Assamualaikum wb. Wr
Kepada ustadz yang kami hormati, tanpa mengurangi rasa
hormat kepada para Imam Mazhab atas betapa besar jasa-jasa beliau untuk Islam
dan seluruh umat Islam. Pertanyaan saya menyangkut mazhab-mazhab dalam Islam.
Dalam pembahasan berbagai masalah kita sering berpatokan
pada mazhab-mazhab misalnya Imam As-Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam
Maliki. Diketahui bahwa para Imam mazhab yang paling terakhir hidup adalah
Mazhab Al-Hanabilah yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani (164
– 241 H).
Dari sumber lain saya dapat informasi bahwa hadits-hadits
lengkap terkumpul dan terbukukan setelah abad ke 4 H (Kitab Bukhari, Muslim,
Ibnu Majah dll)
Dalam penentuan hukum tentu para Imam berpatokan pada
hadits, apakah kita masih berpatokan pada mazhab-mazhab tersebut sementara ada
kemungkinan bahwa ada banyak hadits-hadits yang terkumpulkan setelah wafatnya
para Imam mazhab tersebut?
Terima Kasih
Wassalamu'alikum wr. Wb.
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Mungkin ada hal-hal yang perlu diluruskan terlebih dahulu
sebelum kita masuk kepada jawaban pertanyaan anda. Hal itu terkait dengan peran
dan fungsi dari para imam mazhab dan para ahli hadits.
Banyak orang keliru berpikir bahwa menetapkan kesimpulan
hukum-hukum agama itu semata-mata hanya ditentukan berdasarkan shahih tidaknya
suatu hadits. Segampang itu saja yang ada di pikiran kebanyakan kita. Kalau suatu
hadits diteliti dan hasilnya shahih, dianggapnya sudah selesai semua urusan.
Hukum suatu masalah cuma disandarkan kepada shahih tidaknya suatu hadits. Ini
adalah kesalahan fatal jilid satu.
Lalu ada kesalahan fatal jilid dua, yaitu ada anggapan keliru
seolah-olah tokoh yang tahu shahih tidaknya suatu hadits hanya sebatas Bukhari
dan Muslim saja. Sedangkan para imam mazhab dituduh sebagai tokoh-tokoh jahil,
pandir dan bodoh dalam urusan keshahihan hadits.
Sehingga banyak sekali orang yang gagal paham bahwa
pekerjaan para imam mazhab ini sangat bergantung kepada pekerjaan para ahli
hadits yang hidup jauh sesudahnya beberapa abad kemudian. Apalagi dibumbui
dengan ungkapan : Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku".
Kesannya apa pun yang telah diistimbath oleh para imam
mazhab akan batal demi hukum ketika ada orang -entah siapa dia datang dari
mana- sekonyong-konyong bilang bahwa haditsnya tidak shahih.
Koreksi Atas Kesalahan Dua Jilid
Maka dua jilid kesalahan fatal itu perlu diluruskan, agar
jangan terjadi gagal paham yang terlanjur melanda dan berakibat fatal.
A. Para Imam Mazhab Adalah Guru Besar Hadits
Para imam mazhab itu bukan hanya sekedar berijtihad dan
mengistimbath suatu hukum. Itu memang pekerjaan puncak mereka. Tetapi debut
mereka diawali justru dari posisi sebagai ahli hadits, bahkan sebagai guru
besar ilmu hadits di zamannya.
Timbulnya pemisahan antara ahli fiqih dan ahli hadits itu
sebuah cara berpikir yang menyimpang. Sebab tidak mungkin seseorang bisa
menjadi ahli fiqih kecuali dia harus menjadi ahli hadits terlebih dahulu.
Memang bisa saja ada ahli hadits yang derajatnya tidak sampai kepada mujtahid
fiqih. Tetapi mustahil ada ahli fiqih yang bukan ahli hadits.
Kita buat perumpamaan sederhana. Setiap orang yang hamil
pasti dia adalah wanita. Karena tidak mungkin laki-laki bisa hamil. Walaupun
tidak semua wanita bisa hamil, tetapi yang pasti orang hamil itu pasti wanita.
Jangan salah paham dalam memahami kalau sebenarnya para imam
mazhab yang empat itu pun juga termasuk pakar-pakar hadits di zamannya. Bahkan
mereka sudah eksis jauh di zamannya jauh sebelum era Bukhari dan Muslim lahir
ke muka bumi.
1. Al-Imam Malik : Guru Besar Hadits
Kita ambil contoh misalnya Al-Imam Malik di Madinah. Beliau
adalah akar hadits terbesar yang pernah ada dalam sejarah. Jauh sebelum ada
kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, umat Islam mengenal kitab hadits
Al-Muwaththa' karya beliau.
Di dalam ilmu hadits kita mengenal istilah silsilah
dzahabiyah (mata rantai emas) periwayatan, yaitu apabila suatu hadits
diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar. Al-Bukhari mengatakan
tidak ada jalur periwayatan yang lebih shahih dari jalur ini.
2. Al-Imam Asy-Syafi'i : Guru Besar Hadits
Demikian juga dengan Al-Imam Asy-Syafi'i, beliau juga
seorang muhaddits tulen yang ilmu haditsnya jauh melebihi siapa pun di masanya.
Kalau mau tahu suatu hadits itu shahih apa tidak, jangan tanya siapa-siapa
tetapi tanyakan saja kepada Asy-Syafi'i, karena beliau memang imam hadits.
Orang-orang yang kurang ilmunya seringkali dengan lugunya
menuduh bahwa beliau gemar memakai hadits yang tidak shahih. Tentu saja ini
adalah tuduhan yang datang dari orang-orang yang tidak paham sejarah. Justru
Al-Imam Asy-Syafi'i adalah orang yang sangat berhati-hati dalam menggunakan
hadits. Beliau justru penjaga gawang yang paling penting agar jangan sampai ada
orang berdalil dengan menggunakan hadits yang lemah.
Malah tidak masuk akal kalau sampai ada yang menuduh bahwa
beliau gemar hadits lemah. Beliau tidak akan mengguatkan suatu hadits yang
dhaif atau lemah untuk membangun pendapatnya. Kalau pun ada hadits yang beliau
gunakan dan dituduhkan sebagai hadits yang lemah, sesungguhnya tidak demikian
duduk perkaranya. Boleh jadi beliau punya jalur dan sanad khusus yang tidak
dimiliki oleh para muhaddits lainnya.
3. Al-Imam Ahmad : Guru Besar Hadits
Al-Imam Ahmad sudah kepalang dikenal sebagai guru besar ilmu
hadits. Bahkan ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa sejatinya beliau
memang pakar hadits ketimbang mujtahid mutlak dalam mazhabnya.
B. Kualitas Periwayatan Hadits : Semakin Jauh Semakin
Melemah Kualitasnya
Awalnya umat Islam selama tiga abad lamanya belum mengenal
istilah hadits shahih, hasan atau dhaif. Karena istilah-istilah itu dan juga
segudang istilah lainnya baru diciptakan pada abad-abad berikutnya.
Tetapi bukan berarti keshahihan hadits baru ditemukan ketika
Bukhari dan Muslim lahir. Keshahihan hadits sudah diteliti oleh para ulama jauh
sebelumnya. Hanya memang belum dikodifikasi dan belum dibukukan dan belum
dibakukan secara masif.
Di antara para perintis ilmu penelitian keshahihan suatu
hadits malah Al-Imam Asy-Syafi'i. Bahkan beliau punya satu buku khusus yang
membahas bagaimana cara yang harus dilakukan apabila ada beberapa hadits yang
sama-sama shahih tetapi kontennya terkesan saling bertentangan. Judul bukunya
adalah Ikhtilaful Hadits.
Perlu dipahami dengan benar bahwa keakuratan suatu hadits
itu banyak sekali dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas perawi. Dari sisi
kuantitas atau jumlah perawi, semakin panjang rangkaiannya, maka semakin besar
kemungikinan terjadi kesalahan dalam periwayatan. Kalau ada dua ahli hadits
yang hidup di dua abad yang berbeda, yang satu hidup di abad kedua dan yang
satu hidup di abad ketiga, maka secara nalar dan logika paling dasar, kita akan
mengatakan yang punya potensi keakuratan lebih kuat adalah ahli hadits yang
hidup di abad kedua.
Mengapa?
Karena jarak hidupnya lebih dekat dengan sumber aslinya.
Jumlah perawi dalam rangkaian sanadnya bisa dipastikan lebih sedikit. Masuk
akal kalau kita bilang kemungkinan kesalahannya lebih kecil ketimbang ahli
hadits yang hidup di abad-abad berikutnya.
Ketika Al-Imam Malik atau Al-Imam Asy-syafi'i meriwayatkan
suatu hadits, jumlah perawinya pasti lebih sedikit ketimbang hadits yang
diriwayatkan para pakar hadits di zaman Bukhari. As-Syafi'i adalah murid
Al-Imam Malik. Al-Imam Malik mengambil hadits dari Nafi'. Nafi' adalah maula
(pembantu) Ibnu Umar. Dan Ibnu Umar adalah shahabat nabi radhiyallahuanhu.
Dari Malik ke Rasululullah cuma melewati dua orang saja.
Bandingkan dengan ahli hadits di zaman Bukhari dan kawan-kawan yang hidup tiga abad kemudian. Kalau mereka meriwayatkan hadits, maka jumlah rangakaian sanadnya pasti jauh lebih panjang dan jumlah perawinya pasti lebih banyak, jalur birokrasinya terlalu panjang, orangnya terlalu banyak dan rantainya terlalu bertele-tele. Hadits itu secara estafet berpindah-pindah dari perawi pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan seterusnya. Kita bisa bayangkan setidaknya periwayatan model begini akan jauh lebih rentan dan lebih mudah terjadi kekeliruan.
Maka kalau ada yang berpikiran bahwa hadits itu lebih shahih kalau ditakhrij oleh para ahli hadits di abad ketiga ketimbang abad kdua, tentu harus diluruskan. Apalagi kalau yang meneliti hidupnya sudah berada di abad ke-15 hijriyah, tentu jauh lebih tidak akurat lagi. Al-Imam Malik lahir tahun 80 hijriyah, berarti baru 70 sebelumnya Rasulullah SAW wafat dan Imam Malik sudah lahir di Madinah.
Bagaimana mungkin kita mengambil hadits dari orang-orang yang datang belakangan, sementara hadits dari orang-orang yang hidupnya lebih dekat ke zaman Rasulullah SAW malah kita tinggalkan? Tentu tidak masuk akal, bukan?
Bandingkan dengan ahli hadits di zaman Bukhari dan kawan-kawan yang hidup tiga abad kemudian. Kalau mereka meriwayatkan hadits, maka jumlah rangakaian sanadnya pasti jauh lebih panjang dan jumlah perawinya pasti lebih banyak, jalur birokrasinya terlalu panjang, orangnya terlalu banyak dan rantainya terlalu bertele-tele. Hadits itu secara estafet berpindah-pindah dari perawi pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan seterusnya. Kita bisa bayangkan setidaknya periwayatan model begini akan jauh lebih rentan dan lebih mudah terjadi kekeliruan.
Maka kalau ada yang berpikiran bahwa hadits itu lebih shahih kalau ditakhrij oleh para ahli hadits di abad ketiga ketimbang abad kdua, tentu harus diluruskan. Apalagi kalau yang meneliti hidupnya sudah berada di abad ke-15 hijriyah, tentu jauh lebih tidak akurat lagi. Al-Imam Malik lahir tahun 80 hijriyah, berarti baru 70 sebelumnya Rasulullah SAW wafat dan Imam Malik sudah lahir di Madinah.
Bagaimana mungkin kita mengambil hadits dari orang-orang yang datang belakangan, sementara hadits dari orang-orang yang hidupnya lebih dekat ke zaman Rasulullah SAW malah kita tinggalkan? Tentu tidak masuk akal, bukan?
C. Peran Para Mujtahid Pendiri Mazhab
Perlu utnuk diketahui baik-baik bahwa urusan menarik
kesimpulan hukum tentu saja tidak berhenti pada sekedar meneliti apakah suatu
hadits itu shahih atau tidak shahih. Kalau cuma segitu saja, maka mahasiswa
saya yang baru duduk di semester satu jurusan ilmu hadits pun bisa
melakukannya.
Peran para imam mazhab tidak berhenti sampai keshahihan
suatu hadits, lebih dari itu mereka membuat sistem istimbath hukum. Dan sistem
istimbath hukum ini tidak semata-mata didasari oleh sekedar shahih tidaknya
suatu hadits, masih ada begitu banyak faktor penting lainnya yang perlu
dilakukan. Di mana peranan para ahli hadits malah tidak sampai ke sana.
Barangkali banyak di antara kita berpikir bahwa kalau sebuah
hadits sudah shahih, berarti permasalahan sudah selesai. Seolah-olah masalah
sudah final dan tidak akan muncul perbedaan pendapat lagi.
Sayang sekali cara berpikir seperti ini salah besar dan
sesat menyesatkan. Sebab kitab suci Al-Quran yang keshahihannya tidak ada lagi
yang mempertanyakan, tetap saja melahirkan perbedaan dalam menarik
kesimpulannya. Apalagi dengan hadits, meski Al-Bukhari dan Muslim sudah
menshahihkan suatu hadits, belum tentu kesimpulan hukum yang bisa ditarik
selalu sama. Sebaliknya, di sana sini akan tetap muncul perbedaan dalam
interpretasi hukumnya.
Munculnya perbedaan pendapat itu karena tidak adanya pola
dalam menarik kesimpulan hukum.
D. Mazhab Adalah Pola Ijtihad
Maka peran para imam mazhba adalah mensintesa pola dan
metologi pengambilan hukum dari berbagai sumber dalil. Dan peran ini bersifat
abadi, tidak terbatas pada keempat imam mazhab tadi.
Sebab permasalah hukum agama ini tidak akan pernah ada
habisnya. Dan ijtihad dalam bidang fiqih akan terus berlangsung sampai akhir
zaman.
Lalu kenapa kita harus berpatokan terus kepada keempat imam
mazhab?
Sebenarnya tidak ada ketentuan bahwa kita harus selalu
mengacu kepada keempat imam mazhab. Apalagi kita juga tahu bahwa imam mazhab
bukan hanya empat orang saja, jumlah jauh lebih banyak.
Tetapi kalau boleh dilakukan perumpamaan, keempat mazhab itu
kira-kira merupakan ringkasan dari variasi berbagai metode istimbath hukum.
Atau perwakilan dari sekian banyak variasi itu.
Selain itu, keempat mazhab ini memang merupakan mazhab
mayoritas yang dianut oleh kebanyakan umat Islam sepanjang perjalanannya 14
abad ini. Padahal sebenarnya ada sekian banyak mazhab lainnya yang pernah punya
pengikut banyak, namun sekarang telah lenyap. Mazhab-mazhab itu tidak mengalami
survival karena banyak faktor. Misalnya karena tradisi ijtihad tidak
dikembangkan oleh para murid mazhab itu.
Berbeda dengan keempat mazhab itu yang punya ribuan murid di
setiap abad dan terus menerus mengembangkan sistem itu sehingga semaki
sempurna.
Ibarat sistem operasi komputer yang jumlah sebenarnya ada
banyak sekali, namun yang kita kenal hanya tiga, yaitu windows, linux dan mach.
Masing-masing pasti punya keistimewaan dan kelebihan serta punya penggemar
fanatik.
Ketiga sistem itu tetap terus berkembang, karena memang
dinamis dan terus menerus mengalami perkembangan oleh para pengembangnya. Kalau
pertama kali dulu kita hanya mengenal windows 3.0, lalu berkembang menjadi
windows 3.11. Terus berkembang lagi menjadi windows 95, berubah menjadi windows
98, 2000, Me, Xp dan kemudian Vista. Semua masih mengusung nama windows dan
tetap dipakai orang hingga kini.
Demikian juga dengan keempat mazhab itu, terus berkembang
dan memiliki keistimewaan sehingga tetap menjadi menjadi rujukan hingga hari
ini. Mazhab itu mungkin akan mati pada suatu ketika, yaitu manakala sudah tidak
ada ulama dilahirkan mazhab itu dan mazhab itu sudah tidak dikembangkan lagi.
Sebagaimana mungkin saja suatu ketika windows akan
dihentikan oleh pemiliknya, entah karena bangkrut atau sebab lain. Kalau
windows sudah tidak dikembangkan lagi, maka saat itu windows akan segera
menjadi sejarah.
Namun hingga kini, keempat mazhab itu terus menerus
mengembangkan diri, diajarkan di berbagai universtias kelas dunia, serta
diajarkan di berbagai majelis taklim, pengajian, pesantren, majelis fatwa dan
seterusnya.
Bahkan yang menarik, boleh dibilang setiap kali ada orang
yang ingin berijtihad sendiri dalam masalah fiqih, ternyata keempat mazhab itu
sudah mengembangkannya terlebih dahulu. Jadi apa mau dikata, kebanyakan orang
sudah mati langkah.
Lagian, buat apa pula kitasebagai orang awam repot-repot
bikin mazhab baru lagi, toh yang sudah ada mudah digunakan, murah, tersedia di
setiap tempat.
Buat apa kita bikin sistem operasi komputer sendiri, kalau
keperluannya hanya sekedar bisa menulis selembar surat pakai komputer?
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar