+ -

Pages

Senin, 06 Juli 2015

Mazhab, Apakah masih Cocok untuk Zaman Sekarang ?

Assamualaikum wb. Wr
Kepada ustadz yang kami hormati, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para Imam Mazhab atas betapa besar jasa-jasa beliau untuk Islam dan seluruh umat Islam. Pertanyaan saya menyangkut mazhab-mazhab dalam Islam.
Dalam pembahasan berbagai masalah kita sering berpatokan pada mazhab-mazhab misalnya Imam As-Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki. Diketahui bahwa para Imam mazhab yang paling terakhir hidup adalah Mazhab Al-Hanabilah yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani (164 – 241 H).
Dari sumber lain saya dapat informasi bahwa hadits-hadits lengkap terkumpul dan terbukukan setelah abad ke 4 H (Kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dll)
Dalam penentuan hukum tentu para Imam berpatokan pada hadits, apakah kita masih berpatokan pada mazhab-mazhab tersebut sementara ada kemungkinan bahwa ada banyak hadits-hadits yang terkumpulkan setelah wafatnya para Imam mazhab tersebut?
Terima Kasih
Wassalamu'alikum wr. Wb.

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Mungkin ada hal-hal yang perlu diluruskan terlebih dahulu sebelum kita masuk kepada jawaban pertanyaan anda. Hal itu terkait dengan peran dan fungsi dari para imam mazhab dan para ahli hadits.

Banyak orang keliru berpikir bahwa menetapkan kesimpulan hukum-hukum agama itu semata-mata hanya ditentukan berdasarkan shahih tidaknya suatu hadits. Segampang itu saja yang ada di pikiran kebanyakan kita. Kalau suatu hadits diteliti dan hasilnya shahih, dianggapnya sudah selesai semua urusan. Hukum suatu masalah cuma disandarkan kepada shahih tidaknya suatu hadits. Ini adalah kesalahan fatal jilid satu.

Lalu ada kesalahan fatal jilid dua, yaitu ada anggapan keliru seolah-olah tokoh yang tahu shahih tidaknya suatu hadits hanya sebatas Bukhari dan Muslim saja. Sedangkan para imam mazhab dituduh sebagai tokoh-tokoh jahil, pandir dan bodoh dalam urusan keshahihan hadits. 

Sehingga banyak sekali orang yang gagal paham bahwa pekerjaan para imam mazhab ini sangat bergantung kepada pekerjaan para ahli hadits yang hidup jauh sesudahnya beberapa abad kemudian. Apalagi dibumbui dengan ungkapan : Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku". 

Kesannya apa pun yang telah diistimbath oleh para imam mazhab akan batal demi hukum ketika ada orang -entah siapa dia datang dari mana- sekonyong-konyong bilang bahwa haditsnya tidak shahih.

Koreksi Atas Kesalahan Dua Jilid
Maka dua jilid kesalahan fatal itu perlu diluruskan, agar jangan terjadi gagal paham yang terlanjur melanda dan berakibat fatal. 

A. Para Imam Mazhab Adalah Guru Besar Hadits
Para imam mazhab itu bukan hanya sekedar berijtihad dan mengistimbath suatu hukum. Itu memang pekerjaan puncak mereka. Tetapi debut mereka diawali justru dari posisi sebagai ahli hadits, bahkan sebagai guru besar ilmu hadits di zamannya. 

Timbulnya pemisahan antara ahli fiqih dan ahli hadits itu sebuah cara berpikir yang menyimpang. Sebab tidak mungkin seseorang bisa menjadi ahli fiqih kecuali dia harus menjadi ahli hadits terlebih dahulu. Memang bisa saja ada ahli hadits yang derajatnya tidak sampai kepada mujtahid fiqih. Tetapi mustahil ada ahli fiqih yang bukan ahli hadits.

Kita buat perumpamaan sederhana. Setiap orang yang hamil pasti dia adalah wanita. Karena tidak mungkin laki-laki bisa hamil. Walaupun tidak semua wanita bisa hamil, tetapi yang pasti orang hamil itu pasti wanita.

Jangan salah paham dalam memahami kalau sebenarnya para imam mazhab yang empat itu pun juga termasuk pakar-pakar hadits di zamannya. Bahkan mereka sudah eksis jauh di zamannya jauh sebelum era Bukhari dan Muslim lahir ke muka bumi.

1. Al-Imam Malik : Guru Besar Hadits
Kita ambil contoh misalnya Al-Imam Malik di Madinah. Beliau adalah akar hadits terbesar yang pernah ada dalam sejarah. Jauh sebelum ada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, umat Islam mengenal kitab hadits Al-Muwaththa' karya beliau.
Di dalam ilmu hadits kita mengenal istilah silsilah dzahabiyah (mata rantai emas) periwayatan, yaitu apabila suatu hadits diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar. Al-Bukhari mengatakan tidak ada jalur periwayatan yang lebih shahih dari jalur ini.

2. Al-Imam Asy-Syafi'i : Guru Besar Hadits
Demikian juga dengan Al-Imam Asy-Syafi'i, beliau juga seorang muhaddits tulen yang ilmu haditsnya jauh melebihi siapa pun di masanya. Kalau mau tahu suatu hadits itu shahih apa tidak, jangan tanya siapa-siapa tetapi tanyakan saja kepada Asy-Syafi'i, karena beliau memang imam hadits.

Orang-orang yang kurang ilmunya seringkali dengan lugunya menuduh bahwa beliau gemar memakai hadits yang tidak shahih. Tentu saja ini adalah tuduhan yang datang dari orang-orang yang tidak paham sejarah. Justru Al-Imam Asy-Syafi'i adalah orang yang sangat berhati-hati dalam menggunakan hadits. Beliau justru penjaga gawang yang paling penting agar jangan sampai ada orang berdalil dengan menggunakan hadits yang lemah.

Malah tidak masuk akal kalau sampai ada yang menuduh bahwa beliau gemar hadits lemah. Beliau tidak akan mengguatkan suatu hadits yang dhaif atau lemah untuk membangun pendapatnya. Kalau pun ada hadits yang beliau gunakan dan dituduhkan sebagai hadits yang lemah, sesungguhnya tidak demikian duduk perkaranya. Boleh jadi beliau punya jalur dan sanad khusus yang tidak dimiliki oleh para muhaddits lainnya.

3. Al-Imam Ahmad : Guru Besar Hadits
Al-Imam Ahmad sudah kepalang dikenal sebagai guru besar ilmu hadits. Bahkan ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa sejatinya beliau memang pakar hadits ketimbang mujtahid mutlak dalam mazhabnya. 

B. Kualitas Periwayatan Hadits : Semakin Jauh Semakin Melemah Kualitasnya
Awalnya umat Islam selama tiga abad lamanya belum mengenal istilah hadits shahih, hasan atau dhaif. Karena istilah-istilah itu dan juga segudang istilah lainnya baru diciptakan pada abad-abad berikutnya. 

Tetapi bukan berarti keshahihan hadits baru ditemukan ketika Bukhari dan Muslim lahir. Keshahihan hadits sudah diteliti oleh para ulama jauh sebelumnya. Hanya memang belum dikodifikasi dan belum dibukukan dan belum dibakukan secara masif. 

Di antara para perintis ilmu penelitian keshahihan suatu hadits malah Al-Imam Asy-Syafi'i. Bahkan beliau punya satu buku khusus yang membahas bagaimana cara yang harus dilakukan apabila ada beberapa hadits yang sama-sama shahih tetapi kontennya terkesan saling bertentangan. Judul bukunya adalah Ikhtilaful Hadits.

Perlu dipahami dengan benar bahwa keakuratan suatu hadits itu banyak sekali dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas perawi. Dari sisi kuantitas atau jumlah perawi, semakin panjang rangkaiannya, maka semakin besar kemungikinan terjadi kesalahan dalam periwayatan. Kalau ada dua ahli hadits yang hidup di dua abad yang berbeda, yang satu hidup di abad kedua dan yang satu hidup di abad ketiga, maka secara nalar dan logika paling dasar, kita akan mengatakan yang punya potensi keakuratan lebih kuat adalah ahli hadits yang hidup di abad kedua. 

Mengapa?

Karena jarak hidupnya lebih dekat dengan sumber aslinya. Jumlah perawi dalam rangkaian sanadnya bisa dipastikan lebih sedikit. Masuk akal kalau kita bilang kemungkinan kesalahannya lebih kecil ketimbang ahli hadits yang hidup di abad-abad berikutnya.

Ketika Al-Imam Malik atau Al-Imam Asy-syafi'i meriwayatkan suatu hadits, jumlah perawinya pasti lebih sedikit ketimbang hadits yang diriwayatkan para pakar hadits di zaman Bukhari. As-Syafi'i adalah murid Al-Imam Malik. Al-Imam Malik mengambil hadits dari Nafi'. Nafi' adalah maula (pembantu) Ibnu Umar. Dan Ibnu Umar adalah shahabat nabi radhiyallahuanhu. Dari Malik ke Rasululullah cuma melewati dua orang saja.

Bandingkan dengan ahli hadits di zaman Bukhari dan kawan-kawan yang hidup tiga abad kemudian. Kalau mereka meriwayatkan hadits, maka jumlah rangakaian sanadnya pasti jauh lebih panjang dan jumlah perawinya pasti lebih banyak, jalur birokrasinya terlalu panjang, orangnya terlalu banyak dan rantainya terlalu bertele-tele. Hadits itu secara estafet berpindah-pindah dari perawi pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan seterusnya. Kita bisa bayangkan setidaknya periwayatan model begini akan jauh lebih rentan dan lebih mudah terjadi kekeliruan.

Maka kalau ada yang berpikiran bahwa hadits itu lebih shahih kalau ditakhrij oleh para ahli hadits di abad ketiga ketimbang abad kdua, tentu harus diluruskan. Apalagi kalau yang meneliti hidupnya sudah berada di abad ke-15 hijriyah, tentu jauh lebih tidak akurat lagi. Al-Imam Malik lahir tahun 80 hijriyah, berarti baru 70 sebelumnya Rasulullah SAW wafat dan Imam Malik sudah lahir di Madinah.

Bagaimana mungkin kita mengambil hadits dari orang-orang yang datang belakangan, sementara hadits dari orang-orang yang hidupnya lebih dekat ke zaman Rasulullah SAW malah kita tinggalkan? Tentu tidak masuk akal, bukan?

C. Peran Para Mujtahid Pendiri Mazhab
Perlu utnuk diketahui baik-baik bahwa urusan menarik kesimpulan hukum tentu saja tidak berhenti pada sekedar meneliti apakah suatu hadits itu shahih atau tidak shahih. Kalau cuma segitu saja, maka mahasiswa saya yang baru duduk di semester satu jurusan ilmu hadits pun bisa melakukannya.

Peran para imam mazhab tidak berhenti sampai keshahihan suatu hadits, lebih dari itu mereka membuat sistem istimbath hukum. Dan sistem istimbath hukum ini tidak semata-mata didasari oleh sekedar shahih tidaknya suatu hadits, masih ada begitu banyak faktor penting lainnya yang perlu dilakukan. Di mana peranan para ahli hadits malah tidak sampai ke sana.

Barangkali banyak di antara kita berpikir bahwa kalau sebuah hadits sudah shahih, berarti permasalahan sudah selesai. Seolah-olah masalah sudah final dan tidak akan muncul perbedaan pendapat lagi.

Sayang sekali cara berpikir seperti ini salah besar dan sesat menyesatkan. Sebab kitab suci Al-Quran yang keshahihannya tidak ada lagi yang mempertanyakan, tetap saja melahirkan perbedaan dalam menarik kesimpulannya. Apalagi dengan hadits, meski Al-Bukhari dan Muslim sudah menshahihkan suatu hadits, belum tentu kesimpulan hukum yang bisa ditarik selalu sama. Sebaliknya, di sana sini akan tetap muncul perbedaan dalam interpretasi hukumnya.

Munculnya perbedaan pendapat itu karena tidak adanya pola dalam menarik kesimpulan hukum.

D. Mazhab Adalah Pola Ijtihad
Maka peran para imam mazhba adalah mensintesa pola dan metologi pengambilan hukum dari berbagai sumber dalil. Dan peran ini bersifat abadi, tidak terbatas pada keempat imam mazhab tadi.

Sebab permasalah hukum agama ini tidak akan pernah ada habisnya. Dan ijtihad dalam bidang fiqih akan terus berlangsung sampai akhir zaman.

Lalu kenapa kita harus berpatokan terus kepada keempat imam mazhab?

Sebenarnya tidak ada ketentuan bahwa kita harus selalu mengacu kepada keempat imam mazhab. Apalagi kita juga tahu bahwa imam mazhab bukan hanya empat orang saja, jumlah jauh lebih banyak.

Tetapi kalau boleh dilakukan perumpamaan, keempat mazhab itu kira-kira merupakan ringkasan dari variasi berbagai metode istimbath hukum. Atau perwakilan dari sekian banyak variasi itu.

Selain itu, keempat mazhab ini memang merupakan mazhab mayoritas yang dianut oleh kebanyakan umat Islam sepanjang perjalanannya 14 abad ini. Padahal sebenarnya ada sekian banyak mazhab lainnya yang pernah punya pengikut banyak, namun sekarang telah lenyap. Mazhab-mazhab itu tidak mengalami survival karena banyak faktor. Misalnya karena tradisi ijtihad tidak dikembangkan oleh para murid mazhab itu.

Berbeda dengan keempat mazhab itu yang punya ribuan murid di setiap abad dan terus menerus mengembangkan sistem itu sehingga semaki sempurna.

Ibarat sistem operasi komputer yang jumlah sebenarnya ada banyak sekali, namun yang kita kenal hanya tiga, yaitu windows, linux dan mach. Masing-masing pasti punya keistimewaan dan kelebihan serta punya penggemar fanatik.

Ketiga sistem itu tetap terus berkembang, karena memang dinamis dan terus menerus mengalami perkembangan oleh para pengembangnya. Kalau pertama kali dulu kita hanya mengenal windows 3.0, lalu berkembang menjadi windows 3.11. Terus berkembang lagi menjadi windows 95, berubah menjadi windows 98, 2000, Me, Xp dan kemudian Vista. Semua masih mengusung nama windows dan tetap dipakai orang hingga kini.

Demikian juga dengan keempat mazhab itu, terus berkembang dan memiliki keistimewaan sehingga tetap menjadi menjadi rujukan hingga hari ini. Mazhab itu mungkin akan mati pada suatu ketika, yaitu manakala sudah tidak ada ulama dilahirkan mazhab itu dan mazhab itu sudah tidak dikembangkan lagi.

Sebagaimana mungkin saja suatu ketika windows akan dihentikan oleh pemiliknya, entah karena bangkrut atau sebab lain. Kalau windows sudah tidak dikembangkan lagi, maka saat itu windows akan segera menjadi sejarah.

Namun hingga kini, keempat mazhab itu terus menerus mengembangkan diri, diajarkan di berbagai universtias kelas dunia, serta diajarkan di berbagai majelis taklim, pengajian, pesantren, majelis fatwa dan seterusnya.

Bahkan yang menarik, boleh dibilang setiap kali ada orang yang ingin berijtihad sendiri dalam masalah fiqih, ternyata keempat mazhab itu sudah mengembangkannya terlebih dahulu. Jadi apa mau dikata, kebanyakan orang sudah mati langkah.
Lagian, buat apa pula kitasebagai orang awam repot-repot bikin mazhab baru lagi, toh yang sudah ada mudah digunakan, murah, tersedia di setiap tempat.
Buat apa kita bikin sistem operasi komputer sendiri, kalau keperluannya hanya sekedar bisa menulis selembar surat pakai komputer?

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Rumahfiqih.com 

Artikel Terkait

5 RUMAH ASWAJA: Mazhab, Apakah masih Cocok untuk Zaman Sekarang ? Assamualaikum wb. Wr Kepada ustadz yang kami hormati, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para Imam Mazhab atas betapa besar jasa-jasa b...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >