+ -

Pages

Senin, 06 Juli 2015

Penjelasan Tentang Talfiq Antar Mazhab

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Saya sering mendengar ungkapan bahwa kita tidak boleh loncat sana dan loncat sini dalam bermazhab. Sebab perbuatan itu dianggap sebagai talfiq yang diharamkan.

Pertanyaan saya adalah sebenarnya apa yang dimaksud dengan talfiq antar mazhab, apakah maksudnya kita mencampur-campur satu mazhab dengan yang lain, atau bagaimana? Dan apakah kita tidak boleh dalam menjalankan ibadah tercampur-campur antara pendapat beberapa mazhab?
Mohon penjelasan yang mudah dan mencerahkan, ustadz.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Wallahu 'alam bishshawab, 

wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kajian tentang talfiq ini memang cukup menarik untuk dibahas, sebab saya sendiri pun kadang masih keliru dalam memahaminya. Oleh karena itu saya coba lakukan kajian yang agak lama dengan membandingkan pendapat para ulama yang kompeten di bidang muqaranatul madzahib(perbandingan mazhab).

Kebetulan dahulu saya kuliah di LIPIA yang memang jurusannya adalah perbandingan mazhab. Jadi memang sedikit ada dasar yang sejalan. Lalu memang ada banyak kajian kontemporer yang ditulis oleh para ulama ahli fiqih modern juga. Lalu hasilnya saya tuliskan dalam buku Seri Fiqih Kehidupan jilid pertama. Berikut adalah petikan dari isi buku tersebut yang berbicara tentang masalah Talfiq Antar Mazhab.

A. Pengertian

1. Bahasa
Secara bahasa, kata talfiq (تلْفِيق) itu bermakna adh-dhammu (الضّمُّ) dan al-jam’u (الجمْع). Dalam bahasa Indonesia keduanya dengan mudah kita maknai sebagai menggabungkan.
Dalam penggunakan bahasa Arab, ketika kita menyebut lafqu at-tsaubi (لفق الثوب), bermakna menggabungkan dua ujung kain dengan ujung kain yang lain dengan jahitan. Kata at-tilfaq (التِلْفاق) bermakna dua pakaian yang digabungkan menjadi satu. Dan ungkapan talafuq al-qaum (تلافُق القوم) bermakna bertemunya kaum.

Sehingga istilah talfiq antar mazhab bisa kita pahami secara etimologis sebagai penggabungan beberapa mazhab.

2. Istilah
Namun secara terminologis, ternyata kita tidak menemukan definisi talfiq ini dari para ulama fiqih klasik. Kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih klasik ternyata tidak mencantumkan pembahasan tentang talfiq ini. Barangkali kalau kita analisa, di masa para ulama dan kitab-kitab itu ditulis, fenomena talfiq ini belum terjadi.

Kita hanya menemukan terminologi talfiq dari ulama dan kitab-kitab yang sudah agak jauh dari masa awal pertumbuhan ilmu fiqih. Dan itupun ternyata para ulama agak berbeda pendapat ketika membuat definisi dari at-talfiq baina al-mazahib ini. Maka kita perlu sedikit lebih menelurusi tentang apa pandangan masing-masing ulama yang mewakili masing-masing pendapat tentang hal ini, agar jangan sampai pembicaraan kita menjadi tidak objektif alias tidak nyambung.

Syeikh Muhammad Said Albani (bukan Nashiruddin Al-Al-Albani) di dalam kitab Umdatu At-Tahqiq fi At-Taqlid wa At-Talfiq mendefinisikan bahwa talfiq adalah :

الإِتْيانُ بِكيْفِيّةٍ لاَ يَقُولُ بِهاَ مُجْتَهِد

Mendatangkan suatu metode yang tidak pernah dikatakan oleh para mujtahid
Sebagian ulama yang lain seringkali mendefinisikan talfiq dengan tatabu’ ar-rukhash :

تَتَبُّعُ الرُّخَصِ عَنِ الهَـوَى

Mencari keringanan karena hawa nafsu

Yang dimaksud dengan mencari keringanan maksudnya adalah keringan hukum atau fatwa, di antara sekian banyak pendapat para ulama.

Pendefinisian ini memang tidak terlalu salah, namun sebenarnya mencari keringanan dengan motivasi dorongan hawa nafsu hanyalah salah satu bentuk atau sebagian dari talfiq. Karena boleh jadi seorang mujtahid mencari keringanan dalam hukum dengan menggunakan dalil yang sekiranya meringankan kesimpulan hukum, namun motivasinya tidak selalu harus karena hawa nafsu. Ada motivasi-motivasi yang lain yang bisa diterima secara syariah dalam hal talfiq ini.

Definisi yang mungkin bisa dijadikan pegangan untuk sementara ini adalah :

التّقْلِيدُ المُركّبُ مِنْ مَذْهَبَيْنِ فَأكْثَر فيِ عِبادةٍ أوْ مُعاملةٍ واحِدةٍ

Taqlid yang dibentuk dari dua mazhab atau lebih menjadi satu bentuk ibadah atau muamalah.

Definisi ini sudah jauh lebih lengkap, karena mencakup semua unsur dalam talfiq.RIncian dari definisi ini adalah sebagai berikut :

a. Taqlid
Pada hakikatnya melakukan talfiq adalah melakukan taqlid. Namun kalau biasanya seseorang bertaqlid kepada satu mazhab saja, dalam hal ini orang yang melakukan talfiq itu bertaqlid kepada dua atau lebih dari mazhab fiqih.

Orang yang melakukan talfiq pada hakikatnya tidak melakukan ijtihad, karena ijtihad adalah sebuah pekerjaan yang besar, membutuhkan keahlian yang tidak sedikit, membutuhkan waktu, tenaga dan riset yang panjang, serta hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang ekspert di bidang ijtihad.

Seorang yang melakukan talfiq hanya melakukan taqlid, tidak lebih dari itu. Dia tidak menciptakan fatwa mazhab sendiri, melainkan menggabung-gabungkan fatwa-fatwa dari berbagai mazhab.

Lawan dari melakukan taqlid adalah melakukan ijtihad, yang hanya dibenarkan bila seseorang sudah punya ilmu dan kapasitas tertentu yang diakui secara paten sebagai mujtahid.

Ibarat pekerjaan mengobati orang sakit, meski semua orang boleh saja mengusahakan penyembuhan lewat berbagai macam cara, namun secara paten bahwa yang boleh melakukan proses penyembuhan secara profesional hanyalah mereka yang berstatus sebagai dokter dan sudah mendapat izin praktek.

Tujuannya tentu untuk menjaga standar mutu pengobatan dan penyembuhan itu sendiri, agar tidak terjadi kesalahan yang fatal, dengan menyerahkan suatu pekerjaan kepada mereka yang bukan ahlinya.

b. Yang Dibentuk Dari Dua Mazhab Atau Lebih
Sumber talfiq adalah pendapat-pendapat yang ada di dalam beberapa mazhab, minimal ada dua mazhab yang pendapat-pendapatnya diambil lalu mengalami remake ulang.
Dalam bahasa teknologi, talfiq mirip dengan melakukan kanibalisme antara spare part dari suatu mesin. Harddisk komputer yang sudah rusak, mungkin datanya masih bisa diselamatkan, dan teknisnya dengan melakukan kanibalisasi dari beberapa harddisk menjadi satu.

Hanya saja talfiq mazhab dengan kanibalisasi spare-part tetap berbeda. Sebab mazhab yang dijadikan sumber talfiq tidak dalam kondisi rusak, malah sebalinya, justru mazhab itu dalam keadaan yang paling baik. Sedangkan kanibalisasi spare part biasanya dilakukan ketika suatu benda telah mengalami kerusakan, bahkan sudah dinyatakan mati total.
Namun oleh tukang reparasi, benda-benda yang sudah mati itu dibongkar, lalu diakali sedemikian rupa, dipreteli spare partnya, siapa tahu ada bagian tertentu yang masih bisa dipakai. Keberhasilan melakukan kanibalisasi ini juga tidak pernah bisa dijamin. Kalau lagi beruntung, tentu ada manfaatnya. Tetapi seringkali kanibalisasi tidak ada gunanya.

c. Dalam Masalah Ibadah atau Muamalat
Talfiq hanya dilakukan di wilayah praktek fiqih yang merupakan wilayah ibadah atau muamalah fiqihiyah, bukan di wilayah aqidah dan prinsip fundamental agama.

Dalam hal ini, setiap satu jenis ibadah tertentu, pasti memiliki rukun, syarat dan ketentuan. Dan kenyataannya, setiap mazhab merumuskan rukun dari suatu ibadah dengan ketentuan yang berbeda-beda.

B. Batasan Talfiq
Dengan melihat definisi di atas, maka sebuah talfiq itu adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang selama masih berada di dalam batas-batas tertentu. Bila berada di luar batas itu, meski pun ada kemiripan namun tindakan itu tidak dianggap sebagai talfiq. Dan batas-batas itu adalah :

1. Bukan Masalah Qath'i
Apa yang ditalfiq itu adalah masalah-masalah yang bersifat ijtihadiyah dalam urusan masalah fiqihiyah. Suatu masalah yang dimungkinkan para ulama memang berbeda-beda dalam hasil ijtihad mereka, karena tidak ada dalil atau nash yang qathi secara dilalah.
Maka kita tidak mengenal istilah talfiq dalam masalah i’tiqadiyah atau wilayah yang masuk ke dalam urusan fundamental aqidah. Talfiq juga tidak dilakukan dalam masalah yang sudah qath’i baik secara tsubut atau pun secara dilalah. Misalnya masalah yang sudah menjadi ijma’ para ulama, seperti bahwa shalat lima waktu itu hukumnya fardhu ‘ain, tidak ada istilah talfiq di dalamnya.

2. Bukan Pindah Mazhab
Talfiq itu mencampur, mengaduk dan mengoplos beberapa pendapat fiqih dari beberapa mazhab. Maka seorang yang pindah mazhab atau berganti mazhab, baik untuk sementara atau untuk seterusnya, tidak dikatakan melakukan talfiq.

Sebagai contoh sederhana, seseorang yang bermazhab Asy-syafi’iyah ketika pergi haji ke Baitullah untuk sementara mengganti mazhabnya menjadi mazhab Al-Hanafiyah, khususnya dalam hal sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa pelapis. Di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, sentuhan itu membatalkan wudhu, sementara di dalam mazhab Al-Hanafiyah sentuhan itu tidak membatalkan wudhu’.
Maka orang ini tidak dikatakan melakukan talfiq, karena dia tidak melakukan pencampuran mazhab, tetapi dia berpindah mazhab, meski hanya bersifat sementara dan hanya pada satu masalah saja.

Ketika Al-Imam Asy-Syafi’ie rahimahullah menciptakan mazhab baru, setelah sebelumnya beliau telah menciptakan mazhab yang lama, maka bila ada seorang pemeluk mazhab Asy-Syafi’yah berpindah ke mazhab Asy-Syafi’iyah yang baru, dia tidak dikatakan melakukan talfiq. Karena dia tidak mencampur mazhab lama dengan mazhab baru untuk digabungkan menjadi satu.

3. Dalam Satu Masalah
Talfiq itu berarti mencampur dari dua sumber atau lebih, namun pencampuran itu dilakukan di dalam satu masalah ibadah atau muamalah.

Maka orang yang shalatnya ikut mazhab Asy-syafi’iyah tapi puasanya menganut mazhab Al-Malikiyah, tidak dikatakan mencampur mazhab. Sebab pencampuran itu terjadi pada dua masalah yang berbeda dan terpisah serta tidak saling berpengaruh.

Talfiq hanya terjadi manakala pencampuan itu dilakukan di dalam satu masalah yang sama, atau dua masalah tetapi saling terkait.

C. Contoh Talfiq

Untuk lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan talqif antara mazhab sebagaimana batasan dan syarat di atas, tidak ada salahnya Penulis memberikan beberapa contoh yang lebih implementatif dari keseharian kita dalam beribadah atau bermuamalah.

1. Masalah Wudhu
Dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, asalkan sebagian kepala atau beberapa helai rambut telah basah, maka hal itu sudah dianggap sah dalam mengusap kepala sebagai rukun wudhu. Sedangkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, yang disebut mengusap kepala itu haruslah seluruh kepala.

Sementara, di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, seorang laki-laki yang menyentuh kulit perempuan ajnabiyah (bukan mahram) tanpa alas atau pelapis, dianggap telah batal wudhu’nya. Sedangkan mazhab Al-Hanabilah tidak demikian, karena batalnya wudhu hanya bila terjadi hubungan suami istri.

Bentuk talfiq dalam hal ini adalah ketika seseorang dalam wudhu mengambil sebagian mazhab Asy-Syafi’iyah dan sebagian lagi dari mazhab Al-Hanabilah. Misalnya, dia mengatakan bahwa cukuplah mengusap beberapa helai rambut sebagai bentuk mengusap kepala (mazhab Asy-Syafi’iyah), namun berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan ajnabiyah tidak membatalkan wudhu’ (mazhab Al-Hanafiyah).

Seandainya bentuk wudhu yang baru diciptakan ini disodorkan kepada masing-masing mazhab, yaitu kepada mazhab Asy-Syafi’iyah dan mazhab Al-Hanafiyah, pastilah kedua mengatakan bahwa wudhu hasil talfiq itu tidak bisa diterima. Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan tidak diterima, karena orang itu telah batal menyentuh kulit wanita tanpa alas, sedang mazhab Al-Hanafiyah mengatakan wudhu itu tidak sah, karena tidak seluruh kepala kena air.

2. Masalah Rukun Nikah
Dalam mazhab Al-Hanafiyah, sebuah pernikahan tidak mensyaratkan harus ada wali, khususnya bagi wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya.
Dalam mazhab Al-Malilkiyah, sebuah pernikahan sudah dianggap sah meskipun tidak ada saksi-saksi.

Dan dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, seandainya seorang istri ridha tidak diberi mahar, maka pernikahan tetap sah hukumnya.
Ketiga pendapat yang berbeda itu kalau ditalfiq, akan menjadi sebuah model pernikahan baru tapi pernikahan ‘jadi-jadian’. Dan sudah bisa dipastikan bahwa semua mazhab pasti akan menolak model pernikahan seperti ini, karena dalam sudut pandang masing-masing mazhab, pernikahan itu tidak sah.

Pernikahan model begini para prinsipnya sama saja dengan sebuah perzinaan, namun dengan mengatas-namakan pernikahan. Dan ini adalah salah satu contoh talfiq yang unik.

3. Masalah Talak
Istri yang ditalak untuk yang ketiga kalinya tentu tidak bisa langsung dinikahi kembali, karena harus menikah terlebih dahulu dengan orang lain. Namun dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, bila wanita menikah dengan seorang anak laki-laki yang baru berumur 9 tahun dan sempat melakukan hubungan suami istri, maka hubungan suami istri itu sah sebagai hal yang menghalalkan.

Dan bila digabung dengan pendapat mazhab Al-Hanabilah, bila anak kecil itu mentalaknya, maka wanita itu tidak membutuhkan masa iddah. Sehingga suaminya yang pertama sudah bisa menikahinya kembali. Penggabungan dua hal ini disebut dengan talfiq.

4. Masalah Mabit di Muzdalifah
Dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, jamaah haji wajib bermalam di Muzdalifah, dalam arti turun dari unta atau kendaraan, hingga terbit fajar, tidak ubahnya seperti wuquf di padang Arafah. Ibadah ini posisinya adalah kewajiban dalam haji namun bukan rukun. Sehingga kalau seseorang meninggalkan bermalam di Muzdalifah itu itu, dia diharuskan membayar denda (dam), yaitu menyembelih seekor kambing.
Sedangkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, mabit di Muzdalifah itu hukumnya sunnah, bukan wajib apalagi rukun.

Dan masih banyak lagi contoh-contoh kongkrit tentang talfiq antar mazhab yang kita saksikan di tengah masyarakat.

D. Bukan Termasuk Talfik

Di atas sudah diterangkan bahwa talfiq itu punya batasan dan definisi yang khas, sehingga bisa dibedakan dengan mudah terhadap hal-hal yang mirip dengannya, namun tetap bukan termasuk talfiq.

Tindakan-tindakan yang menyerupai talfiq, namun kalau diteliti lebih dalam ternyata tetap bukan talfiq antara lain adalah mura’at al-khilaf, ihdats qaul tsalis dan tatabbu’ ar-rukhash.

1. Mura’at Al-Khilaf
Mura’at Al-Khilaf (مُراعاة الخِلاف) bermakna menghindari khilaf. Maksudnya, seseorang mengambil pendapat yang berbeda dari mazhab lain, dengan latar belakang untuk menghindari perbedaan pendapat atau khilaf.

Contohnya dalam kasus nikah syighar (نكاح الشغار). Nikah Syighar yaitu seorang lelaki mengawinkan putrinya kepada orang lain dengan syarat orang itu mengawinkannya dengan putrinya, dengan demikian kedua pernikahan itu menjadi tanpa mahar antara keduanya, karena harta mahar itu akan kembali lagi.

Para ulama umumnya mengatakan bahwa nikah syighar ini hukumnya haram, dan pernikahan itu tidak sah hukumnya, namun ada pengecualiannya, yaitu mazhab Al-Hanafiyah memandangnya sebagai pernikahan yang sah.

Contoh mura’aat al-khilaf dalam hal ini adalah seseorang berpendapat bahwa nikah syighar tidak sah, namun ketika anak dari hasil pernikahan itu meminta harta waris dari ayahnya, dia berpendapat untuk memberikan hak warisan itu, dengan menggunakan pendapat mazhab Al-Hanafiyah.

Padahal seharusnya kalau menggunakan logika bahwa nikah syighar itu tidak sah, anak yang lahir dari pernikahan itu tidak berhak mendapatkan harta warisan dari ayahnya, karena statusnya bukan ayah yang sah secara hukum.
Praktek ini mirip dengan talfiq, namun ternyata bukan talfiq antar mazhab.

2. Ihdats Qaul Tsalis
Makna ihdats qaulin tsalis (إحداث قول ثالث) adalah memproduksi pendapat yang ketiga. Maksudnya, ketika ada dua pendapat yang berbeda, seseorang tidak mengikuti pendapat yang pertama, juga tidak mengikuti pendapat yang kedua. Namun justru dia menciptakan lagi sebuah pendapat yang benar-benar baru, yang kita sebut pendapat yang ketiga.

Bedanya dengan talfiq antar mazhab, bahwa pendapat yang dibuat adalah hasil dari penggabungan unsur-unsur dari pendapat pertama dan kedua. Sedangkan ihdats qaul tsalist ini tidak menggabungkan kedua unsur dari pendapat pertama dan kedua, melainkan benar-benar memproduksi dari awal pendapat yang benar-benar baru, dan bukan hasil kanibalisme dari dua pendapat sebelumnya.

Contohnya dalam masalah hukum waris. Ada dua pendapat yang berbeda tentang hukum pembagian harta waris, bila ahli warisnya adalah kakek dan saudara-saudari almarhum. Pendapat pertama adalah pendapat mazhab Al-Hanafiyah dan sebagian mazhab Al-Hanabilah. Menurut mereka, keberadaan kakek akan menghijab (menutup) hak para saudara almarhum dari penerimaan harta waris. Pendapat kedua, merupakan pendapat jumhur ulama. Intinya, kakek tidak menghijab saudara, tetapi keduanya berbagai dalam harta warisan.

Datanglah pendapat yang ketiga, yaitu apa yang diyakini oleh Ibnu Hazm. Pendapatnya adalah benar-benar pendapat yang baru, sama sekali tidak ada kesamaan dengan pendapat pertama atau kedua. Pendapat ketiga versi Ibnu Hazm adalah bahwa kedudukan kakek menjadi gugur karena adanya saudara-saudari alharhum.

3. Tatabbu’ Ar-Rukhash
Secara bahasa, istilah rukhash (رخصة) adalah bentuk jama’ dari rukhshah, yang bermakna keringanan atau kemudahan. Sedangkan secara istilah, definisi rukhshah menurut Ibnu Subki adalah :

الحُكْمُ الشّرْعِيّ إِنْ تغيّر إِلى سُهُولةٍ لِعُذْرٍ مع قِيامِ السّببِ لِلْحُكْمِ الأصْلِي

Hukum syar’i yang berubah menjadi lebih mudah karena adanya suatu udzur, dengan menegakkan sebab pada hukum yang asli

Rukhshah atau keringanan dalam hukum itu sendiri berbeda-beda hukumnya. Ada yang wajib diikuti, ada juga yang mandubah dan ada yang mubah.

Yang wajib diikuti misalnya keringanan untuk memakan bangkai dalam keadaan kelaparan berat yang beresiko kepada kematian. Sedangkan yang hukumnya mandubah (sunnah) misalnya keringanan untuk mengqashar shalat dalam perjalanan. Dan yang hukumnya mubah, misalnya keringanan untuk menjama’ shalat selain di Arafah dan Mina.
Tetapi secara umum, lepas dari apakah menjalankan atau mengikuti keringanan itu wajib, mandub atau mubah, Allah SWT suka bila keringanan yang diberikannya itu dimanfaatkan oleh hamba-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan :

إِنّ الله يُحِبُّ أنْ تُؤْتى رُخصُهُ كما يكْرهُ أنْ تُؤْتى معْصِيّتُهُ

Sesungguhnya Allah suka bila keringanannya dilakukan, sebagaimana Dia benci bila maksiat kepada-Nya dilakukan.(HR. Ahmad)

Tatabbu’ ar-rukhash (تتبّع الرخص) bermakna mencari atau mengejar terus keringanan-keringanan yang ada dalam hukum. 

Sampai disini dulu kajian tentang apa dan bagaimana talfiq, insya Allah pada kesempatan lain kita akan bahas tentang hukumnya, apakah dibolehkan atau tidak.
Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.,MA

Rumahfiqih.com 

Artikel Terkait

5 RUMAH ASWAJA: Penjelasan Tentang Talfiq Antar Mazhab Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya sering mendengar ungkapan bahwa kita tidak boleh loncat sana dan loncat sini dala...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >