua pernikahan itu menjadi tanpa mahar antara keduanya,
karena harta mahar itu akan kembali lagi.
Para ulama umumnya mengatakan bahwa nikah syighar ini
hukumnya haram, dan pernikahan itu tidak sah hukumnya, namun ada
pengecualiannya, yaitu mazhab Al-Hanafiyah memandangnya sebagai pernikahan yang
sah.
Contoh mura’aat al-khilaf dalam hal ini adalah seseorang
berpendapat bahwa nikah syighar tidak sah, namun ketika anak dari hasil
pernikahan itu meminta harta waris dari ayahnya, dia berpendapat untuk
memberikan hak warisan itu, dengan menggunakan pendapat mazhab Al-Hanafiyah.
Padahal seharusnya kalau menggunakan logika bahwa nikah
syighar itu tidak sah, anak yang lahir dari pernikahan itu tidak berhak
mendapatkan harta warisan dari ayahnya, karena statusnya bukan ayah yang sah
secara hukum.
Praktek ini mirip dengan talfiq, namun ternyata bukan talfiq
antar mazhab.
2. Ihdats Qaul Tsalis
Makna ihdats qaulin tsalis (إحداث
قول ثالث) adalah memproduksi pendapat yang ketiga. Maksudnya, ketika ada
dua pendapat yang berbeda, seseorang tidak mengikuti pendapat yang pertama,
juga tidak mengikuti pendapat yang kedua. Namun justru dia menciptakan lagi
sebuah pendapat yang benar-benar baru, yang kita sebut pendapat yang ketiga.
Bedanya dengan talfiq antar mazhab, bahwa pendapat yang
dibuat adalah hasil dari penggabungan unsur-unsur dari pendapat pertama dan
kedua. Sedangkan ihdats qaul tsalist ini tidak menggabungkan kedua unsur dari
pendapat pertama dan kedua, melainkan benar-benar memproduksi dari awal
pendapat yang benar-benar baru, dan bukan hasil kanibalisme dari dua pendapat
sebelumnya.
Contohnya dalam masalah hukum waris. Ada dua pendapat yang
berbeda tentang hukum pembagian harta waris, bila ahli warisnya adalah kakek
dan saudara-saudari almarhum. Pendapat pertama adalah pendapat mazhab
Al-Hanafiyah dan sebagian mazhab Al-Hanabilah. Menurut mereka, keberadaan kakek
akan menghijab (menutup) hak para saudara almarhum dari penerimaan harta waris.
Pendapat kedua, merupakan pendapat jumhur ulama. Intinya, kakek tidak menghijab
saudara, tetapi keduanya berbagai dalam harta warisan.
Datanglah pendapat yang ketiga, yaitu apa yang diyakini oleh
Ibnu Hazm. Pendapatnya adalah benar-benar pendapat yang baru, sama sekali tidak
ada kesamaan dengan pendapat pertama atau kedua. Pendapat ketiga versi Ibnu
Hazm adalah bahwa kedudukan kakek menjadi gugur karena adanya saudara-saudari
alharhum.
3. Tatabbu’ Ar-Rukhash
Secara bahasa, istilah rukhash (رخصة)
adalah bentuk jama’ dari rukhshah, yang bermakna keringanan atau kemudahan.
Sedangkan secara istilah, definisi rukhshah menurut Ibnu Subki adalah :
الحُكْمُ الشّرْعِيّ إِنْ تغيّر إِلى سُهُولةٍ لِعُذْرٍ مع قِيامِ
السّببِ لِلْحُكْمِ الأصْلِي
Hukum syar’i yang berubah menjadi lebih mudah karena adanya
suatu udzur, dengan menegakkan sebab pada hukum yang asli
Rukhshah atau keringanan dalam hukum itu sendiri
berbeda-beda hukumnya. Ada yang wajib diikuti, ada juga yang mandubah dan ada
yang mubah.
Yang wajib diikuti misalnya keringanan untuk memakan bangkai
dalam keadaan kelaparan berat yang beresiko kepada kematian. Sedangkan yang
hukumnya mandubah (sunnah) misalnya keringanan untuk mengqashar shalat dalam
perjalanan. Dan yang hukumnya mubah, misalnya keringanan untuk menjama’ shalat
selain di Arafah dan Mina.
Tetapi secara umum, lepas dari apakah menjalankan atau
mengikuti keringanan itu wajib, mandub atau mubah, Allah SWT suka bila
keringanan yang diberikannya itu dimanfaatkan oleh hamba-Nya. Dalam sebuah
hadits disebutkan :
إِنّ الله يُحِبُّ أنْ تُؤْتى رُخصُهُ كما يكْرهُ أنْ تُؤْتى
معْصِيّتُهُ
Sesungguhnya Allah suka bila keringanannya dilakukan,
sebagaimana Dia benci bila maksiat kepada-Nya dilakukan.(HR. Ahmad)
Tatabbu’ ar-rukhash (تتبّع
الرخص) bermakna mencari atau mengejar terus keringanan-keringanan
yang ada dalam hukum.
Sampai disini dulu kajian tentang apa dan bagaimana talfiq,
insya Allah pada kesempatan lain kita akan bahas tentang hukumnya, apakah
dibolehkan atau tidak.
Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar