assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh
ustadz, membaca artikel kemarin soal menggerakan jari dalam tahiyat,
itu menuntun saya untuk bertanya masalah yang juga sering diperdebatkan yang
masih erat kaitannya dengan hal tersebut, yakni menambahkan kata sayyidina
sebelum nama Nabi dalam tasyahhud kita. sebenarnya apakah boleh menambah kaata
tersebut? kalau boleh dalilnya apa? dan mohon juga disertai fatwa dari ulama
lintas madzhab. mudah-mudahn jawaban yang antumberikan bisa jadi pencerahan
buat kami. syukran.
'alaikumslaam warohmatullah wabarokatuh
Wajib Mengagungkan Nabi s.a.w
Semua ulama sejagad raya ini sepakat bahwa orang muslim
wajib hukumnya memberikan penghormatan yang setingg-tingginya kepada Nabi
Muhammad s.a.w. tanpa terkecuali. Siapapun dia, apapun jabatannya, setinggi
apapun gelar akademiknya, ia wajib mengagungkan Nabi Muhammad s.a.w.. melihat
bahwa memang beliau adalah tuannya para penghuni surga, guru kebaikan bagi
seluruh umat di dunia.
Dan salah satu bentuk pengagungkan itu adalah dengan
menambahkan kalimat“sayyidina” (tuan kami) ketika menyebut nama
beliau s.a.w.. Dan ini bukan asal jadi, akan tetapi justru Allah s.w.t. yang
memerintahkan serta mengajarkan kita untuk
membudayakantaswid (menambahkan
sayyidina) ketika menyebut Nabi Muhammad s.a.w., banyak ayat yang memberikan
menunjukkan itu.
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ
بَعْضًا
(63. an-Nur) janganlah kamu jadikan panggilan Rasul
diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ
صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ
لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
(2. al-Hujurat) Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu
terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan
kamu tidak menyadari.
Lebih dari itu, dalam al-Qur’an pun, Allah s.w.t. selalu
memanggil Nabi Muhammad s.a.w. tidak dengan namanya “Yaa Muhammad”, akan
tetapi selalu dengan sebutan Nabi, “yaa Ayyuhan-Nabiy!”. Atau juga
dengan sebutan Rasul, “Yaa Ayyuhar-rasuul!”. Dan ini tidak hanya
muncul sekali atau dua kali dalam al-Aur’an, tapi berkali-kali, sebagai bukti
keagungan beliau s.a.w., dan juga pengajaran dari Allah s.w.t. kepada umat-Nya
untuk tidak memanggil seenaknya kepada Nabi mereka.
Tekstualis vs Kontekstualis
Dalam hal menambhakan kalimat sayyidina dalam
tasyahhud yang memang sering menjadi perdebatan, sejatinya bersumbu pada
masalah mengamalkan hadits secara zahir teksnya atau tidak. karena memang
jelas, kelompok yang melarang itu dan sangat patuh dengan teks syariah
mengamalkan apa adanya sebagaimana yang ada dalam teks syariah. Nabi s.a.w.
ketika ditanya tentang bagaimana bershalawat kepada beliau dalam shalat, beliau
menjawab:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
“allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala Aali Muhammad!” (Muttafaq
‘alayh)
Ini teks zahirnya. Akan tetapi kelompok yang membolehkan,
bahkan menganjurkan dan mengakategorikan sebagai sebuah kesunahan menambahkan
kata sayyidina sebelum nama Muhammad s.a.w., memandang hadits tersebut tidak
secara tekstual. Jawaban Nabi s.a.w. tentang bagaimana bershalawat kepadanya
yang tidak disebutkan di dalamnya “sayyidina”sama sekali tidak
berarti bahwa kita terlarang untuk mengucapkan itu.
Sheikh Yusuf al-Nabhani dalam kitabnya “Sa’aadatu
al-Darain fi al-Shalaati ‘ala sayyidi al-Kaunain” mengutip
pernyatan Imam al-Suyuthi tentang hikmah di balik Nabi s.a.w. tidak menyebutkan “sayyidina”, sebelum
nama beliau. Di halaman 18, disebutkan bahwa tidak menyebutkannya Nabi s.a.w.
kata “sayyidina” ketika itu karena memang Nabi s.a.w. ingin
mengajarkan umatnya agar tidak sombong, karena itu beliau menyebut namanya
dengan tanpa gelar “tuan”.
Lebih mudahnya untuk memahami kalimat al-Suyuthi itu seperti
ini, ketika ada seseorang ditanya oleh orang lain “siapa namanya?”, apakah ia
akan menjawab lengkap dengan gelarnya juga, seperti “nama saya Dr. Ahmad,
Lc,. MA”. Tentu orang yang mendengar akan timbul kesan dalam otaknya
bahwa orang tersebut sombong dan suka pamer. Yang ia butuhkan adalah namanya
saja, tidak perlu disebutkan dengan gelarnya sekaligus. Cukup ia sebutkan “nama
saya Ahmad”, itu sudah sangat cukup sekali.
Dan itu yang “tersirat” dalam teks yang Nabi s.a.w. ajarkan
kepada umatnya. Ini sejalan dengan akhlak dan kesopanan yang memang beliau
adalah orang yang selalu mengajarkan umat untuk menjauhi hal-hal tersebut. Jadi
teks hadits itu justru harus dipahami tidak secara tekstual saja, karena itu
mestinya sebagai umat Nabi s.a.w. sungguh sangat tidak elok menyebut nama
beliau dengan tanpa diawali penghormatan.
“Sayyidina” Dalam Pandangan Ulama Madzhab
Dalam banyak litarsi kitab-kitab fiqih, kita juga menemukan
anjuran ini, yakni menambah kata sayyidina dalam setiap shalawat yang
kita ucapkan dalam tsyahhud. Bahkan secara resmi madzhab Imam
Abu Hanifah dan juga madzhab Imam al-Syafi’i memasukkan hal tersebut sebagai
bagian dari perkara-perkara sunnah yang ada fadhilah jika kita melakukannya.
Imam al-Hashfaki dari kalangan al-Hanafiyah dalam kitabnya al-Durr
al-Mukhtarryang dicetak bersama Hasyiyah Ibn ‘Abdin (Radd
al-Muhtar), disebutkan di dalamnya:
وَنُدِبَ السِّيَادَةُ لِأَنَّ زِيَادَةَ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِعِ
عَيْنُ سُلُوكِ الْأَدَبِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ
“menambahkan “sayyidina” itu disunnahkan, karena menambah
khabar yang nyata (Nabi adalah Tuan) tersebut adalah sebuah adab, dan itu lebih
baik dikerjakan daripada ditinggal” (al-Durr al-Mukhtar /
al-Hashfakiy 1/513)
Dalam banyak kitab-kitab madzhab al-Syafi’iyyah pun
disebutkan hal yang sama bahwa memang menambah kata sayyidina dalam
tasyahhud merupakan sesuatu yang baik. Contohnya yang disebutkan oleh Imam
al-Ramli dalam kitabnya Tuhfatul-Muhtaj;
وَالْأَفْضَلُ الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ ... لِأَنَّ فِيهِ
الْإِتْيَانَ بِمَا أُمِرْنَا بِهِ وَزِيَادَةُ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِعِ الَّذِي
هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ
“yang afdhal adalah menambahkan “sayyidina”, … karena itu
adalah bagian dari mengerjakan apa yang diperintahkan kepada kita, dan
menambahkan khabar nyata (Nabi adalam tuan) tersebut adalah adab yang mana
afdhal dikerjakan dari pada ditinggalkan” (al-Ramli –
TuhfatulMuhtaj 2/86)
Dalam kitabnya Mawahib al-Jalil syarhu Mukhtashar
al-Khalil (1/21), ulama madzhab fiqih Maliki abad ke 10;
Syamsud-Din al-Ru’ainiy juga menegaskan anjuran menambah kata sayyidina dalam
shalawat, baik di dalam atau di luar shalat. Begitu juga al-Nafrawi, ulama
Azhar abad ke 11 yang bermadzhab fiqih Maliki dalam kitabnya al-Fawakih
al-Diwani (2/359) juga menegaskan hal yang sama, bahwa menambah
kata sayyidina dalam shalat dan di luar shalat merupakan
sebuah anjuran yang sayang kalau ditinggalkan; karena memang itu adalah bentuk
penghotmatan dan pengagungan kita sebagai umat Nabi s.a.w. kepada beliau.
Sama-Sama Mengagungkan Nabi s.a.w.
Kesimpulannya bahwa menambah kata sayyidina dalam
shalawat di shalat atau juga di luar shalat merupakan sebuah adab dan kesopanan
dari umat ke Nabinya s.a.w., artinya karena ini memang adab dan bukan sebuah
kewajiban, meninggalkannya pun menjadi tidak masalah.
Dan yang terpenting dalam hal apakah boleh menambah kata sayyidina atau
tidak dalam shalat, sejatinya kedua kelompok, baik yang menganjurkan dan
melarang sudah benar-benar melakukan hal yang memang layaknya dilakukan oleh
uamtnya Nabi s.a.w. yaitu mengagungkan beliau.
Kelompok yang menganjurkan manambah kata sayyidina telah
jelas mengagungkan Nabi s.a.w., dengan memanggilnya memakai sebutan sayyid, dan
mereka telah menunaikan apa yang mereka diperintah untuk itu, memberikan hormat
setingg-tingginya kepada Nabi s.a.w.
Dan kelompok yang melarang menambahkan kata sayyidina, sejatinya
juga mereka telah mengagungkan Nabi s.a.w., Ya! Mereka telah mengagungkan Nabi
s.a.w. dengan melaksanakan dan mengamalkan Hadits Nabi s.a.w. sesuai teks yang
diriwayatkan tanpa ada tambahan sayyidina.
Jadi, karena memang keduanya sudah berada pada jalan yang
tepat, tentu tidak perlu lagi ada yang saling menyalahkan dan merasa benar
sendiri dengan ritualnya masing-masing. Merasa paling benar dan menyalahkan
orang lain dalam masalah khilafiyah, jelas perbuatan yang tidak
dewasa dan jauh dari akhlaq para salaf.
Wallahu a’lam
Ahmad Zarkasih, Lc
Kampussyariah.com
Kampussyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar